Kenapa Harus Ada Bom Lagi di Bali?

1 No tags Permalink 0

Semula aku berniat mulai posting lagi kalo udah ganti bulan. Maunya 1 Oktober kemarin. Asik aja kalau ada momentum awal bulan. But, karena Sabtu itu masih banyak kerjaan belum kelar, jadilah aku nunda. Maunya sih Minggu esok harinya.

Ternyata Tuhan berkehendak lain. 1 Oktober lalu bom kembali meledak di Bali. Sama dengan 12 Oktober tiga tahun lalu, kali ini juga terjadi di tiga lokasi. Tiga tahun lalu di Sari Club, Paddy’s Cafe, dan dekat Konsul AS, maka sekarang di Raja’s Restaurant Kuta, Nyoman Cafe, dan Menega Cafe Jimbaran.

Malam itu aku baru balik dari rumah Lode, cewekku. Sekitar pukul 08.00 malam. Karena laper, aku makan mie dulu. Pas lagi makan mie, masuk SMS dari Lode. “Katanya ada ledakan di Kuta Square dan Jimbaran. Aku ditelpon AP (kantor berita).” Aku ga terlalu percaya. But, mau gak mau aku harus cek juga. Aku telpon Humas Polda Bali. HP ga bisa dihubungi. Aku telpon temen wartawan lokal. Ga bisa juga. Teman intel. Juga ga bisa. Semua nomor yang aku punya dan sekiranya bisa aku hubungi, ternyata ga bisa semua.

Aku mulai panik. Jangan2 memang benar. Masuk telpon dari Kepala Pusat Liputan Jakarta. “Katanya ada bom di Kuta dan Jimbaran. Tolong cek,” katanya. Aku makin yakin bom itu benar terjadi. Aku terus coba menghubungi tiap nomer yang aku punya dan mungkin tahu tentang bom itu. Nihil. Mie di mangkok belum habis. Aku bayar. Lalu cabut lalu ke kos.

Ambil tas, kamera, dan semuanya. Aku ke Kuta. Di jalan raya ambulans meraung-raung. “F**k. Pasti benar ada bom,” pikirku. Kukebut. 60. 80 km per jam malam2. Sampai Kuta. Benar. Memang ada bom. Di Kuta Square, ratusan orang berkerumun. Bom itu di Raja’s Restaurant. Sekitar dua bulan lalu aku makan di sana sama dua teman dari Jakarta.

Kondisinya hancur. Bangunan tiga lantai itu rusak atapnya. Kursi berantakan. Kaca-kaca bangunan di sekitarnya juga pecah berhamburan. Ambulan hilir mudik ngambil korban. Polisi, petugas kebakaran, dan petugas palang merah sibuk mencari korban. Ada yang bilang ada kepala tergeletak tanpa kepala, sekitar 10 meter dari lokasi.

Sekitar 1,5 jam di Kuta, aku kemudian ke RS Sanglah. Suasana terlihat panik. Beberapa korban baru sampai dengan kondisi badan penuh darah. Ada pula yang mengerang kesakitan. Petugas, meski panik, terlihat lebih bisa menguasai keadaan dibanding tiga tahun lalu. Di kamar jenazah, malam itu sudah ada 25 mayat. -Tapi kemudian dibilang rumah sakit ataupun polisi hanya ada 22, sebab ada tubuh yang ternyata cuma punya satu orang tapi semula dipisah-

Bau menyengat, seperti formalin, membuatku perutku mual. Sebelum aku muntah, aku cabut. Lalu ke Jimbaran.

Sekitar pukul 01.00 dini hari. Aku sebenarnya pengen balik aja dulu, istirahat. Minggu sebelumnya aku kerja banyak banget, jd pengen agak santai. But, mau gak mau harus ke lokasi malam itu. Ternyata di Jimbaran kondisi lebih parah. Jumlah korban lebih banyak. Tak banyak yang bisa dilakukan. Sebab polisi sudah melarang tiap orang selain petugas untuk masuk.

Aku hanya tanya2 ke beberapa saksi mati. Lalu beberapa pejabat tinggi seperti Kapolda, Kapolri, juga Menko Polkam malam itu datang. Hanya basa-basi. Lalu mereka pergi.

Pukul dua pagi lebih. Aku bener2 pengen istirahat. Aku pikir juga ga banyak yang bisa didapat malam itu. Aku pulang ke kos. Istirahat. But, susah banget. Aku terus terganggu pikiran, “Kenapa harus ada bom lagi di Bali? Apa yang mereka cari dengan bom itu?”

1 Comment
  • nie
    October 5, 2005

    huwah… jadi kamu ngeliat dengan mata kepalamu sendiri ya, rov kejadiannya?
    Seorang temanku menjadi korban, rov… namanya edwin sindhu, temen smpku… hiks aku sedih bangettttttt!!! baru tadi pagi aku baca berita itu dr email seorang temen… aku sedih!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *