Mahasiswa Bukan Tukang Kuliah

0 No tags Permalink 0

-Hari ini pengumuman seleksi penerimaan mahasiswa baru. Kira2 adikku lulus gak ya? Ya, itung2 menyambut hari pengumuman, aku post aja tulisanku. Udah lama, sih. But daripada gak ada tulisan. Soal cerita dari Kamboja, masih sedang dibuat. Ntar juga tak post-

Kalau mahasiswa kerjanya cuma kuliah, kembali sajalah ke sekolah menengah umum (SMU) atau setingkatnya. Kebebasan akademik selama jadi mahasiswa teramat mahal untuk dilewatkan.

Ketika masih sekolah di SD, SLTP, hingga SLTA posisi siswa sebatas menjadi objek pendidikan. Sudah ada sistem yang demikian mapan melalui mata pelajaran, kurikulum, seragam, juga model pengajaran. Siswa tinggal menerima apa yang disampaikan guru. Tidak banyak ruang yang bisa dipergunakan siswa untuk bisa mengeksplorasi pemikiran, kadang-kadang “kegilaan” siswa.

Posisi dan kondisi mahasiswa, tentu saja berbeda dibandingkan siswa. Meski belum sepenuhnya sebebas-bebasnya, saya melihat sistem di perguruan tinggi (PT) lebih terbuka untuk membuat mahasiswa melakukan pemberontakan-pemberontakan terhadap sistem itu. Mahasiswa tidak hanya terkungkung dalam ruang kelas, laboratorium, studio, dan anasir-anasir PT lain yang membuat mahasiswa mirip katak dalam tempurung.

Kebebasan (?), atau setidaknya pilihan, di PT ini bisa kita lihat misalnya pada mata kuliah, jam kuliah, model pengajaran, dan suasana pengajaran yang lebih dialogis. Sejauh yang pernah saya alami, ada ruang agar mahasiswa lebih bisa menyampaikan kegelisahan, pemikiran, pun pemberontakannya terhadap sistem yang melingkupinya.

Kebebasan akademik merupakan salah satu buktinya. Ringkasnya, menurut Arthur Lovejoy, kebebasan akademik adalah kebebasan guru atau peneliti untuk mengkaji serta membahas persoalan di bidangnya tanpa ada intervensi penguasa politik dan keagamaan, atau lembaga yang mempekerjakannya (Mochtar Buchori, 1990). Saya menerjemahkan ini sebagai kebebasan dosen dan mahasiswa untuk menyampaikan gagasan tanpa adanya campur tangan dan batasan dari lembaganya.

Baruch Spinoza, dosen filsafat Universitas Heidelberg pada 1673 memilih kebebasan akademik dari pada harus tunduk pada institusinya. Padahal Spinoza ditawari menjadi guru besar dengan catatan tidak akan mengusik kemapanan agamanya. Spinoza memilih menjadi dosen biasa sambil menikmati kebebasan berpikirnya.

Das sollen kebebasan akademik di Indonesia pun tidak berlangsung mulus. Pada 1994-an, beberapa dosen di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga memilih keluar dari lembaganya dari pada dibatasi kebebasan akademiknya. Salah satu dari dosen ini adalah Arief Budiman yang saat ini menjadi dosen di Universitas Melbourne.

Mahasiswa sebagai salah satu unsur PT pun berhak atas kebebasan akademiknya. Tidak semata menerima apa yang disampaikan dosen, tapi bisa mendiskusikan, memperdebatkannya. Sintesis, terjadi melalui adanya tesis dan antitesis. Dialektika, kata Hegel.

Kebebasan akademik ini tak hanya sebatas di ruang kelas. Di luar megahnya kampus, di luar njelimet-nya teori kuliah, pengapnya laboratorium, lebih banyak alat untuk merayakan kebebasan akademik tersebut. Ada kelompok studi, kelompok aksi, pers mahasiswa, unit kegiatan mahasiswa, dan kelompok berdasarkan dasar apa pun itu. Kalau kemudian memilih kelompok aksi yang identik dengan aksi massa (demonstrasi), bagi saya, itu hanya salah satu pilihan. Perdebatan tentang alat apa yang lebih efektif untuk menyampaikan dan mewujudkan kebebasan akademik akan menjadi kontraproduktif untuk substansi perayaan kebebasan akademik itu.

Alat apa pun, tujuannya adalah, meminjam bahasanya Soe Hok Gie, untuk mewujudkan mahasiswa sebagai cowboy. Dalam analogi Soe Hok Gie, mahasiswa harus turun gunung ketika di kota telah terjadi ketidakberesan. (Saya sendiri lebih sepakat mahasiswa harus berada di kota untuk mengawal proses, preventif. Bukan hanya turun ketika ketidakberesan itu telah terjadi, reaktif). Namun apalah itu, maksunya adalah bahwa mahasiswa memiliki tugas untuk selalu mengingatkan adanya ketidakberesan itu.

Kebebasan akademik yang didapatkan mahasiswa teramat mahal untuk dilewatkan hanya dengan sibuk kuliah di ruang kelas. Apalagi teori yang didapatkan dari dosen, dari diktat, dari silabus, lebih banyak hanyalah pengingkaran atas kenyataan di luar kampus. Lalu, ketika mahasiswa telah lulus kuliah, mereka baru tergagap-gagap. Sebab, kenyataan di lapangan tak semudah teori yang mereka dapatkan.

Kuliah di jalanan, di diskusi, di organisasi, digebuk polisi, diusir dosen, merupakan sebuah pilihan untuk mendapatkan kenyataan itu. Karena pilihan itulah, mahasiswa pun harus siap dengan resiko terganggu kuliahnya. Dipecat, tidak lulus-lulus, nilai jeblok, dan resiko buruk lainnya. Namun, bukankah jalanan adalah kampus yang sebenarnya?

-tuisan ini pernah dimuat di Jawa Pos. lupa tanggalnya-

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *