Semuanya Susah: Makan, Listrik, dan Bensin

Salah satu bagian menarik dari perjalanan ke sebuah tempat adalah menikmati makanan setempat. Begitu pula dalam perjalanan ke Timor Tengah Utara (TTU), kabupaten di Nusa Tenggara Timur ini. Sayangnya, aku harus kecewa karena tak menemukan makanan khas tersebut.

Cara paling gampang mencari makanan khas itu, tentu saja, adalah warung. Tapi tak ada sama sekali warung yang menjual makanan khas. Sepanjang perjalanan dari Kupang ke Kefamenanu, ibukota Kabupaten TTU, aku sudah terus bertanya ke sopir yang menjemputku. Begitu pula pada orang-orang yang aku temui pas di Kefa. Jawabannya sama: tidak ada warung yang menjual masakan khas Kefa.

Jadi, gagal sudah salah satu tujuanku untuk berwisata kuliner di TTU sembari liputan.

Tapi susahnya cari makanan khas ini juga aku temui ketika berkunjung ke Flores dua kali. Tidak tahu kenapa. Tapi warung yang menjual makanan khas daerah setempat di Flores dan Timor Barat sepertinya memang susah. Beda, misalnya, dengan Bali yang tinggal pilih menu apa saja ketika berwisata kuliner di pulau ini.

Warung yang justru selalu disarankan orang di Kefa adalah warung padang. Ada beberapa warung masakan padang di kota kecil ini. Jadinya, sarapan ya di warung padang, makan siang juga di sana, begitu juga makan malam. Pokoke warung padang is always. Pilihan lainnya adalah warung coto makassar dan, ehm, sari laut lamongan.

Selain tidak adanya warung makan menu setempat, masalah lain yang aku temui di Kefa adalah susahnya listrik. Maklum, kota ini hanya pakai Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD). Maka, harus ada pemadaman bergilir. Walah, kali yang lebih tepat adalah penyalaan bergilir, bukan pemadaman. Soale malah yang lebih sering ya mati listrik dibanding hidupnya.

Pada malam pertama di kota ini, misalnya, aku ngojek untuk makan malam dan beli obat di bagian utara. Ketika aku meninggalkan hotel tempat menginap, hotel ini masih hidup listriknya. Namun di bagian lain justru mati listrik. Suasana sangat gelap. Aku sampai ngeri kalau dibawa lari sama tukang ojek. Nah, ketika aku balik eh, giliran hotel ini yang mengalami pemadaman.

Saking seringnya mati listrik ini, -orang setempat selalu menyebut listrik padam, bukan mati listrik- maka banyak kantor atau hotel yang harus menyediakan mesin diesel (genset) sebagai cadangan pembangkit listrik. Ini terjadi pula di kantor Yayasan Mitra Tani Mandiri (YMTM) TTU. Mereka harus menyediakan genset untuk dipakai ketika listrik mati.

Dan, itu terjadi pula padaku. Pada hari terakhir, ketika kami sedang asik-asiknya belajar internet, eh, listrik mati. Malamnya, ketika listrik tak juga hidup, kami harus melanjutkan belajar dengan arus listrik dari genset. Jadi, kalau di Bali juga sering mati listrik, maka bersyukurlah. Itu masih lebih baik dibanding di Kefa..

Selain makanan lokal dan listrik itu tadi, bensin juga masuk barang langka di Kefa. Tiap kali lewat pom bensin, aku selalu melihat antrian panjang mengular sampai jalan.

Dan, lagi-lagi, aku pun jadi korban. Pada hari aku harus balik ke Kupang, aku menunggu mobil jemputan dari pukul 6 pagi. Eh, hampir dua jam kemudian dia baru datang. Alasannya, harus antri. Padahal dia sudah di sana sejam pukul 6. Eh, 1,5 jam kemudian baru dapat giliran. Walhasil, aku pula yang jadi korban..

2 Comments
  • Cahya
    January 14, 2010

    Benar-benar pengalaman yang unik Mas Anton…

    Entah kenapa katanya Bali belakangan ini pemdaman bergilir ya?

  • imadewira
    January 15, 2010

    syukurlah di Bali sudah tidak ada pemadaman bergilir lagi (menurut berita di koran).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *