Antara Pepsi, Mercy, dan Machiaveli

0 No tags Permalink 0

Di zaman yang digambarkan Marshall McLuhan sebagai perkampungan global ini, informasi apa yang bisa dibendung? Dunia hanya ibarat kampung kecil karena informasi dengan cepat menyebar antar kampung, antar negara, antar benua. Revolusi informasi membuatnya telah melintas batas tanpa lagi terikat pada teritori ataupun ideologi. Turunannya, hampir tidak ada yang tidak bisa dipasarkan dalam kampung kecil tersebut. Bukan hanya berupa barang yang dijual tetapi juga gaya hidup, identitas, lalu ideologi. Semuanya berkelindan dalam kata benda abstrak bernama globalisasi.Pendidikan berada di antara pusaran modal global itu. Ia tidak semata menjadi kebutuhan dasar manusia akan pengetahuan, sebab pasar telah melakukan komodifikasi sehingga pendidikan bisa menjadi produk yang dipasarkan, lalu dijual. Pendidikan tidak bisa lari bersembunyi dari cengkraman globalisasi yang seperti dikatakan Anthony Giddens, tidak hanya merupakan persoalan ekonomi tapi juga menyangkut masalah politik, sosial, dan budaya.

Berangkat dari titik inilah menarik mencermati serbuan lembaga pendidikan luar negeri di negeri ini. Lembaga pendidikan asing, tak hanya perguruan tinggi tetapi juga sekolah, dengan mudah ada di Indonesia layaknya produk globalisasi seperti Pepsi. Lembaga pendidikan asing tidak hanya dipromosikan. Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, memang dengan mudah menjadi tujuan lembaga pendidikan asing itu. Salah satu alasannya adalah demi pemenuhan kebutuhan sumber daya manusia yang siap berkompetensi dalam pasar bebas. Alasan ini kemudian menjadi pembenar bahwa pendidikan pada akhirnya bertendensi ekonomi.

Bagi sebagian orang, lembaga pendidikan asing ini pun sebagai upaya peningkatan gengsi. Mereka akan lebih bangga ketika bercerita dalam acara arisan atau kumpul-kumpul sesama teman bahwa anaknya kuliah di luar negeri. Sekolah atau kuliah di lembaga pendidikan asing telah menjadi bagian dari identitas, status sosial, atau kelas. Menempuh pendidikan di lembaga asing sama halnya dengan bermobil Mercy, lebih bergengsi.

Rendahnya mutu hasil pendidikan Indonesia dibanding negara lain memang bisa jadi salah satu pembenaran maraknya lembaga pendidikan asing tersebut. Di tingkat dasar, pendidikan Indonesia hanya satu tingkat di atas Vietnam. Apalagi dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, atau Singapura yang sudah jauh berbada di depan (Kompas, 28/1). Maka daripada mendidik anak di Indonesia, akan lebih baik mengirim mereka sekolah atau kuliah di luar negeri yang mutu pendidikannya lebih bagus. Toh, bahwa kemudian pendidikan lebih berdasar pada tuntutan pasar tidak lagi bisa dielakkan.

Inilah dampak globalisasi yang sebenarnya adalah kolonisasi gaya baru. Negara-negara yang lebih banyak menawarkan perguruan tinggi asing pun didominasi, misalnya, oleh negara bekas penjajah seperti Inggris dan Belanda. Lihat misalnya iklan-iklan di koran. Kolonisasi itu tidak lagi konvensional dengan mengirim tentara dan senjata untuk berperang. Menurut Antonio Gramsci, hegemoni negara borjuasi itu dilakukan melalui perang posisi bukan perang gerak. Perang posisi mengesankan seolah tidak terjadi apa-apa, tetapi kekuatan lawan sedang digerogoti dari dalam.

Negara-negara maju memerlukan kuasa terselubung yang bisa jadi tidak kita sadari melalui sistem pendidikan yang mereka terapkan. Dalam bahasa Marxian, secara sitematik negara borjuasi tidak hanya memantapkan kekuasaan itu lewat modal tapi juga alat-alat represif untuk menundukkan perlawanan (negara berkembang). Bagi sebagian orang, hegemoni itu kelihatan masuk akal dan sebuah keniscayaan, sesuatu yang mau tidak mau harus diterima. Sebab dari hari ke hari memang demikian adanya.

Gramsci kemudian menyadarkan kita akan adanya golongan intelektual yang turut serta dalam hegemoni itu. Intelektual organik itulah yang menciptakan alam pikiran dan sistem nilai yang diyakini oleh seluruh masyarakat (Magnis Suseno, 2003). Hegemoni negara maju itu tertanam dalam keyakinan-keyakinan, cita-cita, dan pandangan normatif seluruh masyarakat. Intelektual organik itu diciptakan melalui lembaga pendidikan asing yang kini sibuk mempromosikan produknya di Indonesia.

Pada akhirnya, hasil pendidikan lembaga asing perlu dipertanyakan dengan, barangkali, agak satir. Apa beda mereka dengan Pepsi, Mercy, atau Machiaveli?

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *