BELUM lama ini, Susanto Pudjomartono, wartawan senior di Indonesia, menulis hal menarik tentang lagu “Indonesia Raya”. Menjelang proklamasi kemerdekaan, sesaat setelah memilih Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai presiden dan wakil presiden di awal republik ini berdiri, para pejuang intelektual itu menyanyikan lagu karangan Wage Rudolf Supratman tersebut. Tujuannya, meneguhkan kembali komitmen bersama untuk mendirikan sebuah republik bernama Indonesia. Pada zaman-zaman itu, lagu bisa menjadi alat efektif untuk menggugah nasionalisme. Lagu-lagu perjuangan semacam “Indonesia Raya”, “Padamu Negeri”, “Satu Nusa Satu Bangsa”, dalam konteksnya sendiri telah turut membentuk bangsa ini.
Kemudian apa yang bisa didiskusikan dari lagu-lagu pada saat ini? Lirik sebuah lagu kadang erat kaitannya dengan suasana psikologis seseorang. Ketika jatuh cinta, secara psikologis, bahkan kadang-kadang tidak disadari, orang akan sangat menyukai lagu-lagu bertema jatuh cinta. Hal yang sama berlaku ketika orang patah hati. Lagu-lagu mendayu tentang patah hati, putus cinta, akan sangat mendominasi perasaan kita.
Tahun 1980-an orang mengenal penyanyi macam Betharia Sonata, Tommy J Pisa (almarhum), Rita Sugiarto, dan sederet penyanyi yang melagukan lagu-lagu bertemu kesedihan, patah hati, dan sejenisnya. Pada masa itu, lagu-lagu bertema sama bisa dikatakan mendominasi perkembangan musik di Indonesia.
Banyaknya lagu-lagu yang menyajikan ketidaksemangatan, kesedihan, dan semacamnya itu bahkan pernah melahirkan adanya larangan terhadap lirik lagu seperti itu. Alasan pemerintah ketika itu karena lirik-lirik lagu tersebut tidak membuat orang optimis. Bahasa gampangnya, lagu kok hanya bisa bikin orang bertambah sedih.
***
Lirik lagu memang bisa jadi pembawa pesan moral yang efektif. Pada masa lahirnya flower generation di Amerika Serikat pada 1960-an, lagu-lagu di negeri adidaya itu lebih banyak bertema cinta. Masa itu adalah masa protes generasi muda Amerika terhadap perang Vietnam yang dianggap hanya melahirkan banyak korban. Slogan mereka yang legendaris ketika itu adalah “Make Love, Not War”. Ya, bukankah memang lebih baik bercinta daripada perang?
Intervensi negara terhadap lirik lagu ini juga pernah terjadi di Indonesia pada 1965 pada awal lahirnya Orde Baru. Lagu “Potong Bebek” dianggap sebagai lagunya kaum komunis. Sebab, lagu itu oleh kaum komunis dianggap sebagai perayaan pembunuhan. Tepatnya pada lirik “potong bebek masak di kuali, nona minta dansa, dansa empat kali, serong ke kiri, serong ke kanan.” “Serong ke kiri” dulu, baru “kanan” inilah yang dianggap sebagai pesan moral kaum komunis. Kenapa harus serong ke kiri dulu baru ke kanan?
***
Sebagai produk kebudayaan, lagu memang tidak bisa dibiarkan berdiri sendiri. Lagu dengan beragam jenisnya lahir sebagai entitas kebudayaan manusia dari masa ke masa. Lagu menyampaikan pesan di dalamnya yang kadang tidak disadari oleh konsumen lagu.
Itu dia, kalau menyanyi dianggap sebagai praktik konsumsi budaya, maka benarlah yang disampaikan Michel de Certeau. Sebagai produk kebudayaan, lagu tidak semata-mata dipakai menyatakan sesuatu, tapi juga secara aktif dan simultan melakukan sesuatu. Contohnya, ketika Rhoma Irama menyanyikan lirik, “begadang jangan begadang, begadang tiada artinya”, maka pada saat yang sama Rhoma Irama juga tengah menasihati orang lain agar tidak begadang. Rhoma tidak hanya menyanyi, tapi juga secara aktif sedang menasihati orang lewat lagunya.
Namun kadang-kadang lagu dinikmati sebatas lagu. Ada ilustrasi menarik perihal ini. Penikmat lagu Rhoma Irama yang judulnya “Begadang’ tersebut ternyata sebagian besar adalah orang yang suka begadang. Lirik lagu itu sendiri pada intinya berisi larangan agar orang tidak begadang sebab bisa merusak kesehatan. Nyatanya, penikmat lagu ini tetap saja begadang. Lagu dinikmati sebatas lagu. Pesan moralnya itu urusan belakang.
Lihatlah lagi misalnya pada lagu-lagu India atau Mandarin yang mengalami booming hingga saat ini. Tanyalah pada mereka yang menyanyikan lagu-lagu itu. Pasti atau yakinlah bahwa sebagian besar tidak tahu apa arti lagu-lagu itu. Sebab, urusan lirik kemudian menjadi tidak penting bagi konsumen lagu, ini kalau menyanyi kita anggap sebagai praktik konsumsi. Selama lagu itu dinyanyikan F4 — boyband asal Hongkong itu, konsumen yang memang ngefans dengan F4 pasti akan mencari-carinya.
Tak hanya konsumen lagu. Bahkan, ini yang kadang ironis, apa yang dilakukan penyanyi pun kontradiktif dengan lirik lagu yang disampaikan. Pada film-film India, artis yang sedang bersedih pun berjoget ketika menyanyikan lagu sedih tersebut. Klip-klip lagu Indonesia pun setali tiga uang. Meski lirik lagu yang sedang dinyanyikan adalah tentang patah hati dan semacamnya itu tadi, intinya orang yang sedang bersedih, toh penyanyi lagu itu dengan cueknya berjoged. Ini juga berlaku di panggung-panggung. Orang sedih kok menari-nari. Apa ya logis?
Bali Post Minggu, 10 Agustus 2003