Prayitno, Mewujudkan Museum Topeng Indonesia

5 No tags Permalink 0

Sang Pionir:
Prayitno, Mewujudkan Museum Topeng Indonesia

Mimpi Prayitno untuk mewujudkan museum topeng tinggal selangkah lagi. Di salah satu ruangan rumah seni di Banjar Tengkulak Tengah, Desa Kemenuh, Kecamatan Sukawati, Gianyar, Bali Prayitno menyimpan hampir seribu topeng dari berbagai daerah. Topeng-topeng itu disusun berdasarkan daerah asal topeng tersebut. Mulai Madura, Jawa, Bali, Lombok, Batak, Kalimantan, hingga Papua.

Saat ini, selain masih berburu topeng dari daerah-daerah lain maupun jenis tertentu, pria kelahiran Bojonegoro, 23 Juli 1946 ini juga menyiapkan referensi masing-masing topeng. Keterangan tentang jenis, asal, dan bagaimana pembuatan topeng itu nantinya digunakan melengkapi tiap topeng yang akan dipamerkan di musem. “Agar mereka yang berkunjung bisa tahu informasi tentang topeng yang dilihat,” katanya. Bagi Pak Prayit, panggilan akrabnya, museum topeng itu nanti tak hanya sebagai media konservasi tapi juga edukasi.

“Saat ini baru sekitar 75 persen selesai,” tambahnya tentang usaha yang dilakukan untuk mewujudkan museum topeng. Karena belum selesai, Prayitno belum bersedia menyebut ruang penyimpanan topeng itu sebagai museum. “Sebut saja rumah topeng. Sebab kalau museum kan harus lengkap semua informasinya,” kata Prayitno.

Usaha Prayitno mewujudkan museum topeng berawal dari keprihatinannya dengan makin sedikitnya orang mengenal topeng. Sebagai sesuatu yang khas Indonesia, topeng kurang mendapat perhatian. Padahal, menurutnya, topeng juga bisa jadi warisan budaya dunia yang diakui UNESCO, badan pendidikan dan kebudayaan dunia, seperti halnya wayang dan keris.

Sebagai warisan budaya dunia, topeng, bagi Prayitno, syarat dengan nilai filsafat hidup.
“Banyak pitutur tentang hidup sehari-hari ketika pentas topeng. Pitutur itu bukan sesuatu yang muluk dan tinggi tapi tentang sesuatu yang mudah dicerna dan dicapai. Misalnya tentang perlunya bersyukur pada Tuhan atau mencintai alam,” kata suami Sisilia Bintang ini.

Topeng juga mengajarkan manusia agar pintar menangkap makna, bukan hanya bentuk luar. Kadang-kadang makna topeng tidak linier dengan ekspresinya. Ekspresi topeng jadi penanda tentang permainan watak manusia. Ada yang culas, ada yang lucu, ada pula yang bijak. Melihat topeng, kita bisa melihat banyak watak manusia.

Ketertarikan Prayitno pada topeng berawal sejak kecil. Waktu masih kecil bapak dua anak ini sering melihat pentas topeng. Setiap selesai panen, petani di daerah kelahirannya Bojonegoro, Jawa Timur, selalu nanggap pentas topeng. Tanggapan topeng itu sebagai bentuk rasa syukur pada Tuhan setelah panen sekaligus untuk membagi pada orang-orang lain. Karena itu topeng juga mendorong orang saling berbagi dalam kebersamaan.

Menurut Prayitno ada dua jenis utama topeng. Pertama topeng pertunjukan. Topeng ini biasa dipakai ketika ada tanggapan untuk syukuran setelah panen. Topeng jenis ini paling banyak ada di berbagai daerah. Kedua topeng persembahan. Topeng jenis ini dipakai dalam upacara atau menyembah Tuhan. Misalnya topeng barong landung yang biasa dipakai umat Hindu saat upacara. Topeng ini termasuk topeng sakral.

Ketika Prayitno beranjak dewasatopeng yang sarat makna makin ditinggalkan. Topeng dianggap ketinggalan zaman. Anak-anak muda pun makin tak mengenal pada topeng. “Orang terjebak pada bentuk seni yang profan dan serasa,” ujar Prayitno. Dalam bahasa semiotik, topeng termasuk penanda atau bentuk. Petanda atau maknanya adalah watak manusia yang beragam terlihat melalui ekspresi wajah. Topeng sebagai sesuatu yang filosofis itu diangap tak menarik lagi. Seni profan adalah seni yang semata untuk hiburan sedangkan seni serasa menurut Prayitno, “Seolah-olah indah padahal hanya bentuk luar. Maknanya dangkal.”

Penyebab lain hilangnya kesenian topeng itu, menurut Prayitno, adalah karena seniman topeng takut dituduh sebagai anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada masa Orde Lama, topeng memang sering dijadikan media propaganda Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra), underbouw PKI. Ketika PKI dinyatakan sebagai organisasi terlarang dan jadi momok bagi banyak orang, seniman topeng turut menghilang. “Bahkan ada orang mengubur ribuan topeng miliknya,” ungkap Prayitno.

Prayitno melawan identifikasi topeng sebagai bagian dari Lekra. Dia tidak peduli. Dia masih menyimpan sekitar 50 topeng di rumahnya di dekat kampus Universitas Udayana Sudirman, Denpasar. Topeng-topeng dari berbagai daerah itu dipajang di rumah yang juga sering jadi tempat ngumpul aktivis mahasiswa. Sekali-kali, ketika keluar daerah, Prayitno berburu topeng daerah setempat. Satu per satu topeng itu menambah koleksinya.

Hobi yang ditekuninya sejak 15 tahun lalu itu kemudian berubah. Sejak 2000 lalu, hobi Prayitno mengoleksi topeng mendapat dukungan Romo Welly Malim Baduah dan Hadi Sunyoto. Bersama Emmanuel Frans Supriyanto, Ketua Yayasan Santo Yusup Cabang Denpasar, mereka sepakat membentuk tim pengumpulan topeng daerah. Prayitno yang mengkoordinir dengan biaya dari Hadi Sunyoto. “Kami memiliki keprihatinan yang sama terhadap hilangnya seni-seni daearha termasuk topeng ini,” ujarnya.

Mengandalkan jaringan yang sudah dimiliki, Prayitno mendatangi berbagai daerah untuk mencari topeng. Selain melalui sesama pecinta topeng, Prayitno juga mendatangi Dinas Kebudayaan setempat. “Sayangnya informasi yang tersedia sering tak lengkap. Misalnya sejarah dan proses pembuatan topeng itu,” keluh Prayitno. Prayitno mencari melalui jalur lain juga yaitu pedagang antik.

Semua tempat di Jawa dijelajahi. “Setiap ada informasi, kami langsung mendatangi tempat tersebut,” katanya. Di Jawa Tengah, misalnya, Prayitno ke Wonosobo dan Dieng yang terkenal dengan topeng lenggeran. Di Kalimantan dia mendapat patung kayu berumur ratusan tahun. Meski demikian masih ada beberapa topeng yang belum dia dapat. “Saya belum punya topeng bobu dari Flores karena termasuk topeng langka,” kata Prayitno.

Koleksi topeng Prayitno dan teman-temannya makin bertambah. Hingga Kamis pekan lalu mencapai jumlahnya sampai 850. Tempatnya pun tak pindah dari rumah Prayitno di Denpasar ke rumah topeng di desa Kemenuh, tak jauh dari Ubud, Gianyar.

Jenis dan topeng itu beragam. Ada yang seukuran wajah manusia. Ada yang diameternya sampai sekitar 50 cm. Demikian pula bentuknya. Selain pipih seperti topeng umumnya ada pula yang berbentuk panjang. Salah satu topeng dari Papua yang didapat pedagang barang antik malah berbentuk seperti baju perang, hingga menutup seluruh badan. Topeng Papua ini harus didirikan di sandaran layaknya manekin.

Prayitno tidak gratis untuk mendapatkan semua koleksi tersebut. Dia harus membeli dari pemilik masing-masing topeng. Harganya beragam. Ada yang kisaran Rp 500 ribu. Ada pula yang sampai Rp 25 juta. “Tergantung kualitas dan keantikan topeng itu,” katanya. Semua biaya pembelian topeng itu diberikan Hadi Sunyoto yang juga pengusaha.

Menurut Prayitno kualitas topeng itu dilihat dari pembuatan. Misalnya bahan, pewarna, hingga guratan ekspresi topeng. Sedangkan keantikan dilihat dari umur pembuatan topeng. “Kalau makin lama pernah dipakai, topeng itu akan kelihatan taksu-nya,” ujar Prayitno. Taksu, maknanya kurang lebih daya magis, topeng itu bisa dilihat, misalnya, dari daki di bagian dalam topeng. Makin sering dipakai, daki itu makin tebal. Topeng itu jadi makin mengkilap seperti dipoles dengan politur.

Meski demikian, bagi Prayitno, tiap topeng tetap memiliki taksu masing-masing. “Itulah hebatnya topeng,” katanya.

Rencananya rumah topeng itu akan dibuka untuk umum mulai 20 Februari nanti. Meski demikian koleksi topeng itu sudah pernah dipamerkan Juli 2006 lalu bersama koleksi wayang yang jumlahnya sampai 3000 lebih. Selain topeng, ruangan tempat menyimpan koleksi itu memang dipenuhi wayang dari berbagai daerah di Indonesia hingga manca negara seperti Malaysia, Myanmar, Thailand, bahkan China.

Prayitno dengan tiga temannya tak hanya ingin mewujudkan tempat itu sebagai rumah topeng tapi sekaligus sebagai Kampung Seni. [***]

+++++

Testimoni
Topeng jadi Istri Kedua

Semula Prayitno mengumpulkan topeng hanya untuk koleksi pribadi. Namun ketika bertemu dengan Romo Welly Malim Batuah dan Hadi Sunyoto, niatnya berubah. Mereka ingin orang lain belajar dari koleksi tersebut. Mereka ingin mendirikan museum topeng. Mereka kemudian mengajak serta Emmanuel Frans Suprianto, Ketua Yayasan Santo Yusup Cabang Denpasar. Yayasan ini bergerak di bidang pendidikan, kesehatan, seni budaya, dan pemberdayaan masyarakat dalam bentuk lain. “Saya tertarik bergabung karena (upaya untuk melestarikan topeng) ini harus dikerjakan bersama,” kata Frans.

Menurut Frans, pelestarian topeng penting dilakukan untuk menjaga warisan budaya. Pada topeng, lanjutnya, terdapat makna filosofis. “Kita ini kan topeng yang hidup,” kata bapak empat anak ini. Perasaan manusia, sedih atau gembira, bisa divisualisasikan melalui topeng. Maka ketika diajak untuk gabung dengan tim tak resmi ini, dia mengaku seperti menemukan frekuensi yang sama. “Karena itu kami cepat nyambung,” ujanya.

Sebelumnya Frans mengaku tidak terlalu mengenal topeng. Namun karena keprihatinan yang sama, dia pun bersedia terlibat. “Saya belajar tentang topeng dari Pak Prayit,” kata Frans. Dia pun menemani Prayitno memburu tiap topeng yang didapat melalui informasi sesama pecinta topeng maupun sumber lain. Mereka memburu ke berbagai tempat di Jawa, Lombok, dan Kalimantan untuk memburu topeng tersebut.

Masalah yang sering mereka hadapai adalah kurangnya informasi tentang objek yang dicari. Padahal, menurut Frans, sebagai koleksi museum tiap topeng harus dilengkapi uraian, referensi, audiovisual, hingga demo pembuatan topeng tersebut.

Masalah lain mereka hadapi adalah dana. “Itu jelas,” tukas Frans. Selain minimnya info dan dana juga susahnya mengajak orang untuk tertarik pada topeng itu sendiri. Tapi sejauh ini semua masalah itu bisa teratasi karena totalitas Prayitno untuk mewujudkan mimpi tersebut. Di mata Frans, Prayitno memang tidak setengah-setengah mengurusi topeng-topeng tersebut. “Seperti istri kedua,” katanya, lalu tertawa. Totalitas itu yang menjadikan mimpi mendirikan museum topeng hampir terwujud.

Meski demikian, Frans pun memberikan kritik pada Prayitno. Pertama karena lemahnya dokumentasi. “Pak Prayit harus memikirkan regenerasi,” kata Frans. Namun Prayitno sendiri sudah mengaku melakukan regenerasi itu dengan mengajak anak keduanya untuk terlibat dalam usaha pelestarian topeng tersebut. Kedua, “Beliau terlalu khawatir dengan usaha yang dilakukan,” tambah Frans. Menurutnya, Prayitno selalu sering dibayangi masa tua sehingga kadang-kadang terlalu mikir dengan langkah yang akan dilakukan. “Memang kita perlu hati-hati, tapi jangan terlalu mikir,” saran Frans. [***]

-dimuat Media Indonesia, 14 Januari 2007

5 Comments
  • Dian
    February 4, 2008

    Tulisan yang menarik! Saya link ke blog saya ya….

  • gia
    February 13, 2008

    satu topik yang menarik bagi saya, saya sedang mencari konsep seolah puppet untuk persembahan saya dan kini topeng juga mungkin bole dipakai dalam persembahan saya

  • rosydesigner
    April 30, 2008

    Tx U atas informasina

  • ejay
    February 20, 2009

    saya punya topeng malang buatan mbah karimun parijo sekitar tahun 1978. jumlahnya sekitar 15an karakter. kalau ada yang minat bisa mengghubungi saya

  • Lukisan Abstrak
    January 28, 2011

    slamet ya?tapi kalo mau dtng,…kmn?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *