Iklan yang Jadi Tuntunan

0 No tags Permalink 0

Salah satu tanda akhir zaman adalah pada zaman itu tontonan akan jadi tuntunan.. Maksudnya, sesuatu yang kita tonton akan kita jadikan sebagai hal yang patut ditiru. Demikian pernah dikatakan Muhammad, nabi umat Islam dalam sebuah kesempatan. Padahal, saat ini, sebagian besar tontonan, sangat tidak layak kalau dijadikan tuntunan.

Di Indonesia, lahirnya stasiun TV swasta sejak 1989 lalu turut menyebarluaskan tontonan kepada masyarakat yang ujung-ujungnya berakhir pada penonton yang menjadi “umat” tontonan tersebut. Tontonan itu bisa berupa sinteron, film, video klip, talk show, reality show, juga iklan.

Iklan? Ya, iklan. Sadar atau tidak, iklan yang disebarkan melalui koran, majalah, radio, dan, TV telah menjadi tuntunan bermilyar umat manusia di bumi ini. Seolah-olah standar hidup manusia diukur menurut iklan.

Kita bisa melihat betapa iklan telah menjadi tuntunan itu, misalnya pada kulit wajah atau kulit tubuh yang lain. Sebagian besar kita akan merasa malu ketika memiliki kulit yang hitam atau minimal coklat. Orang Indonesia dijamin akan rendah diri kalo ketemu orang Inggris misalnya. Kenapa? Sebab melalui iklan pemutih, lotion, sabun, dan semacamnya kita sudah diajari setiap hari bahwa kulit putih itu lebih bagus dari kulit hitam atau coklat. Apa hubungannya sehingga warna kulit menjadi penanda bagus tidaknya seseorang?

Contoh lain bisa berupa pada bentuk tubuh seseorang. Kalau kita memiliki ukuran tubuh lebih kecil maka kita akan minder ketika bergaul. Ini bukan sesuatu yang mutlak atau berlaku pada setiap orang. Tapi kecenderungannya memang begitu. Seolah-olah kalau tubuh kita lebih kecil maka kita menjadi lebih jelek. Juga kalau tubuh kita gendut maka kita telah mendapatkan aib. Atau rambut kriting adalah sesuatu yang tidak layak disyukuri.

Melalui iklan, kita dididik bahwa standar tubuh yang ideal adalah kulit putih atau kuning langsat, rambut hitam dan lurus, tinggi dan langsing, dan seterusnya. Iklan yang datang setiap saat sebagai tontonan melalui TV, radio, koran, majalah, billboard, dan alat propaganda lain itu sadar atau tidak telah membentuk standar pikiran kita akan sesuatu.

Anehnya, semua standar itu adalah standar kelompok tertentu yang disebarluaskan melalui media massa. Kalau kita perhatikan pada bentuk tubuh “ideal” di atas, maka kita akan melihat bahwa standar itu khas ras Kaukasian. Ras ini tentu saja berbeda dengan ras Mongoloid atau Negroid. Orang Asia asli, termasuk Indonesia, adalah ras Mongoloid yang tentu saja berbeda dengan orang Inggris yang ras Kaukasian. Lalu mengapa kita harus menentukan standar menurut orang Kakusian, eh, Kaukasian itu?

Tontonan yang kemudian menjadi tuntunan itu pun membuat kita terpengaruh menilai sifat seseorang melalui penampilan. Di sinetron atau film, kita terbiasa melihat bahwa penjahat itu adalah orang berwajah seram, berambut gondrong, berbadan kekar, dengan pakaian acak-acakan. Parahnya, hal inilah yang mendominasi tontonan kita saat ini. Akibatnya, secara psikologis kita akan menjaga jarak ketika berbicara dengan seseorang bertubuh kekar, berambut gondrong, dan berwajah seram yang kita temui di tengah jalan. Padahal bukankah Ali bin Abi Thalib pernah memberi nasehat, dengarlah apa yang dikatakan jangan melihat siapa yang mengatakan?

Mengutip Michel de Certeau, sebagai produk kebudayaan, tontonan tidak semata-mata dipakai menyatakan sesuatu tapi juga secara aktif dan simultan melakukan sesuatu. Maksudnya, ketika kita menonton iklan, video klip, sinetron, dan seterusnya kita sebenarnya nggak nyadar bahwa mereka tengah mempengaruhi. Misalnya ya itu tadi. Ketika iklan shampo mengatakan bahwa shampo tertentu bisa membuat rambut hitam berkilau, tanpa kita sadari dia juga telah mempengaruhi kita bahwa rambut yang tidak hitam dan tidak berkilau itu jelek.

Di sinilah media massa memiliki peran yang tidak kecil. Melalui media massa, orang lain bisa mempengaruhi kita untuk menilai sesuatu. Seperti nyanyian Qasidah Ria ketika saya masih kecil, “…Apa saja kata wartawan, mempengaruhi pendapat orang. Bila wartawan memuji, semua ikut memuji. Bila wartawan membenci, semua ikut membenci…”. Media massa tidak hanya menghasilkan berita yang dibuat wartawan tapi juga menampilkan iklan, film, sinetron, video klip, dan seterusnya. Ironisnya, justru tontonan seperti ini yang memiliki rating lebih tinggi dibanding program berita.

Lalu? Untuk itu kita tidak bisa hanya diam. Syukur-syukur kalau kita bisa melakukan counter terhadap semua propaganda itu melalui media massa yang kita punya. Sebab melalui media massa ini pula standar etika ditentukan. Kita bisa melihat misalnya rakyat Palestina yang melawan tentara Zionist Israel disebut teroris. Sedangkan tentara Israel dianggap membela negaranya.

Atau kalau nggak ya minimal membentengi diri sendiri. Kita tidak udah hanyut dan ikut-ikutan menentukan standar hidup dan etika berdasarkan tontonan yang kita konsumsi setiap hari itu. Mungkin lebih baik kita punya standar sendiri yang bisa kita pertanggungjawabkan. Mau seperti apa, itu urusan kita.

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *