Inul dan Dunia yang Maskulin

0 No tags Permalink 0

Memperdebatkan apakah goyangan Inul Daratista itu boleh atau tidak, pada hari-hari ini jauh lebih menarik daripada mendiskusikan bagaimana para partai politik mempersiapkan calon presidennnya masing-masing untuk Pemilu 2004 nanti. Sebabnya bisa jadi karena kejenuhan terhadap hal-hal yang terlalu serius. Bisa jadi karena fenomena Inul itu sendiri memang menarik untuk diobrolin.

Inul muncul bukan oleh industri musik yang mapan. Penyanyi bernama asli Ainul Rokhmah itu sudah memiliki penggemar yang tidak sedikit ketika goyangannya belum “ngebor” TV. Inul sudah ditonton banyak orang dalam setiap penampilannya justru ketika menyanyi di pesata pernikahan, peringatan 17 Agustus, sunatan, dan hajatan-hajatan yang bisa mengundang massa. “Gerilya” Inul ini sudah sejak dilakukan sejak 1995. Dan, tidak kalah menariknya, popularitas Inul ini dilakukan melalui sesuatu yang hingga saat ini masih diharamkan dalam industri musik, VCD bajakan! Penjualannya pun di tempat-tempat umum semacam terminal, pasar, bahkan kapal penyeberangan Gilimanuk-Ketapang.

Dalam bahasa industri musik, distribusi keping-keping padat berisi nyanyian dan, tentu saja, goyangan Inul ini mirip dengan sistem penjualan musik indie label, -bahasa untuk musik yang independen dan tidak mau diatur-atur oleh pasar-. Inul bebas berkreativitas memainkan gerilya kebudayaan (meminjam bahasanya Bre Redana) untuk menembus stagnasi industri musik yang seperti serigala. Dari sanalah Inul menembus pasar dengan goyangannya yang memang unik, bahkan mendapat ungkapan khas, ngebor.

Lalu, datanglah industri hiburan yang mapan, dalam hal ini TV, mendekati Inul. Barangkali, karena goyangannya yang memang lain daripada yang lain. Namun, bisa jadi juga, -dan ini jangan terlalu dianggap serius karena hari Minggu kita harus berpikir yang santai-, karena Inul itu perempuan. Saya tidak yakin bahwa Inul akan menjadi sefenomenal ini kalau dia bukan perempuan.

Pikiran terakhir itu muncul karena melihat kecenderungan di media, terutama TV, memang demikian. Perempuan selalu menjadi hanya menjadi objek TV untuk mendapatkan penonton sebanyak-banyaknya. Sebab, seperti dikatakan Jean Baudrillard, kekuatan feminitas adalah untuk menggoda. Feminitas ini tidak hanya bersifat biologis dan anatomis. Bahkan bisa jadi secara antropologis. Fenomena Inul bisa mereperesentasikan feminitas secara biologis, anatomis, dan antroplogis itu tadi. Perempuan ditempatkan sebagai objek. Parahnya, diskriminasi itu dilakukan melalui kamuflase, sebab perempuan seolah-olah yang aktif dan laki-laki pasif. Di layar kaca, perempuan pada posisi yang beregerak dan merayu, sedangkan laki-laki (sekali lagi, hanya seolah-olah), diam dan dirayu. Padahal di belakang layar, laki-lakilah yang mengendalikan.

Bahwa perempuan hanya dijadikan objek untuk menarik massa ini bisa dilihat pada iklan, misalnya. Hampir semua iklan di TV melibatkan perempuan di dalamnya entah sebagai pelaku utama, pembantu, maupun sekadar tempelan. Kalau iklan untuk kebutuhan perempuan, okelah. Tapi kadang iklan untuk produk yang tidak berhubungan dengan perempuan pun tetap menjadikan perempuan sebagai pelaku. Kadang bahkan terlihat norak. Perempuan dalam iklan itu hanya diam, tersenyum tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Hal yang sama dapat kita lihat pada tayangan-tayangan sinetron. Sebagian besar sinetron di TV kita hanya menampilkan perempuan dalam posisi terkalahkan. Tentu saja ada beberapa yang menampilkan perempuan sebagai “hero”. Namun seringkali posisi “hero” itu ditampilkan dalam bentuk yang tidak wajar, perempuan sebagai hantu. Hantu-hantu yang bergentayangan di TV didominasi, atau malah semuanya, adalah perempuan. Kita bisa melihatnya pada sinteron tentang Si Manis Jembatan Ancol, Janda Kembang, Misteri Nyi Roro Kidul, Nini Pelet, Mak Lampir, dan seterusnya.

Demikian halnya dengan Inul, yang perempuan itu. Dia diambil oleh TV, lalu digunakan untuk menarik penonton sebanyak-banyak. Buntutnya adalah untuk mendapatkan pendapatan sebanyak mungkin. Terbukti, iklan di acara yang menampilkan Inul di salah satu TV swasta pun berjibun, bahkan harus antri untuk bisa beriklan.

Di satu sisi, TV memankan peran yang tidak kecil dalam mengkonstruksi kebudayaan di bangsa ini. Ketika zaman masih represif, TV dijadikan alat untuk memjukan kesatuan dan persatuan nasional, memajukan stabilitas nasionala, dan memajukan stabilitas poltik (Alfian dan Chu, 1981). Ketika zaman berganti TV pun masih menjadi ikon penting dalam proyek kebudayaan nasional. Sejumlah trend lahir dan disebarkan oleh TV. Fenomena mirip Inul, dalam hal musik, bisa kita lihat misalnya ketika ramai-ramai bersalsa setelah melihat Ricky Martin menyanyi Livin Da Vida Loca, atau baru-baru ini, Last Ketchup menyanyikan Asereje. Setelah itu, mereka berlalu. TV bisa menjadi penanda trend tersebut.

Sayangnya untuk menetukan nilai, apakah trend itu sopan atau tidak, salah satu benar, layak atau tidak, tetap saja laki-laki. Kalau perempuan berbuat yang “tidak biasa” maka berarti menyalahi aturan dan nilai itu tadi. Inul, digugat karena goyangannya yang dianggap menimbulkan rangsangan (terhadap laki-laki). Padahal bukankah goyangan yang tidak kalah erotis pun dilakukan oleh penyanyi laki-laki, misalnya Ricky Martin?

Denpasar, 2 Mei 2003

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *