Membelah Pulau Seribu Bukit

3 No tags Permalink 0

Meski melelahkan, perjalanan membelah Flores sebenarnya bisa jadi kegiatan wisata yang menarik. Pantai, bukit, dan gunung terhampar sepanjang pulau yang layak disebut Pulau Seribu Bukit ini.

Aku berniat menulis perjalanan lima hari di sana secara tematis, bukan kronologis. Tapi itu kan ide. Lain lagi praktiknya. Hehe.. Tiba-tiba hari aku ingin nulis mengalir saja. Seperti biasa, tidak usah pusing soal tetek bengek aturan nulis. Tulis saja apa yang ada di kepala.

Maka aku mau nulis panjang meski nanti bisa juga dibagi jadi beberapa bagian. Dan, kali ini aku mau memulainya dari tempat pertama yang aku datangi, Labuan Bajo.

Tak Ada Sinyal di Labuan Bajo
Hentakan keras terasa ketika kami pesawat yang kami tumpangi mendarat di bandara Labuan Bajo, Manggarai Barat. Beberapa turis berseru terkejut ketika roda pesawat menyentuh landasan. Rombongan ibu-ibu dengan tas belanjaan tertawa girang sejak pesawat mau mendarat. Mereka seperti sudah biasa.

Pesawat Merpati Foker 27 dengan kapasitas 52 penumpang yang aku tumpangi tersebut adalah satu-satunya pesawat di bandara kecil tersebut. Di sekitar kami hanya bukit mengelilingi bandara. Pesawat kecil yang kami tumpangi melaju di antara bukit-bukit itu sebelum mendarat.

pesawat.jpg

Suasana terasa lengang ketika kami turun dari pesawat sore itu. Rumput-rumput liar tumbuh di halaman belakang kantor bandara. Masuk ruang kedatangan bandara pun tak jauh berbeda. Tidak ada satu pun kursi di ruangan sekitar 15 x 6 meter persegi itu. Toilet hanya ada satu. Aku harus menahan diri untuk masuk karena banyak yang antri.

Pintu keluar di bandara itu pun hanya satu. Kondisinya terkunci. Di depan pintu, puluhan laki-laki berebut melihat ke dalam. Di jendela juga sama. Mereka bersiap menyambut tiap orang yang akan keluar.

Namun, tidak satu pun penumpang bisa keluar. Pintu masih dikunci. Sebab petugas masih harus menunggu bagasi penumpang dibawa ke bandara. Prosesnya agak lama. Sebab di sini masih manual. Di Bandara Ngurah Rai Bali, misalnya, bagasi itu dibawa dengan kendaraan lalu dimasukkan conveyer belt (alat pemutar) untuk dibawa ke tempat penumpang menunggu bagasi. Tidak demikian di Labuan Bajo.

Bagasi itu dibawa dengan gerobak roda dua dari pesawat ke ruang kedatangan bandara. Penariknya dua orang. Satu di depan, satu di belakang. Penumpang berdiri menunggu di halaman belakang ruang kedatangan. Lalu petugas mengangkat tas satu per satu. Si empu tas atau bagasi akan bergegas mengambil barang itu. Setelah dicocokkan antara karcis si empu dengan karcis di bagasi, urusan selesai.

Ketika urusan bagasi selesai, pintu keluar bandara baru dibuka. Aku pikir tiap penjemput di depan pintu akan saling berebut penumpang yang baru keluar. Ternyata tidak. Mereka sopan. Ketika aku jawab, “Tidak. Sudah ada yang jemput,” mereka tidak maksa-maksa. Tidak misalnya di terminal Ubung, Denpasar atau Bungurasih, Surabaya yang bikin aku trauma itu.

“Taksi” yang kami tumpangi keluar dari bandara adalah mobil angkutan umum dengan kursi panjang membujur dari depan ke belakang. Di kursi itu hanya ada kami bertiga: aku, Jelle si bos dan teman dari Belgia, dan Oba yang menjemput kami. Aneka rupa gambar ada di bagian belakang angkutan tersebut. Sheila on 7, Bob Marley, dan aneka stiker menempel di kaca mobil. Warna-warni stiker itu sepertinya kontras dengan jalan yang kami lewati.

Jalan di Labuan Bajo, ibu kota kabupaten Manggarai Barat itu beraspal. Namun lubang di mana-mana. Di kanan kiri jalan hanya tanaman liar. Tidak tertata sama sekali. Rumah-rumah beratap seng, bukan genteng. Kota dekat pantai itu panas. Debu beterbangan di jalan. Padahal sekarang masih Januari, bulan banyak hujan.

Kantor dan rumah yang kami lewati pun jauh dari kesan mewah untuk ukuran sebuah kota. Secara fisik, bagiku Labuan Bajo tidak lebih baik dibanding Mencorek, desaku di pesisir Lamongan, Jawa Timur atau desa Goris, di Buleleng, Bali.

Tapi situasi ini tidak jadi masalah bagiku. Aku sudah tahu sebelumnya cerita tentang Flores dan Nusa Tenggara Timur (NTT), tempat aku akan melakukan perjalanan panjang selama lima hari (19-23 Januari) tersebut.

Satu hal yang justru mengagetkan aku adalah ketika aku lihat ponselku. Tidak ada sinyal sama sekali! Aku tiba-tiba begitu khawatir..

3 Comments
  • sherly
    February 1, 2008

    Aku sering denger cerita papaku waktu dia ke flores, mirip2 tapi lebih parah dulunya 🙂

  • devari
    February 1, 2008

    bli anton coba nanti membelah Pulau Nusa Penida 🙂
    the other side of Bali

  • antonemus
    February 1, 2008

    @ sherly: oya? kalo tau papamu pernah ke flores, pasti aku ajak juga. hehe.. iya tuh, sekarang aja udah bagus. gimana kalau pas zaman masih jelek ya?

    @ devari: sudah pernah lewat gen, bli. tp lama banget. mgkn 5 taun lalu. dan waktu itu blm ngeblog. jd ya blm bs cerita banyak. kpn mau ajak aku ke sana?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *