Dua hari lalu Tabloid Kulkul edisi Mei terbit. Artinya sudah lima bulan ini aku kerja di tabloid soal HIV/AIDS dan narkoba ini. Tabloid bulanan ini diterbitkan Komisi Penanggulangan HIV/AIDS (KPAD) dan Badan Narkotika Provinsi (BNP) Bali. Jadi ya ini punya pemerintah.
Lima bulan, banyak banget pelajaran yang ku dapat.
Ketika pertama kali diajak masuk tim redaksi, aku ga yakin-yakin amat. Selain karena punya pemerintah, aku pikir masalah HIV/AIDS dan narkoba bukanlah masalah penting bagiku. Aku sedari awal, kalau toh bisa, lebih tertarik mendidik anak jalanan. Sempat aku coba tapi ternyata gak terwujud sampai sekarang. Atau kalau bukan pendidikan anak jalanan, rasanya lebih pas kalo mengadvokasi pedagang acung, pengemis, pemulung, dst. Pokoknya orang-orang miskin. Secara psikologis aku lebih dekat dengan mereka. But, ya itu tadi, cuma ide. Aku gak pernah berusaha mewujudkan cita-cita itu.
Karena itu masalah HIV/AIDS dan narkoba awalnya tidak cukup menarik bagiku.
Tapi karena alasan membantu teman, belajar, sekalian cari duit – 🙂 -, ya aku ikut aja. Dan tak terasa sudah lima bulan berjalan.
Ketika akhirnya akrab dengan isu ini, ternyata pandanganku tentang HIV/AIDS dan narkoba tidak sepenuhnya benar. Awalnya aku pikir masalah ini adalah “ganjaran” untuk mereka yang memang berbuat “salah”. Logikaku, orang kena HIV sampai kemudian AIDS ya karena resiko mereka berbuat zina semaunya. Atau masuk penjara ya karena mereka pakai narkoba.
Aku ketemu Mbak Tuti. Secara biologis dia laki-laki, tapi psikologisnya perempuan. Dia miskin. SMP saja gak lulus. Karena tidak diterima keluarga, dia meinggalkan kampungnya di Jawa Barat dan kerja di Jakarta. Dia memilih jadi bencong di jalanan. Karena pekerjaannya ini, Mbak Tuti positif HIV. Dan sekarang sudah kena AIDS, sindrom yang menyerang kekebalan tubuh. Mbak Tuti masih cri langganan di Denpasar, Bali. Persisnya ga usah disebutin.
Mbak Tuti sangat jauh dari bayanganku tentang orang yang kena HIV/AIDS. Mbak Tuti positif karena terpaksa bekerja begitu demi tuntutan ekonomi.
Tak hanya Mbak Tuti. Aku kenal Sulitra, Putu, dan puluhan orang positif HIV bahkan AIDS. Mereka umumnya dari latar belakang ekonomi pas-pasan. Parahnya lagi mereka mendapat stigma yang diskriminatif. Mereka dikucilkan. Tidak mendapat pelayanan kesehatan yang layak sebagaimana orang lain. Secara sosial juga mereka dianggap sampar, wabah. Jadi benar-benar terasing.
Salah satu ODHA perempuan bercerita bagaimana suaminya meninggal dan tidak ada satu orang pun yang bersedia mengurusnya. Jenzah suaminya tidak disembahyangi sebagaimana layaknya umat beragama ketika meninggal. Alasannya karena suami itu mati karena penyakit kutukan.
Orang dengan HIV/AIDS (ODHA), menurutku, sama dengan orang yang kena lepra di Eropa pada abad pertengahan. Ini sih adopsi pemikiran Michel Foucault, filsuf gay yang gencar mengkritik politisasi tubuh itu. Mereka dianggap sebagai bencana. Karena itu harus dibedakan dengan orang lain. HIV/AIDS bukan hanya masalah kesehatan. Dia juga masalah politis. Kalau zaman dulu orang berpenyakit lepra masuk penjara, maka ODHA juga diperlakukan tidak jauh berbeda.
Dengan alasan itulah, kelompok ini memang harus didampingi. Karena itulah aku bersyukur bisa akrab dengan mereka. Setidaknya menambah kosa fakta tentang hidup..
Leave a Reply