Negeri ini menghasilkan banyak komoditi terbaik dunia. Tapi, kita tak bisa menikmatinya.
Komoditi kopi, misalnya. Negeri ini menghasilkan kopi istimewa (specialty coffee) di daerah seperti Sumatera, Jawa, Bali, Flores (Nusa Tenggara Timur), dan Tana Toraja (Sulawesi Selatan). Kopi Indonesia, setahuku, bersaing dengan kopi dari Brazil.
Kopi di daerah-daerah ini termasuk istimewa karena, berdasarkan standar Specialty Coffee Association of America (SCAA), mereka punya nilai di atas 80 dari nilai tertinggi 100. Tak semua kopi di dunia bisa masuk dalam kategori ini.
Kopi Toraja pun demikian adanya. Kopi yang masuk dalam kategori specialty coffee ini baik robusta maupun arabica. Cuma kok kemarin pas di sana itu aku baru mikir, ternyata petani di negeri ini memang menghasilkan komoditi-komoditi terbaik di dunia tapi mereka sendiri tak bisa menikmatinya.
Contohnya kopi toraja. Dari pegunungan di tanah para keturunan raja ini, kopi toraja dijual hingga ke Jepang, Amerika, dan negara-negara lain di Eropa. Di tujuan ekspor ini, kopi jadi komoditi mahal. Dia bisa sampai lebih dari 10 kali lipat dibandingkan harga jual di tingkat petani.
Untuk itu, petani memberikan yang terbaik pada pembeli. Mereka menghasilkan dua jenis kopi, yaitu arabica dan robusta. Namun, kopi arabica yang mereka produksi bukan untuk mereka sendiri. Mereka menjualnya, bukan untuk diminum sendiri. Mereka hanya minum kopi kelas dua, robusta.
Menurut para ahli kopi, kopi arabica lebih berkualitas karena aromanya lebih kuat, hitamnya lebih pekat, dan seterusnya. Karena itu, mereka lebih senang kopi jenis ini daripada robusta.
Petani dengan senang hati menghasilkan kopi terbaik, arabica, untuk konsumen sementara sehari-hari mereka justru menikmati kopi kelas dua, robusta. Robusta, kopi kelas dua ini yang diminum petani sehari-hari termasuk disuguhkan pada tetamu.
Namun, ikhwal petani menikmati komoditi kelas dua ini tak melulu terjadi pada petani Toraja tapi juga daerah lainnya. Setidaknya di lokasi-lokasi yang pernah aku kunjungi, seperti Flores (Nusa Tenggara Timur), Boyolali (Jawa Tengah), dan Polewali Mandar (Sulawesi Barat).
Di Polewali Mandar (Polman), petani hasilkan salah satu kakao terbaik di dunia, bersaing dengan kakao dari Ghana, Afrika. Kakao dalam bentuk biji ini kemudian diekspor ke Eropa atau Amerika Serikat sebagai bahan baku bagi produsen-produsen coklat olahan. Misalnya, Cadsbury, Nestle, dan seterusnya.
Ironisnya, petani sendiri justru belum tentu pernah menikmati enaknya coklat Belgia yang menggunakan kakao mereka sebagai bahan bakunya. Petani hanya tahu bahwa komoditi hasil kerja mereka dijual hingga ke banyak negara.
Petani Boyolali pun ada yang begitu. Mereka menghasilkan padi organik yang diekspor hingga Amerika Serikat, Jerman, dan seterusnya. Cuma, beras yang diekspor ini hanya beras kualitas premium, yang terbaik.
Petani sendiri βhanyaβ menikmati produk medium atau di bawahnya. Mereka makan beras kelas dua atau malah ketiga. Misalnya, dari sisi warna, tekstur, ataupun aroma komoditi yang tak sebagus kualitas premium.
Demi kepuasan konsumen, petani memproduksi yang terbaik meski mereka hanya menikmati produk βsisa-sisaβ.
November 12, 2011
anton memang top…..trims infonya
November 12, 2011
Sedikit bertanya-tanya, jika para petani memang memiliki lahan untuk menanam kedua jenis kopi (arabica dan robusta) tersebut, kenapa tidak memanfaatkan seluruh lahannya untuk menanam yang kualitas nomor 1?
Toh kalau pun semua adalah komoditi, kan tetap saja bisa dia simpan sedikit untuk dirinya sendiri. Walau rasa ‘sayang’ barangkali terbesit di pikirannya yah.
Saya punya mbah yang adalah seorang petani. Dari kesehariannya, saya sadar, dia menggunakan seluruh lahannya untuk menanam yang nomor satu. Tapi dia makan yang tak laku untuk dijual. Katanya sih..
November 13, 2011
Begitulah realita yang ada di negeri ku. Semua berjalan dengan biasa karena memang sudah di kondisikan untuk merana. Padahal kalau melihat di negara lain, petani itu kehidupan sehari-harinya sudah lebih dari cukup. Namun sayangnya disini tidak bisa seperti itu. Karena regulasi dan budaya memang mengharuskan seperti itu. Tapi kalau ingat masalah regulasi, mestinya kalau memang pro rakyat seharusnya berusaha semaksimal mungkin untuk rakyat. Kenyataannya petani itu sendiri yang merupakan komiditi yang bagus untuk membesarkan kantong sang pembuat regulasi. π
Salam hangat serta jabat erat selalu dari Tabanan
November 14, 2011
jadi ingat petani cengkih.. mati tak mau hidup tak sudi.
November 15, 2011
Ajik saya sampai saat ini masih petani, dan dalam pemikiran saya, tidak ada yang bisa diharapkan dari bertani dinegeri ini.. Padahal kalau tidak ada petani, kita mau makan apa?
November 23, 2011
Aih, petani Indonesia, mending kita berdikari saja.
Konsumen nasional juga harus dididik untuk menghargainya.
November 29, 2011
Saat ini petani adalah tulang punggung bangsa yang terlupakan…
December 16, 2011
apa kabar, bang zed? lama tidak kontak. π terima kasih komentarnya.
December 16, 2011
mmm, benar juga ya? sepertinya sih memang lebih baik kalau semuanya ditanami jenis arabica. cuma, pd takut jd seragam kali ya.
December 16, 2011
kadang2, regulasi sudah bagus tapi pelaksanaannya yg tidak bagus. jadilah acak adut. negara ini sudah banyak punya aturan dan jargon seolah2 peduli petani cuma ya di tingkat lapangan perlu dipertanyakan lagi. menyedihkan.
December 16, 2011
apalagi kalau jd komoditi yang dipolitisasi seperti zaman tommy dulu. π
terus, kapan kamu kirim jus pala ke bali?
December 16, 2011
kita makan keyboard saja. :p
December 16, 2011
betul. karena itu, sebagai konsumen juga kita harus lebih pro petani. cuma ya susah dalam praktiknya. π
December 16, 2011
begitulah. menyedihkan.