Tak terasa, ternyata sudah lama juga aku tidak ketemu dengan karibku yang satu ini. Namanya tidak boleh disebut. Tidak etis. Soale ini hubungannya dengan konfidensialitas, prinsip di mana kerahasiaan status seseorang harus disimpan sampai dia sendiri yang membuka statusnya. Teman itu positif HIV. Aku boleh nyebut status saja, asal tidak menyebut nama. Sebut sajalah namanya Adi. Dia pernah bertahun-tahun kecanduan heroin. Dan karena ini dia tertular HIV.
Kami teman akrab sejak aku kenal lebih dekat isu HIV/AIDS dan narkoba di Bali pada 2005 lalu. Tapi teman ini pula, yang aku wawancarai pertama kali ketika aku menulis isu AIDS untuk GATRA, tempatku kerja waktu itu. Adi inilah orang dengan HIV/AIDS yang kukenal pertama kali, sekitar 2002. Eh, lha dalah, ketika aku kenal lebih intens soal HIV/AIDS ternyata dia jadi teman akrabku.
Si Adi ini pula yang mengajakku mengenal lebih dalam dunia gelap di Denpasar dan Bali. Dia yang mengenalkanku dengan salah satu warung di daerah Sanglah di mana para junkie biasa ngumpul tiap hari. Lalu mereka bagi-bagi heroin dan cucaw di sana. Satu hari pernah ada satu polisi berpakaian lengkap datang ketika junkie-junkie itu lagi cucaw. Aku pikir polisi itu akan menangkap. Ealah, ternyata polisi berpakaian lengkap itu ikut nyuntik heroin di sana. Kacau juga..
Karena sudah tidak intens nulis isu HIV/AIDS dan narkoba lagi, aku pun makin jarang ketemu Adi ini. Kami sempat sama-sama bantu IKON Bali, gerombolan pecandu dan mantan pecandu heroin yang kenceng menuntut perlindungan hak asasi manusia (HAM) di kalangan mereka.
Lalu Kamis kemarin kami ketemu lagi karena aku nulis soal 20 tahun penanggulangan AIDS di Bali. Ini tulisan pesanan Komisi Penanggulangan AIDS Bali. Kami ketemu di rumahnya di kawasan Soedirman, Denpasar. Kawasan perumahan tentara ini memang gak beres sejak dulu. Tahun 1997an, tempat ini jadi pusat peredaran narkoba di Bali. Anak-anak di sana dengan cueknya cucaw di pinggir jalan.
Dan, sekarang pun begitu. Ketika aku main ke rumah teman itu, dengan cueknya dia dan teman-temannya lagi main togel. Mereka beli kupon untuk pasang untuk TSSM. Bener-bener kebetulan yang menyenangkan bagiku. Hehehe..
Ketika aku masih kos di daerah Panjer, bapak kosku yang preman anggota Laskar Bali itu pun langganan togel. Kadang-kadang dia jadi pengepul. Jadi taulah aku meski sedikit soal dunia togel. Cuma sudah agak lupa karena sudah lama.
Kali ini aku pun tanya-tanya ke temanku itu. Dia sih ngakunya hanya untuk iseng-iseng. Ah, tentu saja aku gak percaya, Bos. Masak hanya iseng-iseng kok tiap hari beli sepuluh kupon. Harganya seribu perak per kupon.
Temenku itu sih ngakunya juga untuk mengolah otak. “Beli togel bisa buat mikir, Pak. Mencerdaskan ini,” katanya sambil nunjuk otak. Yang bener, Bos? Bukannya kamu biasa mikir pake yang di bawah? Hahaha..
Mencerdaskan otak itu, kata temenku, karena dia harus menerjemahkan petunjuk yang dia dapat. Bisa dari buku, bisa dari mimpi, diSMS orang, atau dari kertas sandi yang dia dapat tiap hari. Kalau ada kata tertentu yang merujuk pada angka tertentu, maka bisa jadi angka itu akan keluar. Pernah, misalnya, dia baca kata-kata, “Putri cantik pergi ke Bogor.” Lalu dia pilih angka yang sama dengan putri cantik. Dia pilih angka yang mewakili pelacur cantik kelas tinggi, kalau tidak salah 27. Eh dia menang. Dapatlah dia Rp 350 ribu.
Atau misalnya ada kata-kata gudel di kertas sandi itu, maka si pemasang, termasuk temanku itu juga, akan cari angka yang kira-kira nyambung dengan gudel tersebut.
Aku pun pinjam kertas sandi punya temanku itu. Bukannya mendapat petunjuk, aku malah ngakak. Soalnya aneh-aneh kalimat di sana. Misalnya kata-kata sandi dari Putra Bali kemarin (21/2) bilang, “Caci maki tak masuk di hati…/Tawanan dibawa Pak Polisi../ Kesakitan tak diobati di kaki../Karna syetan kebal tubuh beraksi.. Awas!”
Ada pula yang begini, “Minta kawin bersitri dua../ Cerai satu sisanya setan../ Main-main mecampur bini../Awas… ketemu batu.”
Kira-kira whadehel its min (what the hell it’s mean?) ya?
Leave a Reply