“Maaf, tapi saya harus bayar berapa untuk ditulis?” tanya suara di ujung telepon sana.
“Waduh, Anda tidak usah bayar. Malah kalau memang saya tidak dikasih gratis, saya akan bayar,” jawabku.
“Oh, begitu ya. Saya pikir saya harus bayar,” katanya.
Hmm, ini kali kesekian aku jadi korban salah paham. Ketika akan menulis sesuatu yang memang bersifat promotif, aku pasti dipikir akan meminta bayaran atau setidaknya aku dipikir akan mengharap sesuatu. Begitu pula hari ini.
Aku hendak menulis untuk Appetite Journey, majalah kuliner dan travelling terbitan Jakarta. Tiap bulan aku bantu nulis lepas di majalah ini minimal empat tempat makan di Bali. Biasanya aku hanya langsung datang ke resto itu dan bersikap seperti pengunjung lain, bukan sebagai wartawan. Pesan, motret, makan, nulis, lalu bayar. Tidak ada wawancara. Tidak ada makan minum gratis.
Cara liputan kuliner begini, menurutku lebih baik dan asik saat itu. Bebas. Tidak bawa embel-embel wartawan. Juga, karena tidak gratis maka aku bisa menulis sesukaku.
Tapi ternyata liputan begini tidak pas juga. Pertama jelas pengetahuanku soal kuliner sangat terbatas. Aku hanya bisa menulis apa yang aku lihat dan aku rasa. Padahal nulis kuliner tidak melulu itu. Kita perlu tahu apa di balik makanan itu seperti bahan, bumbu, atau bahkan sejarah bila perlu. Kedua, aku juga harus keluar ongkos banyak. Soale harus bayar semua menu yang aku makan atau minum. Selama ini memang tekor. Honor menulis, kurang dari Rp 500 ribu untuk empat artikel pendek itu, itu aku pakai saja untuk bayar makan minum pas liputan. Jadi ya ibarat makan minum gratis dalam bentuk lain. 🙂
Ketiga, meski tetap bayar, aku toh ternyata tidak bisa menulis bebas. Misalnya memberi penilaian jelek pada sebuah makanan. Lha ini liputan majalah yang cenderung untuk jadi referensi agar resto itu dikunjungi, ya susah juga kalau aku nulis yang jelek. Masak sudah tahu jelek tetep ditulis. Setahuku wartawan ahli investigasi yang kini terkenal sebagai tokoh kuliner Indonesia Bondan “Mak Nyus” Winarno itu pun tidak akan menayangkan liputannya di Wisata Kuliner kalau tempat yang dia kunjungi memang jelek kualitasnya. Jadi ya aku pun nulis kuliner juga yang baik-baik saja untuk majalah itu. Lagian masak aku sudah keluar duit eh tidak aku tulis. Kan aku malah rugi. 😀
Maka, mulai hari ini aku mengubah cara liputan kulinerku. Aku pakai gaya lama ketika seperti zaman jadi wartawan baik-baik. 😀 Telepon dulu, janjian, baru datang ke resto itu.
Tapi, eh, ternyata salah paham. Ketika aku telepon untuk liputan, malah dipikir mau minta mereka bayar untuk pasang iklan. Weleh, weleh. Beginilah kalau banyak wartawan yang suka minta atau menerima amplop setelah liputan sementara narasumber juga tidak tahu kalau mereka tidak boleh memberikan amplop itu.
Jadi bapak ibu, tidak usah beri amplop apalagi isinya pada wartawan. Cukup berikanlah informasi yang sebenarnya untuk mereka. Itu sudah luar biasa. Kalau ternyata mereka malah minta amplop, bahkan cenderung memaksa, laporkan saja ke kantor medianya atau ke polisi. Itu sudah masuk kategori pemerasan. Tidak masuk media umum pun tidak apa-apa. Kita tulis saja di blog. 😀
Leave a Reply