Dampak Konsentrasi Kepemilikan Media di Bali

0 No tags Permalink 0

Catatan: Laporan ini adalah bahan yang saya kumpulkan untuk buku Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) tentang peta media di Bali.

Tak bisa dipungkiri, mengguritanya Kelompok Media Bali Post memberikan dampak positif bagi Bali. Dampak positif itu misalnya menghilangkan budaya koh ngomong, mendorong keterlibatan warga dalam penggunaan media massa sekaligus mengawasi kinerja pemerintah, serta mendorong semangat kewirausahaan orang Bali.

Budaya Koh Ngomong adalah sikap dan perilaku orang Bali yang enggan mengurusi masalah orang lain. Karena itu tabu bagi orang Bali untuk saling kritik apalagi disiarkan secara terbuka. Sikap seperti ini bisa terjadi karena pada masa Orde Baru, sikap kritis memang sengaja dimatikan. Di sisi lain, kemajuan pariwisata yang berakibat pada meningkatnya pendapatan Bali, memang membutuhkan suasana “harmonis”. Konflik secara tertutup maupun terbuka harus didiamkan.

Akibat budaya Koh Ngomong ini, orang Bali cenderung apolitis dan bersikap Nak Mula Keto, atau memang begitu adanya.

Sejak rezim Soeharto berganti, Bali Post sangat kencang mengampanyekan agar orang Bali juga kritis melihat masalah dan berani mengungkapkannya. Tak hanya melalui media massa milik KMB, kampanye De Koh Ngomong atau Jangan Malas Ngomong itu juga melalui bilboard di berbagai tempat serta dalam berbagai diskusi.

Didukung iklim keterbukaan dan media untuk mengungkapkannya, kampanye itu segera menunjukkan hasil. Indikasi paling sederhana adalah keberanian pendengar radio untuk bersikap kritis terhadap satu masalah. Melalui program-proram interaktif di radio seperti Warung Global, Citra Bali, dan Bali Terkini pendengar bisa menyampaikan opini mereka terkait berbagai masalah lokal, nasional, hingga intenasional.

Banyaknya pendengar yang terlibat ini merupakan bentuk demokratisasi melalui media massa. Pedengar radio tak hanya mendengar, mereka juga turut memproduksi informasi meski dengan batasan tertentu. Informasi yang sebelumnya berjalan searah, kini bisa terjadi timbal balik.

Keterlibatan pendengar itu secara tidak langsung juga turut mengawasi pemerintah maupun layanan publik lain. Misalnya tuntutan agar eksekusi hukuman mati untuk terpidana kasus bom Bali 12 Oktober 2005 segera dilaksanakan. Opini tentang hal ini terus ada hampir tiap hari. Sedangkan layanan publik itu bisa mulai masalah parkir, perbaikan jalan, air PDAM macet, dan seterusnya. Bagusnya lagi, semua keluhan itu segera mendapat tanggapan dari pihak terkait. KMB melalui media-media miliknya telah menjalan fungsi pers sebagai alat kontrol.

Lahirnya Koperasi Krama Bali (KKB) sebagai usaha di bawah Kelompok Media Bali Post (KMB) juga menjadi salah satu upaya untuk mendorong semangat kewirausahaan masyarakat Bali, terutama di sektor informal. KKB dengan gencar mengampanyekan agar orang Bali tak lagi gengsi untuk mendirikan usaha seperti dagang bakso, sate, dan seterusnya. Selama ini usaha-usaha informasl semacam itu lebih banyak dilakukan warga non-Bali terutama dari Jawa Timur dan Lombok.

Namun ada konsekuensi yang harus dibayar dari mengguritanya bisnis media KMB tersebut. Dampak itu terasa pada manajemen redaksi, monopoli opini publik, saling silang pemberitaan, hingga strategi menghadapi pesaing.

Manajemen Redaksi dan Iklan
Besarnya KMB tidak bisa dilepaskan dari perubahan manajemen harian Bali Post sejak 1986. Pada saat itu mulai diterapkan manajemen Total Quality Control. Manajemen ini diterapkan dengan memperhatikan enam aspek kualitas yaitu produk dan proses kerja, aspek ketepatan, aspek biaya, aspek keselamatan, aspek moral, dan aspek pelayanan. Sebelum itu tidak ada konsep yang menyatukan enam aspek tersebut. Semua berjalan masing-masing.

Perubahan manajemen itu berdampak juga ke redaksi. Bali Post sangat memperhatikan enam aspek itu sebagai hal yang tak bisa dipisah. Contoh sederhana begini. Sebelum ada manajemen Total Quality Control koran bisa menunggu hingga pagi hari hanya untuk menunggu hasil pertandingan sepak bola. Kecepatan berita jadi pertimbangan utama. Akibatnya koran bisa telat terbit meski hanya dalam hitungan jam. Setelah penerapan manajemen Total Quality Control maka ketepatan terbit jadi pertimbangan juga. Koran tidak harus menunggu hasil pertandingan hingga selesai.

Manajemen Total Quality Control itu terus dilakukan hingga saat ini. ABG Satria Naradha sebagai Direktur Utama KMB adalah pimpinan tertinggi untuk mengontrol semua media milik KMB. Di tiap media itu, ada wartawan KMB yang bertanggungjawab mengurus. Misalnya di Tabloid Anak Lintang sebagai Penanggungjawab adalah Mas Ruscitadewi, yang juga wartawan Bali Post. Penanggungjawab harian Denpost adalah Made Nariana, juga Kepala Marketing dan Humas Bali TV. Penanggungjawab harian BisnisBali adalah Djesna Winada yang termasuk wartawan angkatan kedua di Bali Post. Penanggungjawab Tabloid Wanita dan Keluarga Tokoh adalah Widminarko yang telah pensiun dari harian Bali Post pada 1 Januari 2000.

Di tingkat wartawan, atas nama efisiensi, semua wartawan KMB harus siap membuat laporan untuk media penyiaran milik KMB. Wartawan Denpost misalnya harus siap kalau diminta melaporkan berita untuk radio Global. Praktik ini paling banyak terjadi untuk wartawan Bali Post dan Denpost di luar Denpasar. Misalnya di Karangasem, Negara, Mataram, atau Jakarta.

Meski demikian sebenarnya tiap media punya wartawan masing-masing yang bersifat otonomi. Radio Suara Widya Besakih (SWIB) Karangasem misalnya, punya tiga orang wartawan yang bertugas meliput peristiwa sehari-hari di kabupaten paling timur di Bali tersebut. Menurut Penanggungjawab Radio SWIB Wayan Yasa Adnyana meski direkrut sebagai wartawan, mereka diberi latihan olah vokal dulu layaknya penyiar. Wartawan radio SWIB juga dituntut bisa mengoperasikan siaran di studio. Jadi kalau ada breaking news misalnya mereka tahu apa yang harus dipersiapkan.

Hal sebaliknya berlaku bagi operator di studio. Mereka juga harus mengerti jurnalistik. Sehingga mereka tahu kebutuhan wartawan di lapangan. Pelatihnya dari wartawan KMB sendiri. Kalau kemampuan wartawan KMB sendiri dianggap kurang untuk melatih, mereka mengundang pihak lain seperti PWI dan RRI.

Berita-berita lokal itu dikombinasikan dengan berita dari jaringan melalui satelit. SWIB seperti halnya radio milik KMB lain juga bekerja sama dengan kantor berita radio (KBR) 68H Jakarta dan BBC Indonesia. Kerja sama itu dilakukan langsung antara radio SWIB dengan dua kantor berita radio tersebut. Jadi bukan melalui radio Global Kinijani meski Global juga bekerja sama dengan KBR 68H dan BBC.

Porsi berita di masing-masing radio juga berbeda. Di SWIB hanya sekitar 11 persen. Sisanya program seni, budaya, agama, dan hiburan. Sedangkan di radio Global Kinijani FM sampai sekitar 70 persen. Prosentase dan penentuan jenis berita itu ditentukan radio masing-masing selama tidak menyimpang dari visi dan misi KMB.

Untuk menjaga visi dan misi itu, KMB memiliki kebijakan redaksi bersama. Tiap Rabu, semua redaktur TV, koran, dan radio berkumpul. Kebijakan pimpinan dijelaskan pada pertemuan Rabu itu. Misalnya berita apa yang pada pekan itu harus ditonjolkan, siapa tokoh yang tidak boleh masuk berita. Namun dalam praktiknya, kontrol semacam ini juga tak sepenuhnya berjalan. Masing-masing media akhrinya yang menentukan apalagi jika itu berhubungan dengan iklan.

Contoh kasus menarik adalah “perseteruan” antara Bali Post dengan Bupati Jembrana Gde Winasa. Entah dengan motif apa, harian Bali Post tiba-tiba gencar memberitakan kritik pada kinerja Winasa pertengahan tahun lalu. Padahal Winasa dikenal sebagai bupati yang punya program inovatif seperti gratis biaya sekolah untuk semua siswa di Jembrana dan Jaminan Kesehatan Jembrana. Namun hampir tiap berita di Bali Post tentang Winasa selalu bernuansa kritis dan mengungkap kesalahan Winasa. Bali Post selalu membingkai negatif berita tentang Winasa.

Pada saat sedang disorot Bali Post itu, Winasa tiba-tiba melakukan tindakan yang agak konyol. Dia memerintahkan Satpol PP Jembrana untuk mengangkut wartawan Bali Post di Jembrana, Arie Lestari dengan alasan yang bersangkutan tidak melengkapi kartu identitas sebagai warga pendatang di Jembrana. “Perseteruan” antara Winasa dengan harian Bali Post pun makin terbuka bahkan saat ini sedang ditangani Polda Bali di mana Winasa jadi pihak yang digugat karena dianggap menghalang-halangi kerja jurnalistik wartawan Bali Post.

Toh meski “dicekal” di Bali Post, berita iklan tentang Winasa itu tiba-tiba bisa muncul satu halaman penuh di harian Denpost. Beberapa minggu kemudian Winasa juga ditulis profil lengkapnya di Tabloid Tokoh. Terlihat jelas bahwa dengan alasan iklan, tak ada lagi “pencekalan” pada Winasa di media KMB lain.

Kebijakan soal iklan memang jadi masalah di KMB saat ini. Wartawan KMB juga jadi tukang cari iklan. Istilahnya journalist is marketing. Wartawan tak hanya mencari berita. Mereka juga mencari iklan. Praktik ini terjadi setelah banyaknya iklan politik pada Pemilu 2004 lalu. Pada saat itu memang banyak partai politik maupun calon anggota DPRD yang beriklan di koran tak hanya Bali Post dan Denpost tapi juga koran lokal lain seperti Radar Bali, NusaBali, dan Warta Bali.

Menjelang pemilihan Bupati Badung 2005 lalu praktik ini kembali terjadi. Dua pasangan calon bupati dan wakil bupati menggunakan media cetak dan elektronik untuk beriklan memberitakan kampanye mereka. Bali Post dan Denpost pun melakukan praktik berita iklan politik ini lagi.

Menurut Artha (2007) Bali Post melakukan praktik ini karena empat alasan. Pertama, kegiatan kampanye adalah kegiatan promosi untuk meraih dukungan pemilih. Maka wajar jika tim kampanye mengalokasikan anggaran promosi untuk berita kampanye. Kedua, nilai iklan kampanye di Bali Post yang tidak terlalu mahal dianggap sebagai dana punia (dana sosial) untuk Bali Post yang digunakan untuk kegiatan sosial lain. Ketiga, untuk menjaga independensi Bali Post. Dengan tarif semacam ini maka kedua belah pihak dapat memuat berita sesuai kemampuan keuangan tim kampanye. Keempat, untuk mencegah transaksi ekonomi terselubung antara tim kampanye dengan wartawan yang cenderung hanya menguntungkan wartawan sedangkan perusahaan tidak mendapat keuntungan.

Pada iklan berita kampanye Pilbup Badung, Bali Post mengenakan tarif Rp 1 juta per berita berukuran 3 kolom x 15 cm. Sedangkan di Denpost Rp 400.000 untuk ukuran 2500 karakter dan Rp 6 juta hingga Rp 8 juta untuk satu halaman. Tarif ini memang lebih murah dibanding NusaBali yang memasang tarif hingga Rp 20 juta per halaman dan Rp 3,5 juta untuk berita foto.

Meski materinya iklan kampanye Bali Post dan Denpost, seperti halnya koran lain, tidak menyebut berita itu sebagai iklan. Bali Post hanya memberi tanda bintang di akhir berita. Sedangkan Denpost memberi tanda (adv) di akhir berita. Orang awam jelas tidak akan tahu bahwa tulisan itu adalah iklan.

Praktik journalist is marketing itu diteruskan Bali Post, Denpost, maupun media lain di bawah KMB hingga saat ini. Di Bali Post berita-berita iklan itu ada di halam 2 dan 19. Materinya tak lagi melulu berita politik tapi lebih banyak kegiatan seremonial. Misalnya inspeksi mendadak (Sidak), seminar, pemantapan ujian, rapat kerja, hingga peresmian gedung baru. Semua berita iklan itu ditulis wartawan Bali Post layaknya berita umum. Bedanya setelah kode penulis juga diisi bintang, misalnya (kmb13/*).

Tabloid Tokoh pun melakukan hal yang sama. Hampir separuh materi tabloid 12 halaman ini adalah iklan yang ditulis wartawan hanya dengan kode adv di akhir tulisan. Menurut Pemred Tokoh Widminarko, praktik wartawan cari iklan ini dilakukan karena wartawan Tokoh digaji berdasarkan jumlah tulisan. Kalau wartawan hanya mengandalkan honor, pendapatannya kecil. Selain itu hal tersebut juga dilakukan karena masyarakat mampu bayar untuk masuk koran.

Berita iklan itu pun terjadi di Bali TV. Semua bagian hubungan masyarakat (Humas) Pemerintah Kabupaten di Bali diberi kamera oleh Bali TV. Mereka dididik membuat berita dan melaporkannya untuk Bali TV. Ada yang benar-benar berita namun lebih banyak pula berita yang cenderung promotif dan seremonial. Semua berita itu masuk di segmen berita seperti program Seputar Bali dan Orti Bali tanpa ada penjelasan bahwa berita tersebut adalah iklan.

Selain beriklan melalui satu media, ada pula iklan paket. Misalnya di radio dan koran atau di radio, koran, dan TV. Jadi profil pemasang iklan bisa disiarkan di radio, ditulis di koran, dan disiarkan TV.

Iklan di Bali Post memang jadi sumber pendapatan tertinggi dibanding hasil penjualan koran. Sebagai gambaran pada 2004 lalu pendapatan Bali Post dari iklan mencapai Rp 60 milyar lebih. Sedangkan pada tahun yang sama, pendapatan dari langganan koran hanya sekitar separuhnya, persisnya Rp 33,7 milyar.

Monopoli Opini Publik
Sebagai media terbesar di Bali, KMB nyaris menguasai semua segmen media. Dari media cetak KMB punya tabloid anak-anak, tabloid remaja, tabloid wanita dan keluarga, harian bisnis dan ekonomi, harian kriminal dan keamanan, harian umum, dan media pariwisata. Praktis tidak ada lagi segmen yang tidak digarap. Itu baru dari sisi media cetak.

Di sisi media elektronik, mereka punya Bali TV yang menjangkau seluruh wilayah Bali. Lima radio KMB di Bali bisa dikatakan menguasai seluruh wilayah Bali. Radio Suara Widya Besakih di Karangasem menguasai Bali bagian timur, Negara FM di Negara menguasai Bali bagian barat, Global FM di Tabanan dan Radio Genta di Denpasar menguasai Bali bagian selatan, dan Singaraja FM di Singaraja menguasai Bali bagian utara. Sementara di Bali bagian tengah seperti Gianyar, Bangli, dan Klungkung dikepung lima radio tersebut. Tidak ada lagi ruang yang tak bisa dijangkau daya siar media penyiaran KMB.

Dengan memiliki media di berbagai segmen dan jenis, KMB pun memiliki potensi untuk memonopoli opini publik. Sengaja atau tidak, proses itu telah dilakukan media-media milik KMB, terutama yang terbit di Bali. Ada beberapa contoh kasus menonjol. Misalnya kasus dugaan money politic pada pemilihan gubernur Bali Agustus 2003 lalu serta dalam wacana Ajeg Bali yang sekarang riuh dibicarakan.

Pada pemilihan gubernur dan wakil gubernur Bali Agustus 2003 ada tiga pasangan calon yaitu I Putu Gede Ary Suta dan I Ngurah Wididana dicalonkan fraksi Partai Golkar, Dewa Made Beratha dan IGN Kesuma Kelakan dicalonkan fraksi PDI Perjuangan, serta Tjokorda Gde Budi Suryawan dan AA Arka Hardiana dicalonkan fraksi Kebangsaan Indonesia. Dalam pemilihan di DPRD Bali, Dewa Beratha-Alit Kelakan menang dengan perolehan suara 31, disusul Budi Suryawan-Arka Hardiana 20 suara, dan Ary Suta-Wididana 4 suara.

Namun esoknya salah satu anggota Fraksi PDI Perjuangan melapor ke Bali Corruption Watch (BCW) bahwa anggota fraksi terbesar di DPRD Bali itu menerima travelcek senilai Rp 50 juta agar mereka memilih pasangan Dewa Beratha – Alit Kesuma Kelakan.

Berbagai media pun memberitakan kasus tersebut. Tak hanya media lokal seperti Radar Bali, NusaBali, dan Warta Bali yang memberitakan kasus itu tapi juga media nasional seperti Kompas, Tempo, dan Suara Pembaruan.

Namun semua media milik KMB tak memberitakan kasus tersebut sama sekali. Padahal sebelum hari H pemilihan, mereka gencar memberitakan proses tersebut. Misalnya soal perdebatan apakah calon gubernur yang dicalonkan harus kader partai yang bersangkutan atau tidak. Ketika itu Dewa Made Beratha dicalonkan PDI Perjuangan padahal dia pernah aktif di Partai Golkar. Namun setelah kasus dugaan politik uang muncul, Bali Post tak pernah memberitakan sama sekali. Denpost (saat itu bernama Denpasar Pos) pun tidak memberitakan.

Bali Post baru memuat berita kasus politik uang tersebut dua minggu setelah kasus itu muncul. Beritanya pun berupa bantahan bahwa tidak ada politik uang dalam pemilihan gubernur Bali. Bali Post pun menyebut pelaporan oleh angota fraksi PDI perjuangan itu sebagai pembelotan.

Redaktur Bali Post, Nyoman Wirata mengatakan pilihan untuk tidak memberitakan dugaan politik uang dalam pemilihan gubernur Bali dilakukan karena pemberitaan kasus itu tidak ada untungnya bagi masyarakat Bali. (PANTAU, Januari 2004).  Menurutnya, ada isu yang lebih penting yaitu wacana tentang Ajeg Bali. Wacana ini mengedepankan Bali sebagai wilayah yang harmonis dan harus terus dijaga identitasnya. Berita kasus korupsi dianggap tidak sejalan dengan misi Ajeg Bali itu. Nyatanya toh mereka juga masih memberitakan kasus-kasus konflik politik maupun adat di Bali.

Karena itu pilihan KMB untuk tidak memberitakan dugaan politik uang ini mungkin karena adanya kedekatan mereka dengan PDI Perjuangan, partai terbesar di Bali saat ini.
Sebab sejarah membuktikan adanya hubungan erat KMB dengan PDI Perjuangan ini.

Kedekatan hubungan itu dibangun sejak 1965. Setelah Menteri Penerangan mengeluarkan peraturan bahwa semua media massa harus berafiliasi pada partai politik atau organisasi massa, Bali Post yang saat itu bernama Suara Indonesia memilih berafiliasi pada Partai Nasionalis Indonesia (PNI). PNI merupakan partai terbesar di Bali saat itu. Jumlah kursi PNI di Badan Pemerintahan Harian provinsi Bali 22 dari total 40 kursi, Partai Komunis Indonesia 12 kursi, Partindo 5 kursi, dan Nahdhatul Ulama 1 kursi (Robinson, 2006).

Widminarko yang waktu itu baru bergabung dengan Suara Indonesia menduga bahwa afiliasi dengan PNI dilakukan karena pertimbangan bisnis. Sebab Ketut Nadha, pendiri Suara Indonesia tidak terlibat aktif sama sekali dengan parta politik.

Namun bisa jadi pertimbangan lain adalah karena beberapa wartawan Suara Indonesia juga pengurus PNI. Raka Wiratma, staf redaksi Suara Indonesia, aktif sebagai pengurus PNI Bali. Widminarko pernah jadi ketua Koordinator Daerah Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI) Balu Nusa Tenggara. GMNI adalah gerakan mahasiswa underbow PNI. Raka Wiratma kemudian jadi anggota DPRGR RI dari fraksi PNI. Sedangkan Widminarko, selain sebagai wartawan, juga anggota DPRGR Bali dari fraksi PNI.

Sebagai koran yang berafiliasi dengan PNI, Suara Indonesia pun berubah nama jadi Suluh Indonesia Edisi Bali mengikuti Suluh Indonesia terbitan DPP PNI di Jakarta. Selain itu Suluh Marhaen juga harus memberi kursi pada pengurus PNI di manajemen redaksi. Raka Wiratma yang sebelumnya sebagai staf redaksi pun jadi Penanggung jawab merangkap Pemimpin Redaksi. Sedangkan Ketut Nadha sebagai Pemimpin Umum. Setahun kemudian Suluh Indonesia berubah jadi Suluh Marhaen Edisi Bali.

Setelah peristiwa G30S, Suara Indonesia makin jelas memihak PNI. Gubernur Suteja yang waktu itu aktif di PKI pun nyaris tidak mendapat tempat di Suluh Marhaen. Suluh Marhaen sebagai media terbesar di Bali saat itu tidak memberi tempat untuk suara lain di luar PNI.

Antara 1965 hingga 1970 fanatisme orang Bali pada PNI sangat tinggi. Saking dekatnya hubungan PNI dengan Suluh Marhaen, sampai-sampai koran itu jadi identitas orang Bali selain kalender Bali. Jadi orang Bali belum lengkap kalau di mejanya belum ada Suluh Marhaen. Oplah Suara Indonesia sekitar 20 ribu eksemplar.

Dalam pemberitaannya, Suluh Marhaen pun didominasi berita-berita tentang kegiatan PNI seperti Mukernas Gerakan Wanita Marhaen, Kongres Kesatuan Buruh Marhaen, Konperda Petani Daerah, dan Konferensi Anak Cabang PNI. Berita peristiwa memang lebih banyak dibanding berita opini. Tak hanya berita, bahkan cerita pendek di Suluh Marhaen pun bernama Banteng Muda, sesuatu yang sangat khas dengan PNI.

Setelah Pemilu 1971 Suluh Marhaen berubah haluan. Apalagi aturan harus menginduk ke partai politik juga sudah tidak berlaku. Suluh Marhaen berganti nama jadi Bali Post sejak Oktober 1971 dan berusaha netral. Apalagi kondisi politik memang tidak kondusif untuk memihak PNI.

Pada pemilu-pemilu selanjutnya, Bali Post sudah berusaha netral. Namun tetap saja posisi itu diragukan. Pernah misalnya ada yang protes karena Bali Post diangap membesar-besarkan kampanye PDI pada 1988. Setelah dicek kembali ternyata berita kampanye Golkar jauh lebih banyak. Masalah lain orang PDI menganggap Bali Post pro Golkar. Tapi sebaliknya, orang Golkar menganggap Bali Post pro PDI.

Kedekatan Bali Post dengan PDI yang kemudian berubah nama jadi PDI Perjuangan kembali terjadi pada zaman reformasi. Salah satu satu yang fenomenal adalah lahirnya Denpost pada 1 Oktober 1998 yang berdekatan dengan pelaksanaan Kongres PDI Perjuangan di Bali. Euforia terhadap figur Megawati sebagai alternatif pimpinan nasional, ditangkap sebagai peluang pasar oleh Denpost. Akibatnya, liputan harian ini sebagian besar mengarah ke kegiatan politik PDI Perjuangan, dengan sasaran pasar adalah massa PDI Perjuangan (Artha, 2007).

Selain itu Penanggung jawab Denpost Made Nariana pernah masuk di bursa pencalonan sebagai calon wakil bupati di PDI Perjuangan. Namun dia gagal.

Faktor kedekatan itu KMB dengan PDI Perjuangan masih berlangsug sampai sekarang. Di sisi lain PDI Perjuangan masih jadi penguasa di Bali. Dari 55 anggota DPRD Bali saat ini misalnya 30 orang berasal dari PDI Perjuangan. Sisanya Partai Golkar (14 kursi), Partai Demokrat (3 kursi), PKPB (3 kursi), Partai Nasional Marhaenisme Indonesia (2 kursi), serta PPP, PIB, dan PNBK masing-masing satu kursi.

Hubungan mesra antara media terbesar dengan partai politik terbesar di Bali ini menghasilkan monopoli opini publik yang luar biasa solid, termasuk pada isu Ajeg Bali.

Inilah wacana paling riuh yang saat ini jadi bahan diskusi di Bali. Ajeg Bali muncul pertama kali setelah terjadi peledakan bom oleh teroris di Kuta dan Denpasar pada 12 Oktober 2002. Wacana ini disampaikan pertama kali oleh KMB dan sekarang mereka gencar mengampanyekan perlunya Ajeg Bali tak hanya sebatas wacana tapi juga gerakan.

Dalam buku Ajeg Bali Sebuah Cita-cita dijelaskan tentang Ajeg Bali dan bagaimana pelaksanaannya. Buku terbitan Bali Post dalam rangka ulang tahunnya ke-56 itu memuat pandangan berbagai cendekiawan Bali tentang kondisi Bali saat ini, kenapa perlu Ajeg Bali, dan bagaimana strategi pelaksanaan wacana itu. Dalam Editorial buku tersebut, ABG Satria Naradha menulis pandangannya tentang Ajeg Bali.

Ajeg Bali bukanlah konsep stagnan, melainkan upaya pembaharuan terus menerus oleh manusia Bali. Tujuannya untuk menjaga identitas, ruang, serta proses budaya Bali. Kesadaran itu penting karena Bali yang identik dengan keindahan, kenyamanan, dan keharmonisan sudah mulai terusik.

Wacana Ajeg Bali kemudian diturunkan dalam berbagai dimensi seperti ekonomi, budaya, agama, tata ruang, kependudukan, pendidikan, kesehatan, hingga olahraga.

Melalui berbagai media yang dimilikinya di Bali, wacana pemberitaan KMB tentang Ajeg Bali memang dikesankan sebagai upaya menghindari rusaknya Bali oleh pendatang. Hal sepele misalnya tentang maraknya usaha informal yang dimiliki pendatang dari Jawa atau Lombok sementara di sisi lain orang Bali sendiri kadung mendapat stereotip malu kalau bekerja kasar seperti dagang bakso. Stereotip inilah yang coba dihapus oleh KMB dengan menumbuhkan kesadaran orang Bali untuk bekerja di sektor informal.

Lahirlah Koperasi Krama Bali (KKB), di mana ABG Satria Naradha jadi ketua, yang memberikan pinjaman untuk usaha kecil tersebut. Ada juga pelatihan membuat usaha informal tersebut. Muncullah kemudian bakso babi Ajeg Bali, tukang cukur Ajeg Bali, hingga tambal ban Ajeg Bali.

Selain di sektor ekonomi melalui KKB itu tadi, Ajeg Bali Bali juga merambah berbagai dimensi. Ada pemilihan siswa Ajeg Bali, guru Ajeg Bali, dan seterusnya. Semua hal itu dimasukkan di pemberitaan media KMB dari koran, radio, hingga TV. Seperti berita pembukaan warung anggota KKB dan maraknya pendirian warung anggota KKB.

Selain berita-berita rutin juga ada program khusus tentang Ajeg Bali. di Bali TV tiap Selasa malam ada program bernama Ajeg Bali. Di Bali Post sekali seminggu ada halaman khusus Ajeg Bali. Program-program di tiap radio pun harus memberi tempat untuk hal-hal yang mendukung waana maupun gerakan Ajeg Bali.

Menurut Manajer Pemberitaan Radio Global FM IB Anom Putra setiap KMB membuat radio baru memang harus mengikuti pakem yang sudah ada. Misalnya siaran bahasa daerah. Di Bali, semua radio milik KMB mempunyai siaran bahasa Bali. Selain itu ada pula mekidung (pesantian), melantunkan doa dan puja.

Wayan Yasa Adnyana, Direktur radio Suara Widya Besakih menyatakan hal serupa. Semua isi program siaran radio SWIB mengacu pada visi misi perusahaan yaitu Ajeg Bali. Visi misi ini dilakukan misalnya dalam pembinaan kesenian lokal. Meski ada otonomi di masing-masing radio, tetap saja tidak boleh keluar dari visi dan misi Ajeg Bali.

Gencarnya kampanye tentang Ajeg Bali melalui media milik KMB itu pun segera membuat Ajeg Bali jadi mantra sakti di Bali. Pertemuan di banjar, obrolan warung, hingga pertemuan-pertemuan resmi selalu menjadikan Ajeg Bali sebagai sesutau yang begitu mulia dan harus diwujudkan. Nyaris tidak ada suara berbeda.

Sebagai sebuah wacana, Ajeg Bali sebenarnya sudah muncul sejak 1920an. Pertentangan keras antara Bali Adnyana dan Surya Kanta bisa dikatakan merupakan pertentangan antara kelompok yang ingin menjaga Bali tetap ajeg dengan kelompok yang ingin Bali terus berubah. Tapi pertentangan mereka mungkin terlalu ekstrim. Shanti Adnyana terlalu konservatif sedangkan Surya Kanta terlalu progresif.

Perdebatan atau malah penentangan tentang wacana Ajeg Bali pun sebenarnya terjadi di Bali. Henk Schulte Nordholt menyebut Ajeg Bali adalah proyek eksklusivitas. Budaya Bali makin ditampilkan dalam bentuk Hindu secara ekskulsif. AA GN Ari Dwipayana menyebut wacana Ajeg Bali cenderung ingin membangun proyek ekonomi-politik baru atas budaya Bali. Suryawan (2005) menyebut Ajeg Bali adalah pengentalan etnis menuju rasisme, nasionalisme sempit, dan gerakan fundamentalis keagamaan pada manusia Bali. Di diskusi-diskusi pun sering muncul adanya penolakan diam-diam terhadap wacana Ajeg Bali.

Namun berbeda dengan perdebatan pada 1920an antara Bali Adnyana dan Surya Kanta yang terbuka, perdebatan tentang wacana Ajeg Bali sama sekali tidak muncul di media massa lokal. Kalau toh ada hanya muncul di koran nasional seperti Kompas dan Media Indonesia. Hal ini tidak bisa dipisahkan dari fakta bahwa Ajeg Bali adalah wacana yang dilahirkan oleh KMB. Jadi semua media milik KMB tidak memberikan suara berbeda sama sekali tentang Ajeg Bali.

Sementara itu, media lokal lain terkesan malu-malu melawan wacana Ajeg Bali ini. Maka wacana Ajeg Bali pun menjadi sesuatu yang seolah-olah tanpa tanding di Bali. Ajeg Bali jadi kata sakti seperti halnya pariwisata yang tidak bisa diganggu gugat.

Kemampuan KMB untuk memonopoli opini publik tentang wacana Ajeg Bali itu tidak lepas dari strategi saling silang pemberitaan yang mereka lakukan di media-media milik KMB. Inilah masalah ketiga yang terjadi akibat konsentrasi kepemilikan media oleh ABG Satria Naradha.

Saling Silang Pemberitaan
Saling silang pemberitaan terjadi dengan adanya kebijakan pimpinan KMB untuk saling membantu menyiarkan berita di masing-masing media. Kebijakan ini dilakukan dengan cara menggambarkan dan atau menyuarakan berita cetak serta mencetak berita suara (audio) maupun berita suara-gambar (audio visual). Jadi berita TV bisa muncul di koran, berita radio juga muncul di koran. Sebaliknya berita koran muncul di TV bisa juga di radio.

Melalui konvergensi pemberitaan itu radio di daerah bisa mengambil berita lead koran. Tapi untuk peristiwa besar bisa saja radio tersebut langsung meminta wartawan Bali Post atau Denpost yang meliput. Misalnya waktu bom Bali, Anom Putra, juga melaporkan untuk radio KMB di Yogyakarta. Sebaliknya waktu gempa di Yogyakarta, Global FM meminta laporan dari wartawan radio di Yogya.

Penyuaraan berita cetak itu misalnya terjadi pada program berita di radio Genta FM yang mengambil berita di Denpost. Atau radio SWIB yang membaca headline Bali Post tiap hari.

Saat ini KMB juga sedang menjajaki sistem pemberitaan bersama. Sinergi ini dilakukan mirip Jawa Pos News Network (JPNN). Namun kalau JPNN hanya untuk konsumsi media cetak, maka sinergi pemberitaan KMB ini disiapkan untuk semua jenis media: cetak, audio, dan audio visual. Nantinya dengan hanya mengakses jaringan itu radio Singaraja FM bisa mengambil berita di Global FM kapan pun mereka mau. Bali Post bisa mengambil berita Suara NTB atau Bisnis Jakarta. Demikian pula TV. Bali TV bisa saja mengambil berita Bandung TV.

Karena sudah disiapkan untuk penggunaan berbagai jenis media, berita di jaringan itu pun bisa saja disiarkan di Negara FM meski diambil dari berita Bandung TV. Atau bisa saja berita cetak tapi disiarkan radio.

Meski sistem pemberitaan dalam bentuk satu jaringan itu masih dipersiapkan, dalam praktiknya media-media KMB di Bali sudah melakukan konvergensi. Kita bisa melihat dari acara-acara berikut.

Pertama, sinergi pemberitaan antara Denpost dengan Global FM. Harian Denpost punya jatah satu halaman untuk menulis berbagai masalah yang dibicarakan di Global FM. Di rubrik Nurani ini dituliskan masalah-masalah yang mengemuka dalam acara Citra Bali yang disiarkan Global FM antara pukul 08.00 Wita hingga pukul 09.00 Wita. Program ini berupa interaksi yang disiarkan langsung di radio.

Ada beberapa syarat agar opini pendengar itu bisa dimuat. Misalnya disertai identitas jelas, tidak memfitnah atau mencemarkan nama baik orang lain, dan menyatakan masalah baru. Masalah yang muncul di program ini sebagian besar adalah tentang pelayanan publik seperti lampu penerangan jalan (LPJ), trotoar, jalan rusak, hingga listrik padam.

Selain memuat opini di radio Global FM, rubrik Nurani di halaman 8 ini juga memuat hasil obrolan di program Warung Bali radio Genta. Program ini berupa diskusi dengan topik tertentu, misalnya penataan pembangunan tower.

Kedua, sinergi pemberitaan Bali Post dengan Global FM melalui program Warung Global. Seeprti Warung Bali, acara Walung Global adalah acara interaktif melibatkan pendengar radio membahas topik tertentu. Acara yang disirakan juga oleh radio Singaraja FM ini mendapat jatah dua kolom sekitar dan panjang ¾ halaman di rubrik Interaktif Bali Post. Rubrik di halaman 18 ini juga memuat hasil acara interaktif dengan pendengar radio yang disiarkan bersama oleh radio Global FM, Singaraja FM, dan radio Genta Swara Sakti Bali melalui acara Bali Terkini.

Tak hanya memuat hasil acara interaktif radio-radio di Bali, halaman Interaktif juga memuat hasil acara interaksi radio Citra Banyuwangi di radio Fajar FM Banyuwangi, radio KMB di Banyuwangi. Ini dilakukan karena Bali Post juga beredar di kabupaten paling ujung Jawa Timur tersebut.

Ketiga, sinergi tabloid Tokoh dengan Global FM. Rubrik Aspirasi di tabloid Tokoh yang terbit seminggu sekali memuat hasil acara interaktif Wanita Global tiap pukul 10.00 wita hingga pukul 12.00 wita di radio Global FM. Selain itu, Tokoh juga memuat materi program Harmoni di Bali TV yang sebagian besar tentang profil band.

Keempat, sinergi Bali TV dengan Denpost dan Bali Post. Program ini disiarkan melalui acara Topik Pers yang disiarkan Bali TV seminggu sekali. Meski bernama Topik Pers, program ini sebenarnya mendiskusikan lagi apa saja berita-berita headline di koran lokal tertutama Denpost dan Bali Post.

Konsep sinergi itu, menurut Anom Putra, muncul dari banyaknya pendengar radio maupun pemirsa TV yang aktif terlibat dalam program-program interakitf sepertri Warung Global, Wanita Global, Citra Bali, dan seterusnya. Pertimbangan lain tidak semua orang dengar radio atau membaca koran. Jadi pembaca koran belum tentu mendengar apa yang dibicarakan di radio atau TV.

Menariknya, konsep radio juga bisa dibaca ini membuat konsumen media KMB makin luas. Komunitas tuna netra yang tidak bisa baca koran dan menonton TV bisa medapat peristiwa faktual melalui radio tersebut. Tak hanya “membaca radio”, mereka juga bisa terlibat aktif menyampaikan opini.

Strategi Menghadang Pemain Baru
Sebagai kelompok media terbesar –malah mungkin satu-satunya- di Bali, bukan berarti Kelompok Media Bali Post (KMB) diam saja. Berbagai strategi mereka lakukan untuk menghadang atau melawan pemain baru. Sayangnya upaya permainan curang KMB menghadang pemain baru ini masih sebatas kasak-kusuk. Hingga saat ini belum ada yang menyatakan secara terbuka tentang permainan tersebut.

Di bidang media cetak, sebagai media paling tua di Bali, Bali Post jelas susah ditandingi. Secara sosial budaya, Bali Post sudah jadi bagian dari identitas orang Bali. Mungkin mirip Kedaulatan Rakyat bagi orang Yogyakarta, Pikiran Rakyat bagi orang Bandung, atau Suara Merdeka bagi orang Semarang. Secara politik juga demikian dekat dengan partai politik terbesar di Bali saat ini, PDI Perjuangan.

Tapi pasar iklan tak bisa melulu mengandalkan kedekatan sosial, budaya, dan politik. Radar Bali, sebagai pemain baru, misalnya banyak yang mengatakan sangat agresif dalam merebut kue iklan di media cetak harian di Bali. Indikasi paling gampang, jatah iklan di Radar Radar Bali hampir mencapai 45 persen dari 16 halaman koran. Padahal ketika baru berdiri pada Februari 2001, Radar Bali nyaris tanpa iklan.

Menghadapi perang iklan dengan pemain baru, KMB pun bermain curang. Salah satu mantan redaktur Denpost mengaku ketika itu mereka bermain dengan cara memotong jalur iklan dari pemasang iklan ke media lain. Misalnya hari ini ada iklan baru di Radar Bali, maka hari ini juga pihak Denpost langsung menelpon pemasang iklan tersebut dan menawarkan harga iklan lebih rendah. Pokoknya jangan sampai pemasang iklan itu memasang untuk kedua kali di media lain.

Ketua Perhimpunan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) CabangBali Arif Budiman pun mengakui adanya praktik tidak fair ini oleh KMB. Dalam etika periklanan, pemasang iklan biasanya melalui perusahaan periklanan. Namun KMB tidak mau melakukan cara ini. Mereka lebih senang langsung berhubungan dengan pemasang iklan. Akibatnya harga lebih rendah sehingga pemasang iklan pun memilih KMB sebagai media tempat beriklan.

Selain bermain di aspek ekonomi melalui iklan itu tadi, KMB pun melakukan upaya secara budaya dan politis untuk menghadapi pemain baru. Ini terjadi terutama di media penyiaran yaitu TV.

Ajeg Bali sebagai wacana yang digembar-gemborkan KMB bisa jadi hanyalah kedok agar media-media milik KMB tetap laku. Sebab dengan demikian konsumen akan merasa loyal pada KMB. Penelitian Kesumajaya (2004) menunjukkan bahwa sekitar 57 persen pemirsa tetap loyal pada Bali TV karena menurut mereka Bali TV bisa mengajegkan budaya dan kesenian Bali.

Selain politik jargon melalui Ajeg Bali itu, KMB juga diduga melakukan stragei melalui politik perizinan bagi TV baru. Berdasarkan data Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Bali saat ini ada lima stasiun baru yang mengajukan izin ke KPI Bali untuk melakukan siaran di Bali. Mereka adalah Sam TV, Alam Bali Semesta TV, Bali Music Channel, Dewata TV, dan ANTV. Namun meski sudah mengajukan izin sejak 2005, semua TV itu belum juga mendapatkan izin siaran.

Selain ANTV, semua stasiun itu memang baru dibangun. Bali Music Channel misalnya adalah statisun TV yang didirikan Bagus Mantra (pemilik studi rekaman dan manajer beberapa grup musik Bali) bersama mantan wakil gubernur Bali IGB Alit Putra yang sekarang Ketua DPD Partai Demokrat Bali. Ada pula IB Oka Kresna dan Herman Pratikto sebagai pemilik saham.

TV khusus untuk musik, semacam MTV-nya Bali, ini mengajukan izin sejak Oktober 2005. Namun sampai saat ini belum juga siaran. Padahal mereka berencana melaunching pada 25 Desember 2006 hingga 25 Januari 2007 lalu.

Adapun Alam TV berencana jadi TV berita semacam CNN atau Metro untuk wilayah Bali. Pendirinya rata-rata mantan wartawan Bali Post atau Bali TV yang menggunakan bendera PT Alam Bali Semesta. Sebagai Direktur Utama IGM Pujastana. Sedangan empat direktur lainnya adalah IDM Sastradinata, I Komang Suarsana, Nyoman Legawa Partha, dan IGAA Bintag Aryani. Semuanya pernah bekerja di Bali Post dan Bali TV.

TV yang didirikan dengan modal Rp 16 milyar ini sudah mengajukan izin sejak Oktober 2005 juga. Mereka juga sudah menyiapkan dua kanal yaitu kanal 23 (479,25 MHz) berkekuatan 5 KW untuk Bali selatan dan kanal 51 (711,25 MHz) berkekuatan 1 KW untuk menjanhkau Bali utara. Namun hingga saat ini mereka belum juga melakukan siaran.

Sedangkan Dewata TV didirikan PT Mediantara Televisi Bali. I Nyoman Artha, Direktur Utama Dewata TV adalah pengusaha pariwisata. Karena itu Artha pun lebih menjadikan unsur promosi budaya Bali sebagai motif untuk mendirikan Dewata TV. Porsi siaran budaya itu sekitar 30 persen. Namun budaya Bali itu tidak melulu tentang Hindu tapi juga dari komuitas Muslim dan Kristen. Menurutnya dengan pengemasan yang bagus, budaya Bali bisa dipromosikan dan dijual ke luar negeri.

Di bidang pemberitaan, Dewata TV memberikan porsi sampai sekitar 35 persen. Sebagai Direktur Pemberitaan adalah Putu Setia yang juga Redaktur Senior majalah TEMPO. TV yang didirikan dengan modal Rp 35 milyar ini untuk sementara nebeng tower Metro TV di daerah Badung selatan. Secara lisan juga sudah ada tawaran kerja sama berita dengan SCTV dan Metro TV.

Meski persoalan teknis seperti kanal, sumber daya manusia, program, dan seterusnya sudah selesai toh tiga TV tersebut belum juga siaran. Direktur Utama I Nyoman Artha tidak mengakui secara tegas adanya penjegalan oleh Bali TV di perizinan. Namun dia mengatakan bahwa pada saat selesai melakukan Evaluasi Dengar Pendapat di DPRD, Bali Post sempat memberitakan dengan nada agak menyerang Dewata TV.

Menurut Artha belum mulainya siaran TV-TV baru di Bali akibat belum keluarnya surat rekomendasi perizinan. Radar Bali (26/12/06) pun menyebut bahwa belum beroperasinya semua TV baru itu akibat terganjal administrasi birokrasi. Masih ada tarik ulur antara KPI Bali dengan Menteri Negara Komunikasi dan Informasi. Tidak ada yang secara tegas menyatakan bahwa Bali TV ikut bermain di balik tersendatnya izin operasi dari Menkom Info tersebut.

Persoalan belum adanya izin itu sebenarnya terjadi juga di siaran radio. Menurut Wakil Ketua KPI Bali IB Made Kresna Dhana, masih banyak radio di Bali yang belum memiliki izin siaran. Berdasarkan data Balai Monitor Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit Kelas II Denpasar saat ini ada 42 radio yang melakukan siaran di Bali. Dari 42 stasiun itu hanya 25 yang legal. Sisanya illegal. Namun menurut data di PRSSNI Bali ada 27 radio yang terdaftar dan semuanya legal.

Adapun radio milik KMB di Bali, hanya dua yang sudah legal yaitu Global FM dan SWIB Karangasem. Sisanya ilegal. Toh meski ilegal tiga radio lain sudah melakukan siaran seperti halnya Radio Pemerintah Kota Denpasar dan Radio 911 milik Polda Bali yang juga belum punya izin. KPI dan Balmon sendiri tak bisa berbuat banyak. Mereka menghadapi raksasa media yang terlalu besar untuk dilawan.

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *