Hanya dalam waktu sekitar 4 jam, anak-anak SD itu bisa membuat koran sendiri.
Empat jam itu pun masih dikurangi satu jam materi dan sekitar 30 menit untuk seleksi tim yang lolos. Jadi, total waktu mereka membuat koran cilik tersebut sekitar 2,5 jam. Tak kusangka. Ternyata mereka bisa menyelesaikan koran tersebut dalam waktu demikian cepat meski isi dan tampilan korannya sederhana.
Meski sederhana, setidaknya, anak-anak itu telah menghasilkan satu karya yang anak SMP, SMA, atau malah mahasiswa pun belum bisa. Hehe..
Koran cilik tersebut dibuat anak-anak SD Negeri 2 Desa Timuhun, Kecamatan Banjarangkan, Klungkung, Sabtu dua hari lalu. Aku memberi pelatihan setengah hari yang diadakan Japfa Comfeed tersebut. Selain aku, di desa tersebut juga ada dua teman lain dari Sloka Institute, pengelola Bale Bengong, yang memberikan pelatihan di dua SD lainnya.
Japfa Comfeed perusahaan di bidang peternakan dari hulu hingga ke hilir. Selain mendukung peternak ayam di desa-desa, mereka juga memproduksi bahan olahan daging, seperti sosis. Pelatihan jurnalis cilik ini diadakan di desa-desa lokasi mereka membina peternak, termasuk di Desa Timuhun.
Selain Klungkung, kegiatan serupa juga diadakan di dua kabupaten lain di Bali, yaitu Tabanan dan Bangli pada waktu berbeda. Japfa bekerja sama pula dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar untuk wilayah-wilayah lain.
Pelatihan jurnalis cilik tersebut merupakan bagian dari program sosial Japfa Comfeed selain pemberian gizi tambahan untuk anak-anak SD. Artasanti Alif, Kepala Hubungan Masyarakat (Humas) Japfa Comfeed dalam obrolan sekitar dua minggu waktu lalu di Denpasar untuk persiapan kegiatan mengatakan, pelatihan ini untuk mengenalkan jurnalistik sejak awal pada anak-anak.
Target jangka pendeknya, anak-anak itu bisa membuat koran cilik untuk dilombakan. Selain di Bali, kegiatan serupa diadakan Japfa di beberapa daerah lain, seperti Sulawesi, Lampung, Aceh, dan Medan. Nantinya, semua hasil pelatihan akan dilombakan di tingkat wilayah dan nasional.
Hadiahnya lumayan. Untuk di tingkat wilayah, juara I mendapat hadiah Rp 4.000.000. Lalu, di tingkat nasional Rp 7.500.000. “Wooooow,” begitu ekspresi anak-anak di SD 2 Timuhun ketika aku menyebut angka tersebut. Aku senang mendenga suara dan melihat ekspresi mereka.
Tapi, aku lebih senang lagi merasakan semangat mereka ketika belajar jurnalistik. Awalnya ada 30 murid yang ikut pelatihan. Pada tahap pertama mereka belajar cara menulis. Tak jauh beda dengan mengarang dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Tapi, ada muatan jurnalistiknya.
Usai belajar teori, para murid praktik menulis dengan empat tema utama: pelatihan pagi itu, tempat wisata, makanan khas, dan tradisi di desa tersebut. Ada pula yang menggambar untuk mendukung tulisan teman lainnya. Mereka bekerja dalam tim, masing-masing terdiri dari lima murid.
Hasil praktik kemudian aku nilai bersama dua guru mereka. Kami memilih 15 yang terbaik yang kemudian dibagi dalam tiga kelompok. Tiga kelompok baru inilah yang membuat koran cilik tersebut. Tema tulisan tetap sama.
Dewa Ayu Meliana Sri Hayati, murid Kelas V SD, misalnya menulis tentang kesenian khas di desanya, seperti barong, tari, dan lain-lain. Sementara tiga temannya menulis tentang tempat jalan-jalan dan makanan khas di desa tersebut.
Mereka membuat tulisan di kertas warna-warni lalu menempelnya di format koran kecil yang disediakan panitia. Sekitar pukul 11.50 Wita, setelah mereka mulai membuat koran itu sejak pukul 10.30 Wita, akhirnya mereka menyelesaikannya. “Senang sekali bisa belajar seperti ini,” kata Ayu.
“Kegiatan ini penting sekali karena anak-anak jadi tahu bagaimana cara kerja jurnalis. Kalau bisa jangan hanya sekali,” kata Desak Nyoman Arwati, Kepala Sekolah SD 2 Timuhun.
March 14, 2011
jadi ingat pelatihan jurnalistik pelajar dulu…
March 17, 2011
ok pak makasih,gambarnya bagus sekali.