Naik Dokar Melihat Ketidaksiapan Denpasar

27 , Permalink 0

Kami bersikap layaknya turis Minggu lalu. Ini niat lama yang terus tertunda, naik dokar jalan-jalan di Denpasar. Niat itu muncul kembali setelah baca tulisannya Dek Didi soal keliling Denpasar naik dokar bersama pacar. (Ehm, kalimat yang sangat puitis. Hehe). Tapi lagi-lagi niat itu tertunda pekan lalu karena Bani sakit, demam dan batuk hampir seminggu.

But, yah, akhirnya bisa juga niat itu terwujud juga Minggu kemarin.

Selain ingin menikmati liburan dengan cara berbeda, kami juga ingin tahu seberapa siap sih Denpasar melaksanakan program city tour yang dipromosikan dengan nama Sight Seeing Denpasar itu? Karena itu kami membawa buku bersampul oranye tentang Sight Seeing yang kami peroleh pada peluncuran program ini 29 Desember 2007 lalu.

Kami memulai perjalanan dari rumah kami di Jl Subak Dalem Denpasar Utara. Wayan Merdana, tukang dokar di gang sebelah, itu menjemput kami sekitar pukul 9 pagi. Bu Jeani, tetangga kami sempat berniat ikut. Tapi dengan berat hati kami tolak. Maaf, kami lagi egois. Kami ingin hanya menikmati perjalanan ini bersama keluarga dan teman baru kami, Lucy.

Btw, Bunda yang cerita banyak soal Lucy. Kalau aku yang cerita, takutnya dia cemburu. Hihihi..

Oke, balik ke dokar. Aku, Bunda, dan Bani duduk di kursi belakang berhadap-hadapan. Pak Wayan dan Lucy di depan. Mesra sekali. Kami pun memulai perjalanan liburan asik keliling Denpasar ini.

Menurut buku pegangan Sight Seeing Denpasar, beberapa tempat yang menarik untuk dikunjungi di Denpasar adalah museum, puri, dan pasar. Dengan pertimbangan kedekatan dan jalur perjalanan, maka kami memilih berkunjung ke Museum Bali, Pasar Burung, dan Puri Pemecutan. Ada satu tempat tujuan lagi yang tidak ada di buku itu, Banjar Kayumas Kaja di jalan Surapati. Itu tujuan kami untuk makan siang nanti.

Dokar kami melaju di hari Minggu itu. Karena libur panjang, maka jalan relatif lebih sepi dibanding biasanya. Bahkan di jalan Nakula dan jalan Arjuna yang biasa macet pun kali ini lancar-lancar saja.

Sekitar 20 menit perjalanan dari rumah, kami sampai di Museum Bali di jalan Mayor Wisnu, sebelah timur lapangan Puputan Badung. Menurut buku yang kami bawa, museum ini didirikan pada 8 Desember 1932. Ada empat bangunan utama yaitu bangunan timur, Buleleng, Karangasem, dan Tabanan. Museum ini adalah tempat menyimpan berbagai benda bersejarah seperti upakara (alat-alat untuk upacara), kain Bali, dan seterusnya.

Sayangnya, museum Bali tutup hari Minggu lalu. Padahal menurut buku, museum itu hanya tutup pada Sabtu dan hari libur nasionall. Dan 23 Maret kemarin bukanlah hari libur nasional meski 20-21 Maret adalah tanggal merah. Kami kecewa. Sebab, sudah susah payah meluangkan waktu pada hari Minggu, eh, ternyata museum tutup.

Bukan hanya kami yang kecewa karena tutupnya museum. Ketika kami baru sampai, sepasang turis dari Perancis datang dan langsung menyemburkan kekecewaan. “Dari kemarin saya ke sini tapi museum tetap saja tutup. Parahnya lagi tidak ada satu pun petugas yang bisa menerangkan pada kami kenapa museum tutup dari yang seharusnya buka,” kata turis itu.

Ini masalah pertama yang kami temui, tidak ada petugas yang bisa menjelaskan dengan tepat kenapa museum tidak buka padahal menurut jadwal seharusnya buka. Petugas di museum, yang berjaga di depan juga tidak bisa menerangkan.

Walhasil kami hanye keliling melihat-lihat tiap bangunan itu dari depan, tanpa bisa melihat apa isinya. Wayan Jaya, guide freelance (dia menyebutnya gaid parilens), menerangkan pada kami tentang makna-makna bangunan itu.

Masalah kedua soal gaid parilens (meminjam bahasanya Wayan Jaya) di museum ini. Mereka tiba-tiba datang begitu saja menemani kami berjalan-jalan di museum. Tidak ada omongan pengantar siapa dia, mau apa, berapa kami harus bayar, dan seterusnya. Dasar orang Indonesia, kami tidak enak saja kalau tiba-tiba menolak ditemenin apalagi kami memang butuh informasi soal tempat itu. Selesai melihat-lihat, kami kasih uang Rp 10 ribu ke guide freelance tadi itu.

Sayang saja sih. Mungkin akan lebih baik kalau tiket masuk museum itu, katakanlah Rp 10 ribu dengan petugas resmi. Jadi kan jelas ke mana uang itu lari, ke museum bukan ke guide parilense itu tadi.

Tapi, okelah. Kami tinggalkan Museum Bali dan menuju objek wisata kedua, pasar burung di jalan Veteran. Pasar ini pun ada di buku Sight Seeing Denpasar sebagai salh satu tempat yang menarik di Denpasar. Maka, dokar kami pun tak tik tuk menuju pasar. Kami memutar dari jalan Surapati ke jalan Kaliasem, jalan Durian, dan jalan Veteran.

Pasar burung di jalan Veteran, sering disebut pasar burung Satria, adalah satu dari dua pasar burung di Denpasar. Satu pasar lagi ada di Sanglah, di belakang toko swalayan Alfa. Karena bersikap layaknya turis, kami ingin mendapat informasi lebih banyak soal pasar ini. Tapi, kami bingung ke mana harus mencari. Di sini tidak ada pos informasi. Kalau mau ya tanya saja ke pedagang dan pengunjung.

Maka, kami hanya jalan-jalan putar pasar. Kami melihat burung, kelinci, kelelawar, hamster, luak, sampai pun ada di sini. Semuanya dikurung. Aku kasian melihatnya. Makanya ketika Bunda ngotot mau beli hamster atau kelinci, aku tetap menolak. Biar saja semua binatang itu di alamnya masing-masing, bukan di dalam kurungan. Membeli binatang di pasar itu sama dengan mendukung penyiksaan binatang.

Kami tidak lama berkeliling pasar. Mungkin sekitar 20 menit. Lalu lanjut makan siang. Pilihan kami sejak dari rumah adalah warung nasi campur di Banjar Kayumas Kaja di jalan Surapati. Sudah susah-susah muter ke sini, eh, ternyata warungnya tutup. Padahal di otakku sudah terbayang enaknya nasi campur ayam bali atau segarnya tipat kuah di sini.

Apa boleh buat, kami cari makan di tempat lain. Kami pilih Warung Satria di jalan Kedondong. Ini warung nasi campur terkenal di Denpasar. Makanya harganya agak mahal, Rp 15 ribu satu porsi.

Selesai makan siang dan istirahat sambil nyerupu es dawet Warung Satria, kami pun melanjutkan perjalanan. Kali ini ke Puri Pemecutan di pojok perempatan antara jalan MH Thamrin, jalan Imam Bonjol, dan jalan Hasanudin. Kami ingin tahu bagaimana sih suasana puri di Denpasar. Sebab, seperti ditulis oleh buku Sight Seeing Denpasar, puri bisa jadi tempat yang menarik untuk dikunjungi.

Aku sudah membayangkan suasana yang akan mirip Istana Mangkunegaran Solo yang aku kunjungi Januari lalu atau seperti Istana Yogyakarta yang kami kunjungi dua tahun lalu.

But, aih aih aih, kami benar-benar tidak mendapat apa pun di sini. Tidak ada petugas yang bisa memberi informasi apa pun. Lha ini kan rumah orang, masak kami mau masuk seenaknya saja. Kan tidak mungkin.

Maka, kami hanya bisa melihat sebentar puri ini tanpa menjelajahinya lebih dalam. Kalau tidak karena hujan deras yang mengguyur kami mungkin langsung cabut. Tempatnya pasti menarik. Tapi tanpa petugas yang bisa memberi keterangan, kami hanya melihat puri itu sebagai benda mati.

Begitu hujan agak reda, kami segera meninggalkan tempat yang direkomendasikan untuk dikunjungi wisatawan ini. Lalu, dokar kami kembali melaju di tengah guyuran hujan. Dan, aku juga Bunda sepakat, Denpasar memang belum siap dengan city tour ini. Benar-benar belum..

27 Comments
  • Ebo
    March 25, 2008

    Yang benar2 siap itu seperti apa yah? rasanya sulit ngebayangin bisa terlaksana bahkan dalam waktu 10 tahun sekalipun…

  • antonemus
    March 25, 2008

    @ ebo: misalnya di museum bali. mbok ya ada petugas yg siap kasih informasi, bukan gait parilens gitu. jg ada informasi yg jelas kapan buka kapan tutup. lha, katanya tutup hanya sabtu dan hari libur nasional, eh, minggu kemarin tutup jg.

    trus di puri pemecutan, ataupun puri2 lain. kalo mmg dimasukkan sbg salah satu lokasi yg bisa dikunjungi wistawan, harusnya ada informasi yg memadai di lokasi itu. masuk dr mana, (kalau bayar) bayar brp, dst. aku bayangin sih kayak di istana yogya atau mangkunegaran solo kan asik tuh. di bali, jauh lbh bagus. tp infonya kurang.

    dst. dst. kenten, pak. 🙂

  • BlogDokter
    March 25, 2008

    FYI : Supermarket Alfa Jalan Diponegoro sudah almarhum

  • mohammad
    March 25, 2008

    dari dulu aku sudah punya kesimpulan, Kenapa turis tidak mengunjungi Denpasar sebagai capital suatu destinasi? ADA YANG SALAH.

    Tengoklah beberapa destinasi, misalnya ke Singapore, pasti dateng ke Orchad Road, Ke Perancis pasti jenguk Paris.

    Sebagai ibu kota destinasi wisata, Denpasar harusnya siap menjadi tempat tujuan yang nyaman and favorit.

    Pernah aku tanyakan ke Bappeda dan Diparda pada suatu seminar, dan apa jawab mereka? “Wah, dik dengan tanpa turis aja Denpasar udah semrawut, apalagi kalo kita mau genjot pembangunan dengan tujuan mendatangkan banyak turis kesini, bisa kacau kita,” jawab salah satu pembicara dengan lantang dan bangga.

    Duh, idiot banget sih…! Kesalahan pasti dari paradigma dia, padahal pembicaranya bertitel doctor loh, pasti otaknya lagi kejungkir.

    Aku cuma bisa membatin, kalo toh memang orientasinya gak turis, setidaknya buatlah Denpasar itu nyaman buat rekreasi warganya.

    Aturlah Kota Denpasar secara manusiawi, yang mengakomodasi misalnya hasrat keluarga Anton melakukan rekreasi.

    Karena lesiure and recreation itu kebutuhan manusiawi…, termasuk pula hak asasi…

  • Dek Didi
    March 25, 2008

    Kkkkkkkk, akhirnya terprovokasi juga.
    Kapan2 naik dokar bareng yuk…

  • paramarta
    March 25, 2008

    weei.. kalo masalah dokar-mendokar dulu semasih saya SD sering tuh naik dokar sama nenek… keliling biasanya start dari rumah sodara di Imam Bonjol trus ke Gn agung…

    tapi untung ada yang masih siap untuk city tour itu bli.. ya dokar itu sendiri. 😆

  • ady gondronk
    March 25, 2008

    sumpah.pah..pah, seumur umur saya belum pernah naik dokar lo. 😆

  • sakti soe
    March 25, 2008

    wuuaaaa hampiir…lucu kali ya mas nek Bali bisa punya segment “wisata romantis” kek Jogja ama Solo…:)

  • Ady yang ga gondronk
    March 25, 2008

    Wah enaknya… keinginanku yang belum terwujud… naik dokar

  • devari
    March 25, 2008

    kopdarnya naik dokar yukkkk
    asyikkkkk

  • okanegara
    March 25, 2008

    kalau bani sudah lancar ngomong pasti nanti nyanyi gini”Pada hari minggu kuturut ayah ke kota, naik dokar istimewa ku…….lihat-lihat wisata kota denpasar, tapi masih sing ade ape…”

  • artana
    March 26, 2008

    Oooo ternyata dokar masih ada ya bli….kirain sudah dihapus , melanggar prikebinatangan…he..he!

  • imsuryawan
    March 26, 2008

    Kok kesannya jadi Sight Seeing “The broken” Denpasar? wkwkwkw…

  • widi
    March 26, 2008

    Denpasar memang ga banget klo dijadiin city tour, amburadul banget soale..

  • dipoetraz
    March 26, 2008

    berapa bayar dokarnya bli?

  • budarsa
    March 26, 2008

    wah seru juga kalo naik dokar di Denpasar pada hari senin siang2, macet cet cet… 😀

  • ick
    March 26, 2008

    denpasar bukan city tour…melainkan crowdit tour…tul ndak bli…

    saya punya usul, gimana kalau hari minggu masyarakat di bali di wajibin naik dokar sehari… disamping bebas macet, kan melestarikan kebudayaan juga, dari pada melestarikan kebudayaan tajen….di samping itu pak kusir di sebelah rumah bli bisa dapet banyak uang…he..he..he…

  • novan kojaque
    March 26, 2008

    itu dokar parilens kali yah 🙂

  • luhde
    March 26, 2008

    ayah, made not wayan jaya.

  • antonemus
    March 27, 2008

    @ blogdokter: oya? *kaget beneran* kok tutup ya? pasti jd korban mal2 besar. kasian bgt sih?

    @ mohammad: itulah akibatnya kalau kota terlalu berorientasi pd pariwisata, seolah-olah warganya tdk berhak menikmati kota dg nyaman. jdnya ya kita sendiri males utk menikmati. larin2nya ke mall dan semacamnya. konsumtif. capek deh..

    @ dek didi: ayuuuuuuk.. kapan?

    @ paramarta: skrg ganti keliling naik motor sama cewek, bukan sama nenek. 😀

    @ ady gondronk: ini pasti pura2. biasanya di wongaya gede jg naik cikar. 😀

    @ sakti soe: wisata romantis sama tante boleh jg. :p

    @ ady yg ga gondronk: walah, sudah jauh jalan2 ke aussie masak naik dokar blm pernah. ayo, kapan2 naik bareng. sama dr partha boleh jg. ;))

    @ devari: ayooo..

    @ okanegara: kemarin dia sudah nyanyi kok, dok. cuma liriknya, “yakinkan aaaku tuhan, dia bukan ayahku..” 😀

    @ artana: masih ada, bli. selama msh ada jalan, di sana ada dokar. 😀

    @ imsuryawan: begitulah..

    @ widi: waah, sebenarnya enggak jg. amburadul pun bisa saja jd asik asal dikelola dg baik. ya gimana lg, ini kota kita. jd ya kita yg harus promosiin meski amburadul. hihihi..

    @ dipoetraz: bayar dokar 50 rb. tp kami kasih bonus lg 10 rb. makan skt 60 rb bertiga. jd ya skt 120 rb utk semua termasuk makan siang. mau?

    @ budarsa: waah, itu mah nekat. 😀

    @ ick: bentul, bli. ayo kita mulai. 🙂

    @ novan: hahaha, bukan. kudanya yg parilens.

    @ luhde: mmmuah!

  • viar
    March 27, 2008

    wah…asik juga tuh kayanya boleh dicoba. ntar ajak temen2 buat keliling denpasar pake dokar ah.

  • ArYA
    March 27, 2008

    sepertinya perlu di coba ney
    huhhuyuhu

  • wira
    March 27, 2008

    tulisan semacam ini memang perlu banget, jadi sebelum berharap turis menikmati city tour ini, sebaiknya kita coba sendiri dulu… betul begitu pak anton?

  • wira
    March 27, 2008

    dan saya ikut kecewa 🙁

  • Biyung Nana
    March 28, 2008

    Sight seeing Denpasar? Apa yang mo diliat? Bersih nggak, jalan kaki ga enak, angkutan umum pun tak layak…. 🙁

  • saylow
    March 28, 2008

    Jadi bunda cemburu sama Lucy? Ayah,… sukanya kuda yah sekarang? Saya pikir Ayah menolak penyiksaan binatang… Ayah oh Ayah.. oh… hihihi ***bayangin Anton meringkik

  • antonemus
    March 31, 2008

    @ viar: ayo2, kapan kopdar naik dokar bawa pacar. 😀

    @ wira: betul, pak dosen. masak buat turis saja. skali2 buat kita dong. turis belakangan saja. 😀

    @ biyung nana: jadinya ya sigth seeing liatin kemacetn kota saja. 😀

    @ saylow: aku lbh kasian sama yg punya dokar. jd ya gapapa melihat Lucy dipecutin. hahaha..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *