Seperti biasa, Kamis sampai Minggu adalah waktu untuk bekerja dari rumah. Kalau bukan karena ada liputan keluar kota, empat hari ini aku lebih banyak bekerja dari rumah. Menulis sambil momong Bani.
Ini sesuatu yang menyenangkan. Dan terus menerus aku syukuri. Di antara padat pekerjaan, aku bisa menemani Bani. Main, belajar, bobo, bercanda, dan melakukan banyak hal bersama Bani di rumah atau sesekali keluar rumah. Tapi kadang juga sekaligus jadi bapak, tidak hanya sebagai teman. Mandiin, nyuapin, cebokin, dan seterusnya.
Pekerjaanku saat ini mungkin tak lazim bagi banyak orang. Begitu pula mertuaku. Ketika di Nusa Lembongan untuk tahun baruan dan bakti sosial bareng Bali Blogger Community seminggu lalu, Mek Ngah βdari kata Memek dan Nengah Kariani- mertuaku, kembali bertanya bagaimana sih cara kerjaku. Ini pertanyaan yang berulangkali sudah disampaikan.
Pak Ngah, bapak mertuaku, juga berulang kali meyakinkanku. βItu karena memek belum paham saja dengan pekerjaanmu,β kata Pak Ngah.
Menurutku, Mek Ngah memang agak khawatir kalau aku tidak bisa cukup membahagiakan anak cucunya. Hehe. Namun, sebaliknya, Pak Ngah justru terus mendukungku.
Pekerjaanku sebenarnya sangat jelas. Senin sampai Rabu aku kerja full day di salah satu LSM Internasional di bidang pertanian berkelanjutan (PB). Aku di bagian penerbitan SALAM, majalah tentang PB sebagai editor part time. Selama office hour, dari 8 pagi hingga 5 sore, aku lebih banyak duduk manis di depan komputer sambil mencari tulisan, meminta artikel dari penulis, mengedit, dan semacamnya.
Karena terhubung dengan internet sepanjang hari, maka aku juga bisa tetap bekerja untuk tempat lain, sekali-kali, eh sering kali, ding. Oportunis dikitlah. Hehe..
Pekerjaan lain itu misalnya menulis untuk media lain entah media nasional atau media asing. Ini tidak tetap penghasilannya dibanding kerja part time itu. Tapi kalau rajin bisa lebih dari yang aku dapat dari tempat kerja part time. Besarnya, bagiku, lebih dari cukup. Oh ya soal cukup tidak cukup ini kan juga memang tergantung orangnya. Jadi bagiku cukup mungkin tidak bagi orang lain.
Di luar tiga hari jadi anak baik-baik itu, aku lebih banyak kerja freelance. Sering kali memang menulis. Maklum, cuma itu bisaku.
Karena bekerja secara lepas, maka aku harus mencari isu di luar yang sudah ditulis media-media lain. Atau sekali-kali mendalami apa yang sudah ada di media. Waktunya antara Kamis sampai Sabtu itu.
Mengatur waktunya fleksibel saja. Kalau memang harus pagi ya berangkat pagi. Kalau lagi pengen santai-santai ya siangan baru keluar. Lebih banyak sih keluar antara 3-4 jam. Habis itu pulang, kembali main sama Bani.
Konsekuensi dari bekerja semacam ini adalah pendapatan memang tidak tetap. Sebab tidak semua tulisan yang aku buat pasti akan dimuat oleh media tempat aku mengirim tulisan itu. Parahnya kalau liputan itu sudah dilakukan jauh-jauh keluar kota tapi tidak dimuat. Makanya kadang-kadang juga harus siap makan hati.
Akibat lainnya, bekerja juga tidak tetap waktunya. Kadang bisa menulis sampai dini hari. Ini sih kadang karena sambil blogging atau facebooking. Hehe..
Tapi hal-hal seperti itu, bekerja sampai dini hari, keluar kota berulang kali, atau makan hati gara-gara tulisan tidak dimuat itu sesuatu yang tidak terlihat oleh orang lain. Makanya, orang seperti ibu mertuaku, melihat aku seolah-olah lebih banyak bersantai-santai. Padahal ya tidak juga.
Di balik banyak bersantai-santai itu, aku bekerja keras juga kok. Tapi toh aku menikmati itu semua. Mungkin karena aku memang memilih bekerja dengan merdeka. Tidak menyerahkan semua waktu kerjaku pada satu tempat yang tetap. Jadi, meminjam kata Karl Marx, aku tidak sampai terasing gara-gara pekerjaanku..
Leave a Reply