Menatap Puing, Mengingat Rusuh

6 , , Permalink 0

Sore tadi aku jalan-jalan sama Bani ke Taman Kota Denpasar dekat Lapangan Lumintang Denpasar utara. Meski namanya keren, “Taman Kota”, tempat ini tak lebih dari lapangan kosong dengan pohon-pohon yang baru ditanam. Ada beberapa petak tanah luas dengan semak-semak tidak terurus di pinggir lapangan.

Meski tidak seramai di Lapangan Puputan Renon atau Puputan Badung, namun sore itu puluhan orang lain juga sedang berjalan-jalan di sana. Ada yang sekadar lari, jalan-jalan, sepak bola, main skate board, atau malah jalan-jalan sama anjing. Aku dan Bani sih jalan sambil cuci mata. Mumpung tidak ada Bunda, jadi kami bebas jadi laki-laki. Hehehe..

Jalan-jalan di tempat itu, aku masih bisa melihat puing-puing sisa kerusuhan di Denpasar pada 1999 lalu. Maka, sambil jalan-jalan sore itu, aku jadi inget peristiwa tujuh sembilan tahun lalu itu.

Aku ingat 21 Oktober 1999. Sehari sebelumnya, MPR memilih Abdurrahman Wahid sebagai presiden meski pemenang Pemilu waktu itu adalah PDI Perjuangan. Masyarakat Bali, yang identik sebagai basis PDI Perjuangan kecewa karena Megawati Soekarnoputri tidak terpilih. Kerusuhan terjadi di Singaraja, Bali utara setelah Megawati tidak terpilih.

Pada hari yang sama, sebagian warga Denpasar yang kecewa mulai membakar ban di tepi jalan. Aku inget pertama kali sih di pertigaan Jalan Hayam Wuruk dan Jalan Kecubung. Tapi hari itu masih relatif terkendali. Esoknya, kerusuhan baru meledak di Denpasar.

Sekitar pukul 1 siang, ketika aku pulang kuliah dari Bukit Jimbaran. Belum terlihat apa pun yang menunjukkan kerusuhan. Tapi aku sudah mendengar kalau ada kerusuhan di beberapa tempat di Denpasar. Aku pun beli film di studio foto langgananku di kompleks pertokoan Sudirman Agung.

Setelah itu, aku dan Dian, pacar pada zaman kegelapan tersebut (haha), naik sepeda motor Honda DK 2232 BG ke arah Puputan Badung. Kami dengar massa di sana sedang kalap hendak membakar gedung Golkar di Jalan Surapati.

Melewati Jalan Diponegoro, kami melihat gerombolan orang mulai merusak fasilitas. Ada yang merobohkan pohon, menjebol pipa air, melempari toko-toko. Mereka kalap. Entah pada siapa.

Sepanjang jalan yang biasanya padat itu pun bergeletakan banyak barang. Kayu, pot bunga, air dari pipa yang dijebol. Tapi belum ada yang bakar-bakaran.

Kami sampai kawasan Puputan Badung. Ratusan orang bergerak dari perempatan Catur Muka ke arah jalan Surapati. Ternyata mereka memang hendak membakar gedung Golkar di depan SMP 1. Kami masuk di antara mereka. Salah seorang sempat bilang ke Dian, “Cewek jangan ikut di sini. Bahaya.”

“Wartawan, Pak,” jawab Dian. Bapak itu diam.

Mereka terus bergerak ke gedung Golkar. Semula massa hanya merusak. Mengambil kursi dari dalam lalu menyeretnya keluar. Kaca dilempar. Api tiba-tiba meluncur ke atap gedung. Segera setelah itu menyala-nyala membakar semuanya.

Ketika massa sedang membakar itu, datang pasukan anti huru hara dari arah Catur Muka. Massa kembali ke jalan lalu melempari pasukan Dalmas. Sebaliknya pasukan Dalmas membalas dengan semprotan gas air mata. Tuiiiiingggg. Jedor! (Ya, kurang lebih begitulah bunyinya. Hehe)

Konyolnya, aku dan Dian berada di tengah di antara mereka. Kami bersembunyi di balik pohon asam. Asap gas air mata itu tetap saja mengenai mata kami. Perih. Mataku berair. Kami lari ke arah belakang gedung Telkom di jalan Kaliasem yang tidak jadi dibakar massa karena ada fasilitas teleponnya.

Kami hanya cuci muka dengan air dari pemilik rumah dekat sana. Setelah itu kami pilih kabur.

Kami menuju areal Pemkab Badung di kawasan Lumintang. Karena tidak bisa lewat jalan utama, kami melewati jalan-jalan tikus. Terlihat asap membumbung tinggi di barat daya sana.

Sampai areal Pemkab Badung, massa sudah merangsek masuk gedung. Mereka keluarkan barang-barang di dalamnya. Mereka lalu membakar gedung itu. Banyak gedung terbakar. Aku lupa satu per satu. Salah satunya adalah aula yang sering dipakai pertemuan.

Beberapa orang menjarah isi kantor seperti komputer, meja, TV, dan seterusnya. Aku tidak bisa mengerti bagaimana orang-orang bisa beringas dan mengambil milik orang lain seperti itu.

Buku-buku pun dibakar. Aku lalu mengambil satu dari ratusan buku yang hendak dibakar itu. Aku hendak menjadikannya sebagai sebuah kenangan dari peristiwa buruk yang pernah terjadi di Bali.

Lalu di balik sampul buku berjudul Alit Putra Bersama Rakyat Membangun Badung itu aku tuliskan kalimat untuk mengenang sejarah di balik buku itu.

21Oktober 1999

Buku ini adalah saksi.
Ketika kekecewaan rakyat telah tak mampu terkendalikan.
Ketika aspirasi rakyat telah tak mampu tersalurkan.
Bahasa terakhir rakyat adalah PEMBERONTAKAN..

Mimih, adi serius sajan nah tulisanku di buku itu? 😀

6 Comments
  • Nyoman Ribeka
    March 30, 2008

    hahahahahaha … begitu besar dukungan masyarakat kepada megawati dan berharap akan terjadi perubahan. tapi ternyata, sing ada apa deeeeeeee …

  • imsuryawan
    March 30, 2008

    Saya masih ingat waktu itu ada SMP 1 Dps. Kalo ga salah waktu itu di sana ada lomba. Kejadian pembakaran gedung Golkar juga saya saksikan waktu itu dengan mata kepala sendiri. Saya sih seneng2 aja liat kerusuhan kayak gitu! hehehe… kan blom ngerti apa2 tuh, masih SMA waktu itu Bli!

  • antonemus
    March 31, 2008

    @ nyoman ribeka: begitulah. sering kali dukungan orang dlm politik mmg terselimuti mitos atau primordialisme. hampir semuanya pd tokoh politik kita. makanya utk ngritik pun takutnya bukan main. apalagi orang bali pd megawati. susah..

    @ imsuryawan: ha, seneng liat kerusuhan?? kalo liat bakar2an sih aku jg seneng. apalagi kalo bakar ikan. 😀

  • ady gondronk
    March 31, 2008

    hahahaha…ada yg ga lulus matematika kayanya nih. 😆
    Bosss…tahun 1999 itu udah lewat sembilan tahun yg lalu bukan tujuh tahun…bangun..bangun…. 😆

  • antonemus
    March 31, 2008

    @ ady gondronk: iya nok. padahal dulu matematika dpt A terus. 😀 tengkiu ralatnya..

  • wira
    April 3, 2008

    dan saya waktu itu malah asik bantuin ajik di rumah masang genteng “bale daja”.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *