Pegawai Perpustakaan yang Tak Menyenangkan

3 No tags Permalink 0

Dulu, pas baru awal-awal di Bali, hampir tiap hari aku ke Perpustakaan Daerah Bali. Perpustakaan terbesar di Bali ini memang tidak jauh dari tempat kosku di Jl Pulau Ambon Sanglah. Paling jauh 500 meter. Pulang kuliah juga aku gak ada kerjaan. Jadi ya sampe kos, naruh tas, lalu naik sepeda gayung ke perpus di Jl Teuku Umar ini. Kalau pas Sabtu, bisa berjam-jam di sana.

Salah satu buku yang aku inget banget tuh soal novel karya Knut Hamsun -bener ga ya nulisnya?- berjudul Lapar terbitan Yayasan Obor Indonesia. Ceritanya soal orang kelaparan. Menyentuh. Banyakan buku yg aku baca waktu itu memang karya sastra.

But, it’s been long long time ago.. Setelah pindah kos aku mulai jarang ke Perpusda. Paling sebulan sekali. Terakhir main ke perpus mungkin enam tujuh taun lalu. Lama banget..

Lalu Rabu pekan lalu aku ke sana lagi. Aku bantu temen riset tentang konsentrasi kepemilikan media di Bali dan dampaknya pada demokratisasi informasi. -Ah, kayaknya gawat banget? :))- Salah satu bagian adalah soal sejarah media di Bali.

Kami masuk ruang deposit. Ini ruang untuk nyimpen naskah-naskah tua. Nyatanya tidak tua2 amat naskah di ruang ini. Tapi tetep aja asik. Aku buka koran Suluh Marhaen -cikal bakal Bali Post- edisi pertengahan 1968. Lucu juga baca tulisan2 dan iklan2nya.

Sayangnya Perpusda, paling tidak di ruang itu, ga terlalu teratur. Tidak ada katalog untuk memudahkan cari bahan. Ada sih komputer, tapi pas aku ngetik kata kunci “Sejarah Pers di Bali” tidak ada hasil apa pun. Tanya petugas juga mereka ga tau.

Paling parah adalah sikap pegawai di ruang itu. Di ruang ber-AC itu ada sekitar enam pegawai berpakaian dinas PNS. Padahal di ruang sebelahnya yg tidak ber-AC tak ada satu pun pegawai. Setauku namanya perpus di mana2 adalah tempat membaca. Salah satu syarat tempat baca itu ya tenang. Satu sama lain saling menghargai. Tapi ini tidak. Pegawai2 di ruang itu malah ribut ngobrol kenceng2. Udah gitu mereka malah nyetel TV yang nayangin infotaintmen kenceng2.

Berkali-kali aku ngeliat ke mereka. Sekadar kasih tanda kalau aku terganggu. Anehnya tak ada satu pun yang sadar. Mereka cuek aja. Tetep ngobrol dan nyetel TV semaunya.

Ah, jadi untuk inilah aku membayar pajak: membayar gaji pegawai yang tidak tau apa yang seharusnya mereka lakukan?

3 Comments
  • nie
    February 19, 2007

    PNS dimana2 memang bikin kesel. Kayak di dinas peternakan juga gitu, jam 2.30 dah kosong deh kantornya, ngilang semua.

  • Diva
    February 20, 2007

    Sebenarnya tidak semua seperti itu, masih ada pegawai perpustakaan yang baik dan peduli untuk melayani,

  • Aya
    November 7, 2007

    Gak cuma PNS, banyak sekali yang bersikap menyebalkan, gak pedulian, senewen-an disaat tugas mereka seharusnya adalah “melayani” : kasir di mall, pelayan toko,dll. Gak semua gitu, tapi lumayan sering juga nemu yang jenis senewen-an itu. Basically mereka bersikap gitu karena they really hate their job, hate their being there, but what to do, gak ada pilihan lain. Jadinya ya begitu itu. Contoh petugas perpus, ato petugas di salah satu toko buku terbesar disini, ketika kita nanya dimana tempat buku A, mereka gak tau. Ya ampiun deh. Kerja di tempat buku kok ya gak suka buku, berarti bener-bener it’s just a job, mata pencaharian semata. Kalopun hidup emang sucks, the choices are in our own hands. Mau berlarut-larut ngerasa life treatin’ us badly (sehingga merasa berhak juga senewen ke orang-orang) atau live with it. Syukur-syukur bisa ‘mencintai’ what you’re doing. Tapi kalo kita emang percaya bahwa kondisi kita sekarang ini adalah karena kita sendiri, harusnya sih kitanya baik-baik aja, gak snewenan ama orang lain. Our life is our own responsibility, bukan orang lain. Kalo kitanya end up “cuma” jadi orang-orang yang menurut kita ‘belum sukses/ livin’ a low life’, mungkin emang that’s what we are (at the moment- which is sebenarnya masih bisa diubah, kan..)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *