Playboy Uncencored Version [Part 7]

0 No tags Permalink 0

Identitas dalam Semangkuk Bakso [Part 7]

***

Uniknya, penjual bakso babi Ajeg Bali itu ternyata tak melulu orang Bali. Ada pula penjual bakso babi Ajeg Bali itu yang nak Jawa dan muslim. Salah satunya Suyitno. Bujangan asal Genteng, Banyuwangi ini jualan bakso milik Ida Bagus Arianto, juragan bakso baru di Negara, Jembrana. Gerobak berwarna kuning dan oranye yang didorong Suyitno ini juga berisi tulisan dari kertas stiker Bakso Babi Ajeg Bali. Plangkiran pun ada di bagian depan gerobak.

Suyitno pernah jualan bakso sapi di Denpasar. Tapi karena isu formalin dan bakso daging tikus, jualan Suyitno sepi pembeli. Setelah sempat berhenti sebentar, dia diajak temannya untuk ikut jualan bakso babi. Awalnya dia ragu karena jualan bakso babi. Lalu dia pulang ke Genteng dan konsultasi dengan keluarga. Oleh keluarganya diperbolehkan. Alasannya, hanya jualan, bukan makan dagingnya. Juga jualnya ke orang Hindu, bukan orang Islam. “Aku kan juga ora mangan,” katanya dalam logat Jawa.

Jualan bakso babi, menurut Suyitno, hasilnya memang lumayan. Ketika jual bakso sapi, dia bisa dapat maksimal Rp 50.000 per hari. Tapi sekarang dia dapat minimal Rp 100.000 per hari. Hasil itu dipakai untuk mengembalikan modal usaha dan bagi hasil Rp 15.000 pada bosnya, Ida Bagus Arianto.

Gus Tut, demikian dia biasa dipangil, mengaku mulai jualan bakso sejak Februari lalu. Awalnya dia ditawari pedagang bakso sapi yang kos di rumahnya. Pedagang bakso itu mengeluh sebab makin hari makin sedikit dagangannya habis. Kebetulan, Gus Tut sudah biasa bikin bakso membantu pedagang tersebut. Di sisi lain, bakso babi di Negara juga seperti jamur di musim hujan: bermunculan di berbagai tempat.

Karena itu, Gus Tutu mulai membuat bakso babi. Tiga pedagang bakso sapi yang kos di rumahnya, dan semuanya muslim, pun jualan bakso tersebut. Sebagai toleransi, bapak tiga anak ini membuat aturan pedagang itu tidak boleh membeli daging ataupun membuat bakso. “Agar tidak ada kesan saya memaksa mereka jualan,” tambah anak mantan jaksa ini.

Baru seminggu jualan, anak buahnya sudah bertambah. Kini anak buah Gus Tut ada tujuh orang. Tiga nak Jawa dan empat orang Bali. Bagi Gus Tut yang juga aktif di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ini, tak ada masalah dengan lokal dan non-lokal. “Saya sebenarnya mancing saja biar orang Bali tidak jual tanah untuk beli bakso,” katanya. Melalui usaha dagang bakso babi saat ini, Gus Tut ingin mengubah anekdot satir soal bakso dan tanah itu tadi.

Selain itu, jualan bakso babi ini bagi Gus Tut juga jadi semacam “perlawanan” terhadap Koperasi Krama Bali yang terlalu mengedepankan identitas lokal sehingga terkesan anti-pendatang. Karena itulah dia cuek saja mempekerjakan anak buah bukan orang Bali. Anak buahnya juga tak harus memakai kamen atau udeng. Sedangkan penggunaan kata-kata Ajeg Bali di gerobak, menurutnya, untuk menunjukkan bahwa pemilik bakso itu juga peduli pada Bali.

Tulisan Ajeg Bali itu juga ada di punggung kaos oranye yang dipakai anak buah Gus Tutu. Salah satunya ya Suyitno itu tadi. Tapi ketika ditanya apa arti Ajeg Bali, pemuda bertindik dua di kuping ini menjawab santai, “Ora ngerti aku.” [lanjut ke posting berikutnya]

***

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *