Tirulah Kampanye Warga Lodtunduh

6 No tags Permalink 0

Elit politik di Bali, atau bahkan Indonesia, mungkin bisa belajar ke Lodtunduh, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar tentang cara berkampanye tanpa harus merusak wajah kota atau desanya. Warga desa ini membuat aturan agar pemasangan atribut kampanye seperti baliho dan bendera parpol hanya dilakukan di tempat tertentu. Jadi rapi dan tertib wajah desa masih terjaga.

Masuk kawasan desa ini, perbedaan itu langsung terasa dibanding desa-desa sekitarnya. Di desa lain, sepanjang jalan dipenuhi wajah para calon anggota legislatif (caleg) dalam baliho atau spanduk dan bendera partai yang berlomba paling tinggi dan paling besar. Begitu pula di tempat lain. Di Denpasar misalnya, baliho, bendera, dan spanduk nyaris memenuhi semua ruas jalan kota. Bukannya membuat orang tertarik, bagiku sih malah merusak wajah kota.

Tapi di jalan-jalan desa Lodtunduh justru nyaris tidak ada atribut kampanye sama sekali. Bendera parpol dan spanduk caleg itu hanya ada di tempat tertentu seperti di depan bale banjar dan kantor kepala desa.

Perbedaan ini yang mengundang perhatianku ketika dalam perjalanan ke Ubud, untuk liputan tentang pameran lukisan di Komaneka Gallery, hari ini. Aku yakin ada sesuatu di balik itu. Maka, ketika pulang, aku sempatkan untuk kembali lewat Lodtunduh dan memastikan ada apa di balik rapinya pemasangan atribut kampanye tersebut.

Ternyata dugaanku benar. Aku ngobrol dengan Made Karang, yang kutemui di depan kantor kepala desa Lodtunduh. Menurut Karang yang juga Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Lodtunduh, warga setempat sepakat membatasi pemasangan atribut kampanye di desa tersebut.

“Kami tidak ingin ada perang bendera di desa kami,” kata Karang.

Menurut bapak dua anak itu, kesepakatan untuk membatasi pemasangan atribut kampanye tersebut lebih banyak didasarkan pada keinginan menjaga keindahan wajah desa. “Sebab, desa kami juga mewakili Kecamatan Ubud dalam lomba desa di tingkat kabupaten,” ujarnya.

Kesepakatan itu dibuat sebulan lalu antara para caleg, pimpinan parpol di desa, dan para pengurus desa seperti kelian banjar, perbekel, dan anggota BPD. Dalam kesepakatan yang dibuat tertulis itu disebutkan bahwa para caleg dan parpol tidak akan memasang atribut kampanye di sembarang tempat seperti jalan raya, pohon, dan tiang listrik.

“Pemasangan atribut kampanye hanya diperbolehkan dilakukan di depan bale banjar dan kantor kepala desa,” kata Karang. Selain masalah tempat, ukuran atribut pun dibuat seragam. Misalnya ukuran lebar bendera dan tinggi tiang untuk memasangnya. Pemasangan baliho juga tidak boleh karena ukurannya besar dan mengganggu wajah desa.

Menurut Karang, awalnya sebagian caleg dari Desa Lodtunduh sempat keberatan dengan adanya aturan tersebut. Namun demi ketertiban dan keindahan desa, para caleg tersebut akhirnya bisa menerima. “Kami kan tidak melarang pemasangan, tapi hanya membatasi,” tambah Karang.

Setelah ada kesepakatan tersebut, atribut kampanye yang sudah terpasang di sepanjang jalan pun segera ditertibkan. Atribut kampanye itu kemudian terkonsentrasi di beberapa titik antara lain di sebelas bale banjar dan di depan kantor kepala desa setempat.

Di depan kantor kepala desa misalnya ada empat bender partai yaitu PDI Perjuangan, Partai Karya Persatuan Bangsa (PKPB), Partai PIB, dan Partai Demokrat. “Kami memberikan kesempatan pada semua partai untuk memasang atributnya. Tapi hanya empat itu yang memasang,” kata Karang.

Meski demikian, kesepakatan itu sendiri tidak memiliki sanksi. Ketika ada yang melanggar kesepakatan, pengurus desa akan mencopot atribut itu. Begitu saja. Tidak ada sanksi lain-lain lagi.

Di Desa Londtunduh sendiri, kata Karang, ada sekitar 11 caleg dari partai kecil. Para caleg itu ada yang untuk DPRD Kabupaten, DPRD Bali, maupun DPR RI. Jumlah warga yang punya hak pilih sekitar 5000 orang. Meski banyak caleg, toh, desa itu tidak harus dipenuhi wajah para caleg tersebut maupun parpol yang mengusungnya.

Kalau di Desa Lodtunduh bisa begitu tertib soal kampanye, seharusnya daerah lain pun bisa. Kemeriahan menyambut Pemilu tidak harus dilakukan dengan merusak wajah kota atau desa kan?

6 Comments
  • iik
    January 4, 2009

    Wah bagus donk kalo kayak gitu.. coba kalo di denpasar kayak gitu..

  • angga erlangga
    January 4, 2009

    Asyik nech di bali.. bisa jemuran… :mrgreen:

    Salam kenal… 😉

  • antonemus
    January 5, 2009

    bener, mbok. harusnya semua tempat kayak lodtunduh. jd bisa tertib dan rapi..

  • antonemus
    January 5, 2009

    salam kenal. kalo jemuran sih di mana-mana jg bisa. :p

  • wira
    January 9, 2009

    cara kampanye yang mantap itu pak, dan ini juga tulisan yang mak nyos…

    *lumayan ni buat persiapan pemilu 2014 😀

  • antonemus
    January 13, 2009

    hehe. ntar kalo jd caleg, aku minta pak wira deh utk jd jurkam. 😀

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *