Catatan: Laporan ini adalah bahan yang aku kumpulkan untuk buku Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) tentang peta media di Bali.
Zaman Kolonial Belanda
Untuk memahami sejarah media di Bali tidak bisa dilepaskan dari adanya sistem kasta di Bali. Putra Agung (2001) menyebut pelapisan masyarakat di Bali pada abad XX sangat ditentukan oleh sistem kasta, meski saat ini kasta itu sudah tidak sepenuhnya berlaku dalam hubungan sosial sehari-hari. Pada dasarnya stratifikasi sosial itu terbagi jadi empat kasta. Brahmana sebagai kasta tertinggi untuk mereka yang jadi pemuka agama. Ksatria untuk golongan bangsawan. Wesia untuk kalangan birokrat. Tiga kelompok ini disebut tri wangsa. Dia luar tri wangsa ada jaba untuk warga masyarakat biasa.
Sejarah media di Bali dimulai pada 1923 dengan lahirnya Shanti Adnyana dalam bentuk kalawarta (newsletter). Menurut Kembar Karepun, dalam manuskrip untuk buku tentang pertentangan kasta di Bali, Shanti Adnyana, berarti Pikiran Damai, itu berupa majalah bulanan yang diterbitkan organisasi Shanti. Organisasi yang berpusat di Singaraja, Bali utara ini bergerak di bidang sosial dan pendidikan, termasuk penerbitan. Pendirinya dari semua kasta.
Menurut Darma Putra (2003), Shanti Adnyana disunting pengurus organisasi Shanti seperti Ketut Nasa, Nyoman Kajeng, I Gusti Putu Jlantik, dan I Gusti Putu Tjakra Tenaja. Dalam terbitannya Shanti Adnyana lebih banyak menulis masalah agama Hindu dan disebar ke masyarakat umum terutama pegawai dan guru. Latar belakang penyunting itu terdiri dari wangsa (kasta) yang berbeda.
Mula-mula hubungan antar penyunting harmonis. Namun, kemudian terjadi perpecahan sesama penyunting Shanti Adnyana. Perpecahan terjadi akibat perbedaan paham tentang kasta, adat Bali, dan agama Hindu. Perpecahan itu tercermin dalam kebijakan redaksional dalam meloloskan atau tidak-meloloskan artikel menimbulkan konflik internal di antara mereka. Ketut Nasa lalu mengundurkan diri. Shanti Adnyana berhenti terbit.
Shanti Adnyana kemudian berubah nama jadi Bali Adnyana yang berarti Pikiran Bali sejak 1 Januari 1924. Majalah ini terbit tiga kali sebulan yaitu tiap tanggal 1, 10, dan 20. Pengasuhnya I Gusti Tjakratanaya dan I Gusti Ketut Putra. Akibat perpecahan antara tri wangsa dengan jaba, maka majalah ini dianggap hanya memuat suara-suara tri wangsa. Bali Adnyana memang sangat kental menyuarakan pikiran I Gusti Tjakratanaya yang juga bangsawan. Bali Adnyana memuat ajaran agama, etika, dan ingin mempertahankan adat istiadat agar sistem kasta tetap berlaku (Agung Putra, 2001).
Ketut Nasa dan kawan-kawannya sesama jaba kemudian mendirikan Surya Kanta sebagai tandingan Bali Adnyana pada 1 Oktober 1925. Majalah bulanan ini diterbitkan organisasi bernama sama, Surya Kanta, yang anggotanya kebanyakan guru. Organisasi ini bertujuan memperbaiki dan memajukan cara berpikir masyarakat Bali dengan meninggalkan cara berpikir yang kolot agar terbuka dan berkembang menuju kemajuan. Karena itu Surya Kanta memuat tentang sistem pendidikan Barat, penyederhanaan upacara agama, bahkan tentang koperasi.
Menurut Darma Putra, Bali Adnyana dan Surya Kanta, keduanya terbit di Singaraja, merupakan dua media massa penting di Bali yang terbit bersamaan pertengahan 1920-an. Mengingat paham pengasuh dan penerbitnya tentang kasta berbeda, sebagian besar isi kedua media massa ini menjadi ajang polemik mengenai kasta dan adat Bali. Polemik ini mendapat pengawasan ketat dari penjajah. Pemerintah kolonial tidak menginginkan terjadinya konflik sosial. Karena mendapat tekanan, Surya Kanta akhirnya berhenti terbit pada September 1927. Sementara itu Bali Adnyana lenyap dari peredaran tahun 1929.
Setelah Surya Kanta dan Bali Adnyana lenyap, di Singaraja terbit majalah Bhãwanãgara, pada 1931. Bhãwanãgara artinya ‘keadaan sejati di negara’ (Bali dan Lombok). Menurut Robinson (2006) majalah berbahasa Melayu ini diterbitkan Yayasan Kirtija Liefrinck van der Tuuk. Pengasuhnya antara lain pakar Bali Dr. R. Goris bersama I Gusti Putu Djlantik, I Gusti Gde Djlantik, I Nyoman Kadjeng, dan I Wajan Ruma.
Bhãwanãgara dimaksudkan sebagai “soerat boelanan oentoek memperhatikan peradaban Bali”. Nomor perdana Bhãwanãgara terbit pada 1931, setebal 40 halaman. Bhãwanãgara mendapat dukungan antusias pemerintah kolonial, yang berkepentingan mempromosikan kesadaran identitas kultural Bali dari pada identitas berdasarkan kasta atau kesatuan nasional Indonesia. Bhãwanãgara juga sebagai usaha untuk mewujudkan rekonsialiasi antara kelompok jaba dan tri wangsa. Bhãwanãgara terbit sampai 1935.
Setahun kemudian, pada 1936, terbit majalah kebudayaan bulanan Djatajoe, diambil dari nama burung yang membela Dewi Sita dalam epos Ramayana. Majalah sosial budaya ini diterbitkan Bali Darma Laksana, organisasi sosial yang anggotanya terdiri atas kalangan terpelajar Bali. Djatajoe merupakan salah satu sarana untuk menyadarkan masyarakat tentang pendidikan dan kebudayaan. Pemimpin redaksi pertama Djatajoe adalah I Goesti Nyoman Pandji Tisna, yang ketika itu meraih reputasi nasional sebagai sastrawan lewat novelnya Ni Rawit Ceti Penjual Orang (1935) dan termasuk dalam sastrawan Angkatan Poedjangga Baroe.
Bentuk dan konsep Djatajoe dipengaruhi majalah Poedjangga Baroe yang terbit di Jakarta dengan redaktur Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane. Setelah Panji Tisna selesai mengelola, Djatajoe kemudian dikelola Nyoman Kajeng dan Wayan Badhra. Majalah ini terbit sampai 1941.
Zaman Jepang
Pada masa pendudukan Jepang hanya ada satu media massa di Bali. Ketika itu Jepang mengendalikan semua badan pengumuman dan penerangan di Indonesia, termasuk di Bali. Karena itu koran-koran pergerakan yang ada sejak zaman kolonial Belanda pun diubah namanya, bahkan dikendalikan terbitannya oleh Jepang. Misalnya kantor berita Antara diubah jadi Yashima sebelum kemudian jadi kantor berita Domei. Di Bali sendiri belum ada koran pergerakan pada saat itu (Putra dan Supartha, 2001).
Jepang kemudian membuat koran-koran daerah di beberapa kota di Indonesia. Antara lain Kita Sumatera Shimbun di Sumatera, Palembang Shimbun di Palembang, Lampung Shimbun di Lampung, Sinar Matahari di Ambon, dan Bali Shimbun di Bali. Koran Bali Shimbun mulai terbit sejak 8 Maret 1944. Koran ini menggunakan bahasa Indonesia dalam terbitannya. Mereka merekrut wartawan lokal sebagai anggota redaksi, termasuk Ketut Nadha, perintis media terbesar di Bali saat ini, Bali Post. Selain Ketut Nadha juga ada I Gusti Putu Arka dan Made Sarya Udaya.
Bali Shimbun berhenti terbit ketika Jepang dikalahkan Sekutu pada 1945. Namun Ketut Nadha ternyata telah menyiapkan koran pergerakan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Selama dua tahun (1946-1947) Ketut Nadha mempersiapkan penerbitan koran ini dengan mendirikan perpustakaan merangkap toko buku. Pada 16 Agustus 1948, untuk pertama kalinya Ketut Nadha bersama dua temannya ketika di Bali Shimbun, I Gusti Putu Arka dan Made Sarya Udaya, menerbitkan Suara Indonesia dalam bentuk majalah.
Saat itu Suara Indonesia terbit tidak tentu, tergantung situasi keamanan. Karena masih dalam situasi perjuangan, Suara Indonesia pun mengemban dua tugas sekaligus: sebagai media pemberitaan dan penerangan sekaligus sebagai aktivis politik yang melibatkan diri secara langsung membangun perlawanan pada penjajah (Putra dan Supartha, 2001).
Dalam perjalanannya Suara Indonesia beberapa kali mengalami perubahan nama antara lain menjadi Suluh Indonesia, Suluh Marhaen sebelum kemudian jadi Bali Post.
Zaman Orde Lama
Dalam buku Sisi Gelap Pulau Dewata (2006), Geoffrey Robinson menyebut adanya beberapa media lokal pada masa peralihan dari Jepang ke pemerintah Republik Indonesia ini. Media itu antara lain Suara Rakjat, Berita Nusantara, dan Penindjau. Namun dia tidak menyebut detail tentang siapa pengelola dan apa saja yang dimuat tiga koran itu. Robinson mengutip berita tentang kunjungan Soekarno ke Bali serta adanya kekerasan antar orang Bali dari tiga koran tersebut.
Pada 1952 terbit majalah Bhakti. Majalah yang berkantor di Singaraja ini dikelola Putu Shanti sebagai penanggung jawab dan Ketut Widjana sebagai pemimpin umum. Dengan slogan sebagai “Majalah untuk Umum-non-Partai berdasarkan Pancasila”, majalah ini diterbitkan oleh Yayasan Kebhaktian Pejuang. Majalah Bhakti hanya terbit sampai 1954.
Antara 1953 hingga 1955 di Denpasar terbit Majalah Damai. Motonya “Majalah Umum untuk Rakyat”. Penanggung jawab/pemimpin umumnya, I Gusti Bagus Sugriwa dibantu Anak Agung (Tjokorda) Bagus Sayoga, Made Tukir dan Ida Bagus Tilem.
Widminarko (2001) menyebut pada periode 1960 hingga 1965 terbit Mingguan Fajar dan Harian Bali Dwipa di Denpasar. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Penerangan No 29/SK/M/65 mengenai Norma-norma Pokok Pengusahaan Pers dalam Rangka Pembinaan Pers Indonesia semua surat kabar diwajibkan berafiliasi pada partai politik atau organisasi massa yang diakui pemerintah. Mingguan Fajar berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Kantornya pun sama dengan kantor PKI Bali. Mingguan Fajar menyajikan berita dan tulisan tentang kebudayaan dengan moto “Memerahkan Budaya dan Membudayakan Merah”.
Harian Bali Dwipa dikesankan tampil secara politis sebagai koran Nasionalisme, Agama, Komunisme (Nasakom). Namun, unsur “nasionalisme” tidak diwakili PNI, tapi Partai Indonesia (Partindo) yang di Bali saat itu dikenal sebagai partai politik yang “dekat” dengan PKI.
Adapun Suara Indonesia berafiliasi dengan Partai Nasionalis Indonesia (PNI), partai terbesar di Bali saat itu. Suara Indonesia juga berganti nama jadi Suluh Indonesia Edisi Bali. Koran ini menginduk pada Suluh Indonesia yang diterbitkan Pimpinan Pusat PNI di Jakarta. Setahun kemudian Suluh Indonesia menjadi Suluh Marhaen.
Fajar dan Bali Dwipa berhenti terbit menyusul meletusnya peristiwa G 30 S/PKI, 30 September 1965. Sedangkan Suluh Marhaen Edisi Bali tetap terbit setelah peristiwa tersebut. Dia bahkan menjadi media terbesar di Bali kemudian hari bahkan hingga saat ini.
Zaman Orde Baru
Pada tahun 1966 di Denpasar lahir Harian Angkatan Bersenjata Edisi Nusa Tenggara. Penerbitnya, Yayasan Penerbitan dan Percetakan Udayana. Pemimpin Umum dijabat Mayor I Gusti Ngurah Pindha, B.A. Penanggung Jawab Letkol. Alex Sutadji, Pemimpin Redaksi Letda. Abdul Hamid. Koran ini mengalami beberapa kali pergantian pimpinan dan badan pengelolanya, bahkan pernah berhenti terbit.
Tahun 1978 berubah namanya menjadi Harian Umum Nusa Tenggara. Mayor J.M. Sarwoto sebagai Pemimpin Umum/Penanggung Jawab dan Jimmy Zeth Soputan sebagai Pemimpin Redaksi. Pada 1990 hingga 1992 Nusa Tenggara dikelola Kelompok Media Group milik Surya Paloh dan tahun 1994 dikelola PT Sinar Press. Tahun 2001 berubah menjadi Harian Umum Nusa, dan sejak 2005 berubah lagi jadi Harian Umum NusaBali.
Tahun 1980 di Denpasar terbit Mingguan Karya Bhakti. Semula terbit dalam format koran masuk desa mingguan, tetapi kemudian berkembang menjadi harian.
Bali Post, Nusa Tenggara, dan Karya Bhakti merupakan tiga koran yang mewarnai Bali pada masa Orde Baru. Oleh Pemerintah Provinsi Bali waktu itu, ketiganya dimasukkan pada program Koran Masuk Desa. Saat itu, oplah Bali Post sekitar 20.152 eksemplar, Nusa Tenggara 11.500 eksemplar, dan Karya Bhakti 10.000 eksemplar (Monografi Daerah Bali, 1985).
Di tengah persaingan bisnis pers yang makin tajam, Harian Karya Bhakti berhenti terbit setelah mengalami beberapa kali pergantian pengasuhnya.
Maraknya pariwisata di Bali membuat Bali juga dipenuhi beberapa media yang intens di bidang pariwisata. Sejak 1970an hingga 1980an, ada beberapa media berbahasa Inggris seperti Sunday Bali Post, Bali Tourist Guide, This Week in Bali, dan Bali This Month.
Sebagai pulau yang sekitar 95 persen penduduknya beragama Hindu, Bali juga pernah melahirkan media khusus agama Hindu. Pada 1987 terbit majalah bulanan Warta Hindu Dharma. Majalah yang diterbitkan Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat ini sebagian besar berita dan artikelnya tentang perkembangan agama Hindu.
Zaman Reformasi
Runtuhnya Orde Baru diikuti munculnya Undang-undang Pokok Pers No 40 tahun 1999 yang membuat orang makin mudah mendirikan perusahaan penerbitan. Kehidupan pers di Bali juga disemarakkan terbitnya beragam penerbitan pers. Ada harian, mingguan, dan bulanan. Koran, tabloid, majalah yang terbit pasca-Orde Baru itu ada yang masih terbit ada pula yang sudah berhenti.
Pada masa ini terbit beberapa media seperti Bali Tribune, The Echo, Latitudes, Bali Lain, dan sebagainya. Majalah bulanan ini memfokuskan diri pada liputan pariwisata dengan kemasan seni atau budaya lebih kental. Meski berumur tak sampai lima tahun, Latitudes menawarkan konsep agak berbeda. Liputan media berbahasa Inggris ini lebih banyak tentang antropologi. Penulis seperti Goenawan Mohamad dan Adrian Vickers termasuk yang pernah menulis di media ini.
Kondisi pariwisata Bali yang kolaps akibat bom pada 12 Oktober 2002 dan 1 Oktober 2005 mempengaruhi perkembangan media di Bali, terutama media yang konsentrasi mengurusi pariwisata. Bali Tribune, The Echo, dan Latitudes pun tutup. Saat ini mereka sudah tidak terbit lagi.
Mudahnya pendirian koran pun melahirkan beberapa media yang terbit pada zaman Reformasi. Di antaranya Koran Bali, Patroli, Fajar Bali, Warta Bali, dan Radar Bali. Koran Bali saat ini sudah tidak terbit.
Hingga Maret 2007, koran harian yang masih terbit di Bali adalah Bali Post, Denpost, BisnisBali, NusaBali, Radar Bali, Warta Bali, Fajar Bali, dan Patroli Post. Selain itu ada majalah bulanan Sarad dan Raditya yang lebih banyak menulis masalah agama Hindu dan adat Bali.
December 2, 2008
Baiklah Yah! aku kan sedang googling, keywordnya “masa pendudukan Belanda di Bali” *hihi enggak banged ya?!? eh ada artikel ini dong. bagus!
by the way, i would bloody happy kalu sampe bisa dapet salah satu kopi Bhãwanãgara, dimana aku bisa dapet ya Yah?!
Thank you, long life! journalist… :p