Telur dan Ayam Keterbukaan Odha

0 No tags Permalink 0

Pas aku lagi bersih-bersih kamar, HPku berbunyi. Baru sekitar pukul 08.30. Bagiku itu masih pagi. Jadinya agak heran sepagi itu sudah ada yang telpon.

“Mas, gimana kok fotoku bisa jelas gitu? Katanya dulu mau diblurin?” penelpon itu to the point dengan masalahnya setelah memperkenalkan diri dan memastikan bahwa aku yang menerima telponnya.

Aku gelagapan. Aku minta maaf dengan sedikit kagok. Lalu bilang lebih baik ketemu saja jam 11an di kantornya.

Teman itu, sebuat saja namanya Dani. Dia positif HIV. Tertularnya dia sendiri tidak bisa memastikan. Kemungkinan antara jarum suntik pas pakai heroin, bisa jadi karena suka ganti pasangan seksual tanpa alat pengaman. –Btw, kalo disebutkan penyebab, bukan berarti penularan hanya dari dua sebab itu. Juga bukan berarti seperti menegaskan bahwa penularan hanya terjadi pada kelompok ini. Aku gak bermaksud melakukan stigmatisasi-

Bulan lalu, aku wawancara Dani untuk testimoni di media soal HIV/AIDS dan narkoba, salah satu tempat aku kerja. Testimoninya soal status dia yang positif. Waktu itu, sebatas yang aku inget, aku sudah tanyakan soal nama. Dia bilang gak usah nama samaran. Soal foto dia sepakat diblur. Maksudnya dibuat blur agar wajah tidak keliatan. Dan, tabloid itu sudah terbit 9 Juli lalu.

Jam 11 tadi aku sampai di tempat Dani kerja. Tempat itu salah satu lembaga penanggulangan HIV/AIDS di kalangan penyalahguna narkoba dengan jarum suntik, bahasa kerennya injecting drug user (IDU). Persoalannya memang seperti yang dbilang ditelpon. Dia terganggu karena fotonya masih jelas. Sehingga orang yang mengenalnya pasti tahu bahwa foto itu adalah dia. Akibatnya, dia diledekin di antara teman-temannya bahwa dia positif. Bahkan beberapa teman mulai menjauhi dia setelah tahu dia positif HIV..

Aku gak bisa ngotot. Toh, memang dia punya hak untuk keberatan. Dan aku salah karena tidak konfirmasi soal foto itu pada dia sebelumnya. Aku hanya bisa minta maaf, sesuatu yang sangat naif baginya. Dan bla-bla-bla, selama satu jam, posisiku bener-bener dipojokkan. Berkali-kali pula aku minta maaf. Toh, dia dan beberapa teman aktivis LSM itu pun gak bisa ngasi jalan keluar.

Kejadian hari ini, membuatku mikir kembali soal keterbukaan status orang dengan HIV/AIDS (Odha). Terbuka tidaknya mereka atas status positif HIV adalah hak privat teman-teman Odha. Fakta medis itu sama dengan fakta aku panuan atau tidak, aku sakit gigi atau tidak. Orang lain tidak wajib tahu. Namun tidakkah dengan tidak terbukanya mereka itu yang membuat banyak orang juga melihat Odha sebagai sesuatu yang “aneh’. Maksudnya sebagai sesuatu yang “abnormal”?

Enam bulan terakhir aku bergaul dengan mereka, kadang-kadang aku lihat memang asumsi awal mereka sudah menganggap bahwa kalau terbuka mereka akan mendapatkan diskriminasi. Ya, memang benar diskriminasi itu terjadi. Jadi ada yang belum bersedia terbuka karena merasa masyarakat belum sepenuhnya siap menerima Odha di tengah mereka. Tapi ini ya jadi kaya lingkaran ayam dan telur. Duluan mana ayam dan telur.

Ada contoh menarik. Minggu lalu aku wawancara dengan Ian, sebut saja begitu yang juga positif HIV. Dia sangat terbuka. Awalnya dia memang shock ketika tahu dia positif. “Tapi menyembunyikan status tidak akan menyelesaikan masalah,” katanya. Maka dia terbuka pada keluarga dan teman-temannya. Dan tidak ada diskriminasi itu.

Atau aku pribadi. Awal bergaul dengan teman-teman Odha memang sempat ada pikiran menjaga jarak. Tapi makin aku kenal dan dekat dengan mereka, meski tahu statusnya, aku toh biasa saja. Jadi ya, menurutku, perlu ditanyakan kembali pikiran bahwa Odha tidak terbuka karena takut ada diskriminasi dari masyarakat. Jangan-jangan justru sebaliknya, masyarakat melakukan diskriminasi gara-gara Odha tidak terbuka dengan statusnya?

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *