Kritikku terhadap jual beli berita oleh Bali Post ternyata lumayan membuat repot. Tapi ini menyenangkan. Mendapat kritik sama menyenangkannya dengan menulis itu sendiri. Kata William Shakespeare, ”Tanpa kritik, kita bukanlah apa-apa.”
Makanya aku sampai nulis berhari-hari -cailah!- untuk bikin tanggapan terhadap tanggapan dua penanggap seperti di tulisan-tulisan sebelumnya. Jadi ini sudah kayak zaman Piala Dunia kemarin. Ada pemain, ada komentator, ada pengomentar komentator, ada lagi orang yang mengomentari komentar dari orang yang mengomentari komentator. Bingung kan? 🙂
Ini tanggapanku atas tanggapan Ratna dan Retno. -Ini kembar kali ya? Hehehe.-
Mbak Ratna dan Bu Retno yth,
Terima kasih sudah memberikan respon atas kritik saya pada praktik jual beli berita Bali Post. Kritik atas tulisan, apa pun bentuk dan nilainya, adalah penghargaan tersendiri bagi saya.
Untuk memudahkan saya menjawab kritik mbak berdua, saya memilahnya saja antara motivasi dan substansi.
Pertama soal motivasi saya mengkritik Bali Post. Bu Retno memberikan penilaian yang saya pikir keluar konteks dari kritik tersebut. Agak berlebihan kalau saya dituduh mengkritik Bali Post karena iri. “Ini hil yang mustahal,” kata Asmuni. Hehe..
Menurut saya iri itu untuk sesuatu atau seseorang yang kira-kira setara, bukan dengan sesuatu yang memang jauh ”lebih” dibanding orang yang iri. Saya iri dengan wartawan sepantaran yang sudah bisa jalan-jalan ke luar negeri mungkin pantas. Sebab kami sama-sama wartawan baru. Tapi kalau saya iri dengan anaknya SBY yang bisa jalan ke mana-mana jelas tidak pas. Lha saya anak petani sementara dia anak presiden masak disamain?
Iri juga harus proporsional dan profesional. Hehe..
Jadi ya tidak mungkin saya iri dengan Bali Post, media terbesar di Bali. Lain lagi kalau saya punya media sejenis dengan Bali Post. Nah, kalau itu wajar saya iri. Tapi saya ini wartawan organik atau terikat di satu media saja tidak, apalagi punya media. Saya hanya punya blog. Tidak nyambung kalau saya iri dengan Bali Post.
Begitu pula dengan sakit hati. Hmm, secara pribadi saya tidak pernah bermasalah dengan Bali Post. Saya berteman baik dengan beberapa wartawan Bali Post, wartawan media-media Kelompok Media Bali Post, atau mantan-mantan wartawan Bali Post. Saya tidak pernah punya masalah pribadi dengan satu pun di antara ratusan wartawan Bali Post atau pemilik Bali Post itu sendiri.
Kalau toh mau disebut “masalah” mungkin hanya kekecewaan saya terhadap Pak Satria yang beberapa kali menolak untuk saya wawancarai. Paling mentok sih saya akhirnya wawancara dengan Pak Made Nariana (kalau soal Bali TV) dan Pak Wid (menyangkut sejarah Bali Post). Tapi menolak diwawancarai kan hak pribadi Pak Satria. Tiap narasumber punya hak untuk menolak atau bersedia kalau diwawancarai. Jadi saya tetap menghormati ketidaksediaan itu.
Meski saya tidak suka dengan politik redaksional Bali Post yang menurut saya terlalu konservatif, saya tetap menghormati Bali Post. Silakan cek di tulisan saya itu kalau saya juga salut dengan beberapa hal yang dilakukan Bali Post. Mungkin ada beberapa hal lain, tapi dua hal itu yang saya ingat.
Saya juga masih ingat tulisan-tulisan saya yang pernah dimuat di Bali Post antara 2001-2003. Saya masih menyimpan tiga tulisan itu, tidak sampai puluhan seperti disebut Bu Retno, sebagai bagian dari perjalanan jurnalistik saya.
Saya juga masih ingat masa-masa saya sering nyelonong masuk perpustakaan Bali Post di dekat ruang redaksi untuk baca-baca (kadang-kadang fotokopi, dan gratis) majalah dan koran koleksi Bali Post yang lebih lengkap dibanding Perpustakaan Daerah di Jl Teuku Umar.
Dan, tentu saja, saya masih ingat ketika terakhir kali berkunjung ke Bali Post bersama kawan-kawan Koalisi NGO dan Bli Artha (yang sekarang di KPU Pusat) Mei lalu untuk diskusi dengan Pak Wirata dan beberapa teman di sana terkait RUU Politik.
Kritik itu sesuatu yang sah. UU Pokok Pers No 40/1999 pasal 17 menjaminnya. Aduh, kok jadi normatif banget sih. ?
Saya ingin menegaskan bahwa kritik saya bukanlah sebuah sikap anti-Bali Post. Kritik bukan sikap anti. Ini penting agar kita tidak terjebak seolah-olah kalau ada kritik berarti kita anti pada sesuatu. Saya hanya tidak suka, sentimen, “menggugat”, atau apalah kita menyebutnya, kebijakan Bali Post soal jual beli berita.
Kalau saya semata mengkritik Bali Post, tidak media lain, karena Bali Post adalah media terbesar di Bali. Selain itu, banyak juga teman-teman sesama wartawan, praktisi humas, maupun masyarakat biasa yang sering mengeluh soal kebijakan Bali Post ini. Karena itu terima kasih untuk memberita tahu bahwa media lain pun melakukan hal yang sama.
Nah, kita masuk pada substansi kritik saya. Saya berangkat dari concern saya: jurnalisme. Bukan soal rebutan kue iklan dan segala macam. Jadi maaf kalau saya tidak menanggapi soal rebutan kue iklan dengan Jakarta dan seterusnya.
“Kebijakan” Bali Post untuk jual beli berita seperti yang saya sampaikan dan kemudian Mbak Ratna dan Bu Retno benarkan adalah sebuah fakta.
Ada fakta lain bahwa Kode Etik Jurnalistik menyatakan Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi & tidak menerima suap. Profesi wartawan adalah untuk menghasilkan karya jurnalistik BUKAN mencari iklan. Berita ya berita. Iklan ya iklan.
Sayangnya ini dicampur adukkan oleh banyak media, mungkin tidak hanya di Bali tapi juga di Indonesia. Kalau wartawan mencari iklan, jelas itu penyalahgunaan profesi.
Bagi saya, menerima uang dari narasumber adalah bentuk lain dari suap. Sebutannya macam-macam: amplop, uang transport, yang bensin, ucapan terima kasih, dan seterusnya. Tapi tetep saja itu suap. Ini pun diskusi tak berkesudahan di antara sesama wartawan sendiri.
Ini nyempal dikit dan mungkin agak narsis. Alasan tidak mau mencari iklan itu pula yang membuat saya memilih keluar dari media tempat saya pernah bekerja. Saya tidak mau disuruh cari iklan. Saya tidak mau mencampuradukkan pekerjaan sebagai jurnalis dengan pencari iklan.
Praktik jual beli berita adalah praktik menyedihkan bagi saya. Ini nilai yang saya anut, wartawan tidak boleh nyambi cari iklan. Sayangnya ya seperti yang juga Mbak Ratna dan Bu Retno sampaikan, ini jadi praktik lumrah di kalangan wartawan. Tapi bagi saya itu tetep salah. Merujuk pada Kode Etik Jurnalistik, dengan alasan apa pun, praktik ini tetap salah. Namun bukan berarti praktik ini lalu jadi benar gara-gara banyak yang melakukan. Meski analoginya agak berlebihan, maling ayam tetaplah perbuatan yang salah meski dia melakukan itu karena terpaksa untuk membeli susu anaknya.
Seperti prinsip yang dipakai Tokoh, disebut Mbak Ratna, dan beberapa kali saya dengar dari Pak Wid, semua media harus memenuhi tiga hal untuk bertahan hidup: idealisme, profesionalisme, dan bisnis. Profesionalisme adalah bekerja sesuai bidang garap dan tanggung jawab masing-masing. Dan tiap perusahaan media seharusnya melakukan itu.
Harus ada pemisahan yang jelas antara keduanya. Wartawan bikin berita, bagian iklan cari iklan. Kalau ini dilakukan oleh satu orang, jelas akan terjadi konflik kepentingan. Wartawan jadilah hanya menulis berdasarkan kemauan narasumber. Lalu di mana fungsi media sebagai alat kontrol seperti yang kita agung-agungkan selama ini? Media sudah terjebak pada bisnis, bukan profesionalisme dan idealisme.
Ya, ya, saya tahu saya sok suci. Sok idealis. Tapi itu hal yang sebenarnya tidak susah untuk dilakukan. Bali Post bertahan hidup dan menjadi demikian besar, saya yakin bukan karena praktik jual beli iklan. Praktik ini kan baru dilakukan dua atau tiga tahun terakhir. Tidak sejak dulu.
Memang benar Bali Post juga beberapa media KMB sudah terbuka untuk memberi tanda bintang (*) untuk berita-berita pesanan itu. Namun itu tidak cukup jelas dan diketahui pembaca bahwa berita itu iklan. Apalagi sering kali dia masuk di halaman berita. Bikin saja halaman khusus untuk berita iklan dan disertai cukup keterangan bahwa isinya adalah iklan. Saya pikir ini lebih elegan, dibanding membodohi pembaca dengan berita-berita iklan.
Oya, tambahan lagi. Sebaiknya orang yang mencari iklan ini pun bukan wartawan, tapi bagian iklan. Setahu saya di banyak media malah dua bagian ini terpisah ruangannya karena untuk menghindari konflik kepentingan, yang sebenarnya kadang juga terjadi.
Lalu soal kebijakan Tokoh. Justru dari Pak Wid (pendiri Tokoh) saya tahu pertama kali kalau KMB memang pakai prinsip journalist is marketing itu. Saya tidak detail melihat isi Tokoh. Tapi sekilasnya isinya memang penuh iklan juga. Kalau ternyata sudah ada tanda jelas bahwa itu advertorial, ya terima kasih. Sudah ada pertanggungjawaban pada pembaca.
Sudah, ah. Terlalu panjang. Isinya juga muter-muter di situ saja. Hehe.. Terima kasih sudah mau berbagi pikiran di diskusi ini. Kalau ada yang terlewat, kita diskusikan lagi nanti.
December 15, 2007
wartawan iklan ? tape d 😀
December 15, 2007
wah makin seru aja nih 😀
December 15, 2007
wah mantep tuh penjelasaannya pak anton. bravo. keep your spirit. wartawan iklan? hmm. saya aja dulu yang bagian penterjemah (yg notabene super jarang ke lapangan) disebuah mingguan berbahasa inggris, disuruh ‘cari’ iklan juga.wekkkss.
December 15, 2007
@ goyangan: tape ketan atau tape recorder?
@ didut: efek global warming.
@ made: hehehe, pernah jd korban jg trnyata. ceritain di blognya dong, bli. biar makin banyak orang tau kalo media juga penuh tipu daya. ini otokritik saja buat media dan wartawan, termasuk aku.
December 15, 2007
@antonemus, kirimin saya copian UU pers dulu biar tau nanti bikin pembelaannya qeqeqeq.
December 15, 2007
@antonemus, masih trauma ni, dulu pernah dipanggil Polsek Nusa Penida, gara2 nulis di Bali Post ttg ketimpangan pembangunan di sana. plus kecian ortu yg ikut didatengin polisi. Untung ga sampe penjara weleh2…yah terkadang (sering) idealisme terbentur realisme.
December 16, 2007
bang anton emang berhati mulia. masih sempat menggunakan waktu (palagi sampe ber-hari2) hanya untuk menanggapi email “si kembar”
kalo saya seh, cape deh..
December 17, 2007
Baru tau klo berita yang ada tanda * itu berita iklan (abcd)
December 17, 2007
aku bangga mengenal anton mujair yang terhormat. sori baru bisa nimbrung. ini pun coba-coba.
December 17, 2007
#widi
Saya juga baru tahu dari blog ini.
#Anton
Mantap Pak..
Seperti kata #Made, idealisme memang kadang terbentur realisme dan duit. Kasus ini mungkin mirip dengan kondisi saya sebagai pengajar yang kadang juga disuruh ikut bekerja layaknya marketing, tapi saat ini saya belum ingin membahas hal itu.
December 17, 2007
@ made: sudah ku kirim lewat email, bli bagus genjing. jd tidak ada alasan lagi untuk tidak membela. hehe.. soal idealisme yg sering kebentur realisme, ya bener jg sih. tp kompromi tidak harus melacurkan profesi kan? *tampang gawat*
@ asn: lbh mulai bli asn asal mau bagi2 hasil google adsens. hehe..
@ widi: hehe, baru tahu ya kalau selama ini kita dibo’ongin.
@ widi: apa perlu kompor jg utk nulis soal itu, pak dosen? *dasar tukang kompor!*
December 24, 2007
wah topik yang menarik bli, baru tahu juga kalau ada ginian, pantesan memang belakangan berita di itu koran semakin nggak menarik, kebanyakan tokoh tampil, apalagi menjelang pilkada kaya gini 🙂
Lam kenal bli
December 24, 2007
@ wandira: begitulah. musim kampanye selalu jd musim amplop bagi wartawan. 🙁
December 26, 2007
Wartawan pesanan, berita pesanan, jadi kayak Warteg. Digoreng, digoyang, ditabur jadi deh santapan dahsyat.
October 30, 2009
hahaha….. untung saya ngak suka baca koran…. jadi ngak sempat dibohongin……..