Habis Terapi Hilang Gynechomasti

0 No tags Permalink 0

Setelah berusia dua minggu, bayi gynechomasti di Bali kembali normal.

Ketika baru lahir awal November lalu, tidak ada yang berbeda pada kondisi fisik putri pasangan Dewa Ketut Oka Wijaya dan Ni Wayan Sulasih. Bayi yang hingga kini baru dipanggil Desak Made (panggilan pada anak kedua di Bali) itu lahir dengan berat 4 kg dan panjang 50 cm. Kulitnya putih, rambutnya hitam lebat, tangisannya juga biasa saja.

Dua hari kemudian pasangan muda itu melihat ada yang lain pada Desak Made. Buah dadanya terlihat membesar tidak seperti bayi lain. Buah dada itu kalau dipencet terlihat memerah dan mengeluarkan air susu. Namun, hal yang membuat pasutri warga Banjar Cemenggon, Desa Penarungan, Kecamatan Mengwi, Badung sekitar 30 km utara Denpasar itu tambah khawatir adalah kulit wajah anaknya yang menguning. Padahal anak pertama mereka juga meninggal setahun lalu karena penyakit kuning tersebut.

Pada hari kelima, buah dada bayi yang hingga kini belum diberi nama itu semakin membesar. Kuning di wajahnya juga mulai terlihat di leher dan kaki Desak Made. Sang bayi pun dibawa ke bidan yang membantu kelahirannya yaitu Mitriani di Abiansemal, Badung. Oleh bidan, disarankan agar Desak Made dibawa ke rumah sakit (RS) Wangaya, Denpasar.

Menurut dr Wayan Retayasa, SpA yang menangani Desak Made bayi tersebut mengalami dua kelainan yaitu gynechomasti dan hiperbilirubinemia. Gynechomasti ditandai dengan membesarnya buah dada pada bayi. Hal ini akibat adanya pengaruh hormon estrogen pada bayi dari sang ibu. Pengaruh hormon estrogen terjadi ketika bayi masih dalam kandungan melalui plasenta atau ari-ari bayi. Hormon estrogen ini dibawa bayi ketika baru lahir dan akan hilang sekitar dua minggu kemudian. “Kalau hormon itu hilang, si bayi akan kembali normal,” kata doker lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Bali tersebut.

Banyaknya hormon estrogen pada ibu, kata Retayasa, bisa jadi karena ketika sedang mengandung ibu tersebut sering mengkonsumsi obat-obatan dengan kadar estrogen seperti pil KB. Toh, Ni Wayan Sulasih, ibu Desak Made mengaku tidak pernah minum obat tersebut. “Saya hanya batuk dan pilek,” kata ibu yang lulus SMU tahun 1999 tersebut. Selain itu, tidak pernah terjadi hal-hal aneh termasuk firasat tertentu.

Menurut Retayasa, gynechomasti pada Desak Made bukan kasus pertama di Bali. Sebelumnya dia pernah menangani kasus yang sama sekitar Mei lalu. Penyakit tersebut kemudian hilang setelah sang bayi berumur dua minggu. Retayasa menambahkan gynechomasti biasanya diikuti dengan menstruasi dini pada bayi tersebut. Menstruasi dini ini, kata Retayasa, pernah terjadi pada salah satu pasien di RS Sanglah sekitar November 2000 lalu. Namun menstruasi dini ini tidak terjadi pada Desak Made maupun pasien pada kasus pertama.

Gynechomasti bisa juga terjadi karena faktor gangguan genetik sehingga bersifat patogen. Artinya kelebihan hormon itu memang ada pada si bayi bukan karena “pemberian” dari ibu. Gynechomasti seperti ini biasanya terjadi pada anak kecil berusia sebelum 9 tahun (premenstrual syndrome). Penyebabnya karena tumor pada testis dan penyakit hati. Gynechomasti karena gangguan genetik ini akan diikuti sindrom klinefelter yaitu tanda-tanda membesarnya seksual skunder. Dia sendiri mengaku belum pernah mendapatkan kasus seperti ini di Bali.

Pada penderita gynechomasti “pemberian” dari ibu, buah dada si bayi akan mengecil ketika sudah berusia dua minggu. Sebab secara alami hormon itu akan habis bermetabolisme. Hal ini pun terjadi pada Desak Made. Ketika ditemui di rumahnya Jumat pekan ini, Desak sudah seperti bayi pada umumnya. Dadanya sudah rata dan tidak terlihat membengkak maupun memerah. Beratnya saat ini mencapai 4,9 kg. Menurut Ni Wayan Sulasih ibunya, sehari-hari Desak Made hanya minum air susu ibu sebab baru berumur satu bulan.

Retayasa yang juga Kepala Bagian Sub Divisi Perinatalogi RS Wangaya Denpasar mengatakan meski jarang terjadi, gynechomasti bukanlah penyakit berbahaya. Sebabnya ya itu tadi dia akan hilang dengan sendirinya. Maka, bayi maupun anak kecil yang menderita gynechomasti tidak perlu mendapat terapi atau pengobatan tertentu. Prosentase terjadinya gynechomasti pada bayi yang baru lahir hanya sekitar 20%.

Hal yang justru perlu mendapat perhatian pada Desak Made adalah hiperbilirubinemia atau yang lebih dikenal dengan nama penyakit kuning. Sebab penyakit ini bisa berakibat kematian pada bayi maupun anak kecil. Hiperbilirubinemia adalah penyakit kelebihan kadar garam empedu di darah sehingga kulit terlihat menguning. Menurut Retayasa, terjadinya hiperbilirubinemia pada Desak Made karena darah si anak tidak cocok dengan darah ibu. Retayasa mengaku tidak ingat persis jenis darah ibu maupun sang anak. “Kalau darah tersebut bercampur di tubuh si bayi, masing-masing akan saling meniadakan sehingga kulit bayi berwarna kuning,” katanya. Penyakit inilah yang membuat Desak Made harus mendapat terapi selama seminggu.

Pada bayi yang baru lahir kemungkinan terjadinya hiperbilirubinemia ini bisa mencapai 50%-70%. Padahal penyakit ini tergolong berbahaya. Bayi yang menderita hiperbilirubinemia tingkat parah dapat berakibat rusaknya otak dan hati yang berakhir kematian. Pada tingkat menengah, bayi akan mengalami encephalopati yaitu kelumpuhan otak sehingga kejang-kejang atu rusak fungsi hati. Paling ringan, penyakit kuning mengakibatkan warna kulit berubah menjadi kuning.

Takut anak keduanya akan bernasib seperti anak pertama yang meninggal karena penyakit kuning ini, Ni Wayan Sulasih dan suaminya membawa anak mereka ke RS Wangaya. Sejak 5 November anak mereka pun diterapi dengan sinar ultraviolet selama 24 jam tiap hari kecuali untuk makan dan mandi. Selama seminggu, anak mereka kemudian dibawa pulang karena oleh dokter dinyatakan sudah sembuh.

Terjadinya gynechomasti dan hiperbilirubinemia pada Desak Made, menurut Retayasa tidak berhubungan. Masing-masing berdiri sendiri. “Kebetulan bayi ini mengidap keduanya,” ujarnya. Desak menderita penyakit kuning ini pada tingkat menengah sehingga perlu diterapi dengan sinar ultraviolet tiap hari.

Pada mereka yang menderita penyakit kuning tingkat ringan biasanya hanya perlu dijemur ketika pagi. “Sebab sinar matahari mengandung ultraviolet untuk mengobati tersebut,” jelas Retayasa. Sedangkan mereka yang parah harus diganti darahnya dengan darah yang sejenis. Untuk obat-obatan bisa dengan kolesteramin atau luminal.

Terapi pada Desak Made membawa hasil. Sebab kini dia masih bisa menghirup segarnya udara di desanya.

Comments are closed.