Sepeda Kumbang dan Sebuah Ingatan

1 No tags Permalink

Sore sekitar pukul 16.00 wita. Pas lagi jalan mau ke internet kemarin, aku ngeliat seorang anak berhenti di pinggir jalan. Umurnya sekitar 10 tahun, masih berseragam merah putih dan membawa tas. Artinya dia baru pulang sekolah.

Aku perhatiin. Ternyata anak itu sedang memperbaiki sepeda kecilnya. Rantai belakangnya lepas. Dia mundurin sepeda itu agar bisa masang rantai lagi. Aku merhatiin sambil lalu. Ga sempet nolongin. Juga takut dianggap yg nggak2 kalau mau nolongin. -Aneh juga ya, takut nolongin orang. But, begitulah memang. Untuk nolongin orang juga perlu mikir. Takut dianggap yg nggak2-

Anyway, bukan soal nolong atau gak. Ngeliat anak kecil dengan sepedanya yg rusak itu, aku seperti terbawa ke kejadian 15an tahun lalu. Ketika aku masih SD. Sekolahku sekitar 2 km dari rumah. Kadang naik sepeda, kadang jalan kaki. Sepeda yg aku punya ga pernah bertahan lama. Rumah tak jauh dari laut membuat sepeda cepet berkarat. Apalagi aku memang males bersih2 sepeda.

Hasilnya sering banget sepeda macet di tengah jalan. Cuaca panas. Mau ga mau harus benerin sepeda dulu sebelum jalan. Atau sering pula boncengin garam puluhan kilo sampai sepeda terbalik. Pas puasa kadang bantuin beli es balok dari kampung sebelah. Lagi2 jatuh.

Kalau musim panas, debunya putih ga ketulungan. Kanan kiri jalan tambak garam. Jelas panas. Tumbuhan hanya ada satu dua sepanjang jalan itu. Kalau musim hujan, tanahnya lengket. Soale jalan itu deket kali berair asin.

Semua ingatan berjalan. Berseliweran. Kini hidup sudah banyak perubahan. Banyak yang harus lebih disyukuri..

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *