Tanpa mikrofon, aku harus berteriak untuk bersuara. Tapi, percuma.
Suara itu tak didengar sama sekali. Dua moderator di depan tak mendengarnya. Mereka sibuk mengubah beberapa kata yang terlihat di layar tanpa mengacuhkan apa yang aku sampaikan. Pendapatku diabaikan.
Tentu saja itu memuakkan. Ini konferensi yang mengklaim bawa nama blogger. Namun, sore itu aku merasa hanya didominasi sekelompok orang. Peserta di depan yang boleh bicara. Aku yang di belakang meski kemudian maju dan angkat tangan juga tak didengar.
Tak ada mikrofon. Maka, aku terpaksa berteriak meski tak didengar, apalagi diperhatikan. Tapi, tak apa. Setidaknya, aku sudah menyampaikan apa yang aku pikirkan, seperti juga aku sudah sampaikan pada diskusi kelompok.
Sepele
Kejadian itu mungkin hal amat teknis. Sepele. Remeh temeh. Namun, bagiku, itulah salah satu bukti di mana keputusan-keputusan dalam Konferensi ASEAN Blogger Community (ABC) di Bali Rabu kemarin tak cukup demokratis. Pendapat peserta benar-benar diabaikan. Padahal, pendapat itu sudah aku sampaikan berkali-kali.
Konferensi ABC ini diadakan Nusa Dua, Bali seharian kemarin. Sejak pukul 09.00 pagi hingga sekitar 19.00 Wita, 150-an blogger itu mengikuti pertemuan tentang situasi blog di kawasan ASEAN ini. Tak hanya dari berbagai komunitas blogger di Indonesia tapi juga dari beberapa negara, seperti Malaysia, Filipina, Vietnam, dan lain-lain.
Kami berdiskusi tentang situasi blogosphere dan tantangan kebebasan berekspresi di negara-negara anggota ASEAN. Usai diskusi, peserta membuat deklarasi atas nama ASEAN Blogger Community.
Namun, deklarasi ini perlu mendapat banyak catatan.
Pertama, substansi. Untuk mendapatkan materi deklarasi ini, peserta dibagi dalam tiga grup. Masing-masing membicarakan materi berbeda. Namun, dalam grup yang aku ikuti dan grup lain yang aku pantau, diskusi paling seru adalah soal perlunya jaminan kebebasan berekspresi oleh negara.
Sayangnya, substansi tentang perlunya jaminan negara terhadap kebebasan berekspresi pada blogger di negara-negara anggota ASEAN ini justru kalah oleh pentingnya peran blogger dan pengguna social media pada berdirinya ASEAN Community 2015.
Bagiku, ini hal amat mendasar. Menempatkan kepentingan ASEAN Community di atas poin tentang perlunya kebebasan berekspresi justru menunjukkan bahwa makhluk bernama ABC atau ASEAN Blogger Community ini akan jadi alat kepanjangan tangan dari ASEAN, bukan wakil blogger.
Apa bedanya? Kalau jadi kepanjangan tangan ASEAN, maka ASEAN Blogger Community tak lebih dari alat untuk mendukung kepentingan-kepentingan ASEAN. Padahal, dalam diskusi-diskusi kelompok, kami semua sepakat bahwa blogger haruslah independen dari kepentingan negara mana pun.
Ajaib
Jika menempatkan kepentingan kebebasan berekspresi sebagai bagian paling penting dalam deklarasi, maka turunan dari poin ini pada bagian-bagian selanjutnya adalah tuntutan agar negara-negara anggota ASEAN memberikan ruang lebih pada blogger untuk bersuara.
Saat ini, Indonesia mungkin sudah jauh lebih merdeka dalam konteks kebebasan berekspresi. Namun, blogger di Thailand, Singapura, Vietnam, Laos, dan Malaysia masih rentan dengan jeratan ancaman penjara. Sayangnya, tak ada tuntutan lebih jelas terkait hal ini dalam poin-poin deklarasi tersebut.
Substansi deklarasi ASEAN Blogger Community amat bias kepentingan ASEAN sebagai satu asosiasi negara daripada kepentingan blogger.
Kedua, teknis penyusunan deklarasi. Dalam diskusi kelompok, setidaknya di kelompokku, ketua kelompok tidak tahu apa yang harus dia lakukan dalam diskusi kecil ini. Dia hanya sempat bilang bahwa poin-poin dalam diskusi kelompok akan dibuat dalam bentuk deklarasi bersama. Namun, kami tak tahu harus memulai dari mana. Macet.
Setelah sempat vakum sekitar 15 menit karena tak jelas mau ngapain, mendadak muncullah draft deklarasi yang sudah rapi jali. Ajaib! Ini diskusi kelompok untuk membuat poin-poin deklarasinya belum dilakukan kok ternyata sudah ada draft deklarasinya.
Dugaanku, sekali lagi dugaan dan aku meyakininya, poin-poin deklarasi ini memang sudah disiapkan sebelumnya. Penyampaian situasi di masing-masing negara, diskusi kelompok, plus diskusi pleno hanya formalitas agar deklarasi ini seolah-olah dihasilkan oleh para blogger.
Tanpa ada proses rumit dan bertele-tele ini, aku yakin deklarasi itu tetap akan ada. Ya, tentu untuk mendukung kepentingan ASEAN itu tadi.
Underbow
Catatan ketiga adalah soal nama. Aku sendiri tidak pernah sama sekali terlibat dalam proses pembentukan komunitas blogger ASEAN ini. Hanya sempat heran sekitar dua bukan lalu pas aku baca ada deklarasi ASEAN Blogger Community. Kok bisa ASEAN? Lha wong di Indonesia saja belum banyak yang tahu kok mendadak bawa nama ASEAN.
Karena itu aku tak tahu pula kenapa namanya ASEAN Blogger Community, nama yang bagiku sangat tidak independen. Jika komunitas ini memang mau independen, dan itu berarti harus berjarak pada kepentingan siapa pun selain blogger itu sendiri, seharusnya tak usah pakai nama ASEAN.
Usulku, seperti aku sampaikan berkali-kali, pakai saja nama Southeast Asia Blogger Network. Tak ada ASEAN, entitas antar-negara dalam komunitas blogger ini. Pendekatannya lebih pada kawasan, bukan lembaga antar-negara. Keanggotaannya pun harus lebih jelas, individu atau komunitas, bukan seolah-olah wakil satu negara.
Jika ada embel-embel ASEAN dalam komunitas ini, maka tak mungkin komunitas ini bisa independen. Selamanya dia akan terlihat sebagai underbow atau alat kepanjangan tangan ASEAN sebagai lembaga antar-negara, bukan perwakilan blogger.
Karena itu, bagiku, ASEAN Blogger Community ini ya tak jauh beda dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Ide pembentukan dua lembaga ini datang dari pemerintah, bukan masyarakat sipil. Maka, dalam perjalanannya pun mereka hanya jadi tukang stempel atau alat untuk melegitimasi kebijakan-kebijakan pemerintah yang kadang tak jelas.
Maka, tak usah terlalu banyak berharap pada ASEAN Blogger Community ini. Dia memang lahir dari perut Sekretariat ASEAN dan bisa jadi akan terus jadi corongnya ASEAN. Sekian.
Leave a Reply