Tadi siang ada diskusi kecil dengan Win, semeton blogger Bali yang lagi studi di Pittsburgh, Amrik sono. Obrolan via Yahoo Messenger ini bermula dari tulisan dia di blognya soal kekerasan di Bali. Win mempertanyakan apakah orang Bali sudah berubah sehingga sudah demikian akrab dengan kekerasan?
Pemicu pertanyaan itu adalah tawuran di Kuta pas tahun baru lalu. Pas pergantian tahun itu, dua orang tewas akibat tawuran di salah satu kafe. Sebatas yang aku baca di media lokal, hanya disebut tawuran. Tapi Jun, teman wartawan The Jakarta Post, menyebut itu sebagai tawuran antar-preman.
Pernyataan di balik pertanyaan itu menggelitikku. Akhir-akhir ini orang Bali sudah berubah dan akrab dengan kekerasan? Pernyataan ini seolah-olah orang Bali itu dulu tidak kenal kekerasan lalu tiba-tiba jadi beringas akhir-akhir ini. Hmm, inilah dampak dari pencitraan eksotisme Bali.
Seperti halnya daerah lain, Bali pun sebenarnya akrab dengan kekerasan. Ini sudah dari zaman bahuela sampai saat ini. Jadi kalau sekarang ada tawuran itu ya sesuatu yang dari dulu sebenarnya sudah ada.
Geoffrey Robinson mengupas panjang lebar soal kekerasan di Bali ini di buku Sisi Gelap Pulau Dewata. Dari zaman kerajaan, kolonial, revolusi, Orde Lama, hingga Orde Baru. Sekadar contoh, pada zaman kerajaan dulu, antar kerajaan kecil di Bali pun jarang bisa akur. Badung nyerbu Mengwi, Klungkung nyerbu Gianyar, dan seterusnya. Itu sudah biasa. Namanya perang ya tentu saja berdarah-darah. Pada masa penjajahan Belanda juga demikian.
Namun sejarah kekerasan paling besar dan gelap di Bali adalah huru-hara politik pada 1965. Ratusan ribu orang dibantai hanya karena beda partai. Dalam banyak diskusi dengan beberapa orang saat ini, pasti mereka masih punya hubungan dengan peristiwa ini. Entah korban, pelaku, atau sekadar tahu. Mungkin karena Bali memang pulau kecil dengan jumlah penduduk yang hanya sekitar 3 juta. Jadi ratusan ribu orang jelas prosentase yang besar.
Balik soal kekerasan di Bali. Intinya, kekerasan di Bali itu sebenarnya sudah biasa terjadi. Tentu saja ini tidak hanya di Bali. Di mana pun itu juga begitu. Jangan heran kalau juga terjadi kasus tawuran di Bali dari yang berat hingga yang sepele. Misalnya rebutan tapal batas, saling pandang pas minum, merasa dihina, dan lain-lain.
Tapi Bali memang sudah kadung dicitrakan sebagai sesuatu yang eksotis. Dan inilah yang jadi perhatianku. Ya, Bali memang eksotis. Damai. Paling tidak ada beberapa tempat yang aku bisa bandingkan dan pernah ku kunjungi: Makassar, Ambon, Lombok, dan Jawa tentu saja. Bali tetep paling eksotis dari tempat-tempat itu. Lebih dari itu, ada sesuatu di Bali yang tidak bisa aku temukan di tempat lain. Kali ini yang disebut taksu.
Tapi bukan berarti tidak ada konflik, entah terbuka entah tertutup, di Bali. Nah, konflik ini memang jarang diungkap karena ada kepentingan pariwisata.
Citra Bali sebagai daerah eksotis dan damai itu sengaja harus terus disampaikan agar mudah menarik turis. Dari zaman Belanda itu sudah dikenal namanya Baliseering, yang salah satunya memang untuk menjaga citra itu. Kalau sekarang ada namanya Ajeg Bali. Macam-macam alasan di balik itu. Tapi, menurutku, tetap ada motif ekonomi di balik itu. Cuma ini kadang tidak disampaikan.
Media massa kemudian jadi alat untuk menjaga citra itu. Tulisan Ngurah Suryawan soal ini mungkin bisa jadi referensi. Parahnya, citra ini ditelan mentah-mentah oleh banyak orang. Seolah-olah kekerasan itu tidak mungkin ada di Bali.
Lalu bagaimana seharusnya? Menurutku sih tidak harus ada yang ditutup-tutupi. Juga tidak harus dibilang yang jelek-jelek saja. Tulis saja apa adanya. Rwa Bhineda itu pasti ada di mana pun. Itu sudah hukum alam.
Leave a Reply