Playboy Uncencored Version [Part 1]

0 No tags Permalink 0

-inilah tulisan terpanjangku sampai saat ini. :)) 4588 kata, 30.832 karakter termasuk spasi, 14 halaman satu spasi pake times new roman 12. tulisan dimuat di Playboy Indonesia edisi kedua. ini versi asli sebelum diedit. uncencored! :)) aku pisah dalam delapan bagian tulisan. nulis ini hanya untuk ngasi tau bahwa begitu repot kalo segala sesuatu dibawa ke masalah identitas, termasuk bakso-

Identitas dalam Semangkuk Bakso [Part 1]

Tak hanya urusan perut, bakso di Bali juga bersinggungan dengan identitas.

Pujiastuti, 38 tahun, tak terlihat sedikit pun sebagai bos. Pakaiannya sederhana. Baju krem bermotif lingkaran-lingkaran kecil dipadu celana kain abu-abu dan jilbab coklat menutup hingga dada. Sandalnya selop. Satu-satunya perhiasan yang terlihat hanya cincin emas di jari manis kiri. Ketika ditemui pertengahan Maret lalu, dia juga bekerja seperti karyawan lain meski berbeda bagian. Karyawan lain melayani pembeli sedangkan dia menjaga kasir.

Padahal wanita kelahiran Purwoarjo, Banyuwangi itu pemilik Warung Ayu Minantri, warung bakso terbesar di Denpasar atau bahkan Bali mungkin. Puji, begitu dia biasa dipanggil, punya dua warung bakso, Ayu Minantri I dan Ayu Minantri II. Keduanya berlokasi di Renon, kawasan pusat pemerintahan (civic centre) Provinsi Bali. Jarak satu warung dengan warung lain tak sampai 1 km dan masih satu arah di Jl Tjok Agung Tresna, Renon, Denpasar.

Renon termasuk kawasan elit Denpasar. Selain sebagai civic center, Renon juga tempat beraneka rupa restoran seperti Baruna, Bendega, Ayam Bakar Wong Solo, Ikan Bakar Cianjur, Ayam Betutu Gilimanuk, dan restoran lain. Dengan berlokasi di Renon, sedikit banyak bisa menunjukkan “kelas” Ayu Minantri.

Bangunan warung milik Pujiastuti termasuk luas. Warung Ayu Minantri I di tanah hampir tiga are. -Ukuran tanah di Bali memang lebih familiar disebut dalam satuan are. Satu are sama dengan 100 meter persegi-. Sedangkan Warung Ayu Minantri II luasnya lebih dari lima are. Dengan bangunan seluas itu, Ayu Minatri II bisa menampung 22 meja dan 44 kursi yang tiap kursi dari kayu itu bisa muat setidaknya tiga orang. Artinya kalau penuh warung itu bisa dipenuhi sampai 132 pembeli.

Sukses Ayu Minantri dimulai Pujiastuti dan suaminya Paimin, 39 tahun, sejak 1985 lalu. Ketika memulai 21 tahun lalu, suami istri itu hanya bermodal Rp 10.000. Mereka belum pernah jualan bakso sebelumnya. Dengan modal itu, Puji dan Paimin membeli peralatan: gerobak, dandang (tempat bakso dan kuahnya), mangkok, dan sendok garpu. Untuk membuat bola bakso dia menggilingnya pakai talenan dari kayu dan dipukul dengan besi biar bisa lumat. “Waktu itu belum ada selip (penggilingan) daging,” kata Puji.

Mereka kontrak kamar di Kampung Wanasari, dikenal juga sebagai Kampung Jawa, Denpasar bagian utara. Tarifnya Rp 5000 per bulan. Alasan Puji tinggal di daerah ini karena Wanasari dekat Terminal Ubung, terminal terbesar di Bali. Mereka jualan berkeliling tak jauh-jauh dari terminal dan tempat kos. Harganya Rp 250 per porsi waktu itu. Penjual bakso mangkal maupun dorong gerobak juga masih bisa dihitung. Pelan-pelan usaha itu makin meningkat hasilnya. Timbul niat mereka untuk membuat pangkalan. “Capek kalau terus dorong rombong,” ujar Puji.

Sejak 1991, mereka mangkal di daerah Renon, sekitar 10 km dari tempat kos mereka yang lama. Lokasinya sewa Rp 125.000 untuk lima tahun. Renon masih sepi saat itu. Listrik belum ada. Kalau malam mereka pakai lampu petromaks.

Dua tahun kemudian, mereka pindah. Di lokasi warung mereka dibangun kantor Dinas Pendapatan (Dispenda) Kota Denpasar. Kini, Ayu Minantri I, tempat Puji dan anak buahnya bekerja, persis di seberang jalan kantor Dispenda tersebut. Meski sudah 13 tahun mangkal di tempat tersebut, status tanahnya masih kontrak Rp 5 juta per are tiap tahun. Enam tahun kemudian, Ayu Minantri II buka. Tanahnya juga kontrak.

Selama 20 tahun lebih, usaha Puji dan suaminya termasuk berhasil, paling tidak secara materi. Tahun 1997 lalu, mereka sudah bisa membangun rumah di Yang Batu, Denpasar Timur. Saat itu harga tanah masih Rp 30 juta per are. Kini harga per are minimal Rp 150 juta. Di rumah bertingkat itu pula, Puji membangun mess untuk 15 karyawannya. Pada 1998, Puji dan Paimin bisa naik haji. Sepulang naik haji, Paimin berganti nama: Amir Ma’ruf. [lanjut ke posting berikut]

***

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *