Terasa sekali aura pembatasan selama dua hari lokakarya.
Sebagian besar pembicara lebih banyak berbicara tentang bagaimana keamanan siber seolah sah dilakukan dengan cara apa saja, termasuk membatasi hak asasi manusia.
Lokakarya praktisi: keamanan siber di ASEAN itu diadakan oleh organisasi non-pemerintah The Asia Foundation (TAF) dan Kedutaan Amerika Serikat di Singapura pada 19-20 April kemarin. Pesertanya adalah 25 praktisi keamanan siber, terutama peneliti dan pemerintah, dari delapan negara anggota ASEAN.
Dari negara lain, peserta yang hadir kalau bukan wakil pemerintah, ya, peneliti kampus atau pelaku bisnis. Dari Malaysia, misalnya, yang hadir adalah lembaga riset. Dari Kamboja hadir perusahaan digital dan polisi.
Begitu pula dari Singapura, sebagai tuan rumah lokakarya. Hadir antara lain dari National Cyber Incident Response Center SingCERT dan Center of Excellence for National Security Keamanan Siber.
Hanya Indonesia yang mengirim tiga peserta dari masyarakat sipil (civil society). Tak ada peneliti kampus, pelaku bisnis, atau pemerintah. Selain Southeast Asian Freedom of Expression (SAFEnet), dari mana aku hadir kali ini, peserta lain dari Indonesia adalah Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) dan Purple Code, jaringan pegiat keamanan digital terutama untuk kelompok rentan.
Karena peserta yang dominan kalangan pemerintah, pelaku bisnis, dan peneliti itu, diskusi pun lebih banyak tentang bagaimana ancaman-ancaman siber saat ini terjadi kepada sektor bisnis dan pemerintah.
Presentasi dari Pusat Keselamatan Siber Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) mungkin bisa memberikan gambaran. Pada tahun lalu, sejumlah serangan siber terjadi pada negara-negara anggota ASEAN. Di Singapura, misalnya, terjadi pencurian data 850 staf Kementerian Pertahanan.
Di Vietnam, identitas sekitar 400 ribu pelanggan maskapai nasional dibobol. Di Filipina, 68 situs pemerintah telah diretas. Daftar korban bisa terus bertambah panjang dari tahun ke tahun.
Umumnya, korban berasal dari lembaga-lembaga pemerintah ataupun sektor bisnis. Dua kelompok ini paling banyak menjadi korban serangan siber. Belum banyak contoh dari kalangan warga sipil, selain posisi mereka sebagai konsumen, seperti kasus pencurian data pelanggan maskapai di Vietnam.
Para pelaku serangan siber paling tidak bisa dibedakan menjadi tiga: organisasi kejahatan, kelompok yang disponsori negara, dan pelaku tunggal.
Tujuannya beda-beda. Organisasi kejahatan biasanya menyasar lembaga-lembaga besar. Motifnya semata uang. Adapun kelompok disponsori negara lebih banyak bertujuan politis. Mereka menarget negara lain atau kelompok-kelompok pembangkang.
Pelaku tunggal kalau bukan untuk coba-coba ya untuk mencari uang.
Selain bentuk-bentuk serangan konvensional semacam pencurian data pengguna dan pembobolan situs lembaga tertentu, ancaman baru yang juga dibahas adalah maraknya berita palsu, penghinaan pada negara, pencemaran nama baik, ujaran kebencian, dan semacamnya.
Pada titik inilah mulai muncul aroma otoritarian khas negara-negara di Asia Tenggara. Kamboja dan Vietnam paling getol berbicara tentang pemberangusan kelomopok-kelompok pembangkang pemerintah atas nama stabilitas nasional.
Peserta dari Kamboja, yang juga pejabat tinggi kepolisian, misalnya, menyatakan bahwa pembredelan media-media kritis di negaranya merupakan tindakan wajar untuk kepentingan lebih besar. Begitu pula bagi peserta dari Malaysia, keduanya dari peneliti kampus, yang justru mendukung pengesahan Undang-Undang (UU) Anti Berita Bohong (fakenews).
Singapura setali tiga uang. Bagi mereka, pembatasan kebebasan di negerinya justru sesuatu yang mereka benarkan dan dukung. Alasannya lagi-lagi untuk kepentingan Negara. Toh warganya sejahtera dan bahagia.
“Kenapa pemerintah harus disalahkan? Buktinya rakyat mendukung. Mereka kami pilih secara demokratis tiap pemilu. Jadi kami harus dukung apapun yang mereka anggap baik untuk negeri ini,” kata salah satu dari mereka.
Pendapat sebagian besar peserta bisa mencerminkan sikap pemerintah negara-negara anggota ASEAN. Jika dilihat, hampir semua negara bertetangga ini memang makin tidak ramah terhadap pengguna Internet di negaranya sendiri. Indonesia termasuk di dalamnya.
Hanya karena mengkritik sesuatu, lalu dicap sebagai ujaran kebencian. Hanya karena mempertanyakan kebijakan penguasa, lalu dilaporkan ke polisi. Jika hal-hal ini terus terjadi, Indonesia mungkin segera lebih parah dibanding negara-negara represif lainnya.
Leave a Reply