Rumah Tulisan

maka, menulislah untuk berbagi, agar ceritamu abadi.

Setelah Terbuka Lalu Apa?

F**k Doctor! F**k Discrimination! Begitu SMS yang kudapat dari seorang teman. Teman itu dokter, tapi SMS itu bukan ditujukan pada dia tapi pada koleganya.

SMS hujatan, tanda marah, tanda kecewa itu berawal dari ditolaknya salah satu orang dengan HIV/AIDS (Odha) oleh satu dokter di Denpasar.

Odha, temenku juga, itu namanya Dhayan. Dia kecelakaan minggu pertama Mei lalu. Kaki kirinya patah dan bengkak. Meski parah, dia tidak berdarah. Abis kecelakaan, malam itu juga dia dibawa ke rumah sakit. Oleh dokter dia digips tapi ada juga alternatif untuk operasi. Pilihannya: operasi, bisa sembuh dalam sebulan tapi perlu duit banyak dan beresiko; gips, sembuh sekitar tiga bulan tapi lebih murah dan aman. Dhayan pilih tetap digips kakinya dengan alasan tidak ada duit. Untuk operasi butuh duit sekitar 9-10 juta. “Sembuh sih cepet, tapi bayar utangnya lama,” kata Dhayan setengah becanda.

Diam-diam, teman-teman lain urunan biar Dhayan bisa operasi. Tujuannya agar Dhayan bisa segera bekerja, karena dia memang aktivis penanggulangan HIV/AIDS juga, dan biar gak stress. Sebab, berdasarkan penelitian dokter, stress bias mempercepat lemahnya kondisi Odha. Karena itu teman-teman lain sepakat urunan. Duit pun terkumpul.

Pas cek kaki kedua kalinya, Dhayan bilang sama dokter bahwa dia mau operasi. Saat itu dokter yang menanganinya bilang boleh saja. Akhirnya mereka sepakat hari dan tempat. Sebelum operasi, Dhayan bilang kalau dia pernah pakai putaw. Takutnya akan berefek ketika dibius. Doker bilang ga papa. Jadilah rencana operasi itu disepakati.

Diantara Odha ada kesepakatan untuk tidak mengurangi laju penularan HIV mulai dari diri mereka sendiri. Karena itu Dhayan pun mau mengaku kalau dia positif HIV. Tapi omongan itu disampaikan melalui dokter lain yang biasa menangangi Odha. Alasannya biar lebih enak.

Pas hari H, Dhayan pun berangkat ke rumah sakit yang disepakati. Eh, ndilalah, setengah jam sebelum operasi dokter itu bilang operasi tidak jadi dilakukan. Alasannya, karena statusnya sebagai Odha, Dhayan tidak memiliki kekebalan tubuh lagi. Takutnya luka akibat operasi tidak akan bisa sembuh. Dhayan bilang bahwa dia siap dengan resiko itu. Eh, dokter tetap tidak mau. “Demi kebaikan pasien saya,” katanya.

Penolakan itu, menambah panjang daftar diskriminasi dokter pada Odha. Padahal sebagai dokter mereka telah terikat sumpah tidak akan melakukan diskriminasi pada pasien. Nyatanya diskriminasi itu terjadi juga.

Inilah yang jadi masalah. Pemerintah gembor-gembor bahwa Odha sebaiknya terbuka. Tapi kalau kemudian masyarakat belum siap dengan terbukanya Odha lalu gimana. Kalau Odha mau terbuka, seharusnya ada jaminan bahwa pelayanan medis dan lainnya pun siap menerima Odha. Nyatanya, itu belum terjadi..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *