Barter Selendang dengan Uang

11 No tags Permalink 0

Bertemu dengan orang-orang baru, juga budayanya, selalu menyenangkan. Ini pula yang aku temui selama perjalanan di Flores pada 19-23 Januari lalu.

Salah satu budaya yang aku tahu adalah prosesi menerima tamu, terutama untuk orang yang pertama kali bertemu. Ritual bernama karong sanga (bener gak ya nulisnya?), upacara penyambutan tamu oleh suku Manggarai, ini aku alami tiga kali. Pertama kali di kantor Yakines, LSM lokal di Manggarai Barat. Kedua di Desa Munting, Kecamatan Lembor. Ketiga, di Desa Lontoh, Kecamatan Lembor juga.

Ketiganya agak berbeda. Di Yakines, Bu Ella, direktur LSM ini hanya mengalungkan selendang ke kepala Jelle, teman dan bos selama perjalanan d Flores. Setelah itu ganti Oba, stafnya, mengalungkan selendang ke aku. Pengalungan selendang tenunan warga setempat ini menjadi penanda bahwa kita, sebagai orang baru, telah diterima oleh mereka.

Namun di Desa Munting dan Lontoh lebih ribet, meski menurut mereka hanya sederhana. Begitu kami turun dari mobil, warga setempat langsung menyambut kami. Mereka berdiri di depan pintu utama masuk rumah mengenakan pakaian adat seperti ikat kepala batik, selendang merah, dan baju putih. Tetua adat berbicara dalam bahasa Manggarai yang menyatakan menerima kami layaknya anak sendiri dan seterusnya. Dua gadis segera mengalungkan selendang pada kami.

Aku senang bukan kepalang ketika mendapat selendang khas Manggarai dengan renda-renda itu. Apalagi ini hasil tenun tangan. Namun, paling senang ya karena dapat gratis. Tidak perlu beli. Hehehe..

Setelah itu, tetua adat kembali berbicara dalam bahasa Manggarai. Intinya sih mendoakan agar kami diberkati selama perjalanan. Usai berdoa, dia menyerahkan tuak di dalam tempat yang terbuat dari labu kering. Aku lupa semua namanya. Cari di internet juga tidak nemu-nemu. *Dasar aku pemalas*

Kami kemudian masuk rumah dan duduk bersila di sana. Ritual penyambutan belum kelar. Masih ada bagian lain. Tetua adat kembali berbicara dalam bahasa Manggarai. Lalu kami diberi ayam putih. Aku pikir ayam itu untuk dibawa pulang. Kan lumayan untuk jualan pecel ayam atau sari laut lamongan, eh, ternyata untuk dikembalikan pada tetua adat sebagai ucapan terima kasih.

Tidak enaknya lagi, kami ternyata harus memberi uang sebagai ucapan terima kasih. Memang sih tidak harus. Tapi sebaiknya ada. Jadi ya ketika mengembalikan ayam putih itu, kami memberikan uang 50 ribuan pas salaman. Setelah itu aku baru mikir, “Waduh, kirain tadi dapat selendang gratis. Eh, ternyata bayar juga. Ini sih sama aja bohong.” Hehehe..

Ritual kemudian berlanjut dengan minum tuak yang tadi diberikan. Tidak harus minum kok. Cuma ya tidak enak juga kalau menolak. Baru minum satu kali teguk, kepalaku langsung, cenut! Pusing.

Namun, beda tempat beda pula caranya. Ritual di atas adalah apa yang aku alami di Desa Munting. Di Desa Lontoh lain lagi, tidak ada lagi tuak dan tempatnya yang dari labu kering. Di desa ini tuak berganti arak. Tempat minumnya dari botol bening. Selain itu, tempat duduknya juga beda. Sebelumnya di kursi plastik, sekarang di tikar khusus untuk tamu yang baru datang. Ada tambahan pula. Tamu yang datang tidak hanya minum arak tapi juga makan sirih. Rasanya? Pahit..

Selain ritual penyambutan tamu, ada pula budaya makan di Flores yang menurutku unik. Jika kita makan bersama, jangan sampai ada yang selesai duluan. Jadi, misalnya, aku harus menyisakan sisa-sisa makanan, meski sudah selesai, ketika temanku di sebelah belum selesai makan. Aku jadi mikir, “Jangan-jangan makannya tidak berhenti-berhenti karena sama-sama menunggu yang lain selesai.” ?

Minum sambil makan pun tidak diperbolehkan. Jadi habiskan dulu semua nasi baru boleh minum. Tap ya semua budaya makan itu juga mulai luntur. Makin banyak yang tidak peduli soal beginian. Sepertinya sih ini di mana-mana, bukan hanya di Flores.

11 Comments
  • erickningrat
    February 6, 2008

    😡 indonesia

    ya, di indonesia. lalu? *garuk2 ga ngerti maksudnya?*

  • Ina
    February 6, 2008

    selendang mama saya banyak, mo barter nga?? 😀

    mau2. gmn caranya?

  • wira
    February 6, 2008

    pulang ke Bali selendangnya dijual aja, siapa tau laku 100 ribu, hahaha

    kalau pak dosen mau, boleh saja. 😀

  • pututik
    February 6, 2008

    pengalaman yang menarik untuk dialami

    lbh pas: menarik dikenang. 😀

  • imsuryawan
    February 6, 2008

    Lho, ni dah ganti profesi Bli? Jualan selendang toh skr?

    ** Kabur.. **

    hehe, maunya gitu. males jd kere terus.

  • bodrox
    February 7, 2008

    asyik memang jalan-jalan ke tempat asing, seolah jadi anonim karena gak ada yang kenal, tapi menyenangkan….

  • goyangan
    February 7, 2008

    kalo datang ke “komplek” barter lendir dengan uang 🙂

  • Blogger
    February 7, 2008

  • dewi
    February 8, 2008

    klo gitu mendingan ga usha terima ayam putihnya aja bang, jadi ga usah balikin pake tempel2an sgala 😀

  • didut
    February 10, 2008

    budaya yg menarik 😀

  • oba
    December 18, 2008

    Saya oba yang kalungin itu selendang……
    kok pada ribut tntng ritual adat itu ya?????
    ga tau apa kalo itu selendang udah di sertai dengan guna2 biar yang make jadi pengen balik lagi buat bagi2 duit n makan ayam putih itu sama2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *