Nyepi tinggal tiga hari. Tahun ini kebetulan Nyepi pas hari Jumat. Seingetku ini sudah yang kesekian kali Nyepi barengan dengan Jumatan. Unik aja sih. Jadi meski yang Hindu melaksanakan Nyepi, yang muslim tetep bisa Jumatan. Ini pengalaman yang asik bagiku tentang bagaimana saling menghargai di tengah perbedaan. Malah kadang-kadang yang Jumatan itu ada yang sok-sokan seperti Hendro. Jadi mumpung bisa keluar pas Nyepi, dengan ajum-nya dia tidur di tengah jalan. Hehe..
Sebenarnya aku pengen Nyepi keluar Bali. Tidak tahu kenapa pengen banget main ke Alas Purwo, Banyuwangi. Rasanya asik saja menembus hutan itu naik Landrover nyebur lumpur seperti tiga tahun lalu. Kalau tidak ke Banyuwangi bolehlah melali ke Lombok menikmati ayam bakar taliwang. Tapi sayangnya niat hanya jadi niat. Keinginan ini ditunda saja deh dulu. Nanti kalau Bani sudah gede saja jalan-jalan lagi. Syukur-syukur jadi ke Bandung.
Menjelang Nyepi ini, aku jadi mikir lagi soal komodifikasi. Gara-garanya beberapa hari terakhir aku lihat makin banyak iklan menggunakan Nyepi sebagai pemikat. Misalnya paket liburan Nyepi, diskon kaca mata menjelang Nyepi, dan seterusnya. Karena Nyepi yang dipakai sebagai pemikat, seharusnya sih Nyepi punya peran di iklan itu. Atau apa yang ditawarkan itu memang nyambung dengan Nyepi. Nyatanya tidak.
Sebut saja iklan diskon kaca mata menjelang Nyepi. Lha apa hubungannya coba kaca mata dengan Nyepi. Pas Nyepi kan pasti gelap, masak malah orang pakai kaca mata hitam. Ken-ken sih?
Ada pula paket tinggal di hotel selama Nyepi. Lha kan aneh. Nyepi kan bukan untuk hepi-hepi di Bali. Malah bersenang-senang itu termasuk satu dari empat hal yang tidak boleh dilakukan. Lha kok ini malah menawarkan liburan? Bukannya menghormati yang lagi Nyepi, ini kok malah menawarkan sesuatu yang sebenarnya tidak boleh dilakukan? Sepertinya sih ini trend baru. Mungkin lima tahun terakhir. Seingetku dulu-dulu tidak ada.
Penggunaan ritual agama untuk kepentingan ekonomi inilah yang disebut komodifikasi. Ritual agama tidak lagi hanya untuk persoalan spiritual tapi ekonomi. Ritual juga jadi komoditas.
Tidak hanya Nyepi. Lebaran dan Natal yang paling parah. Maka kalau sudah menjelang Lebaran dan Natal, seperti tidak sah kalau tidak belanja sebanyak-banyaknya. Inilah kecanggihan kapitalisme tulang lunak, seperti candu. Melenakan, memabukkan, sekaligus membuat kecanduan.
Ritual, bagi kapitalisme pun tidak lagi sebagai seuatau yang bersifat ke atas. Dia bisa jadi sesuatu yang membuat barang dagangan laris, dan pendapatan meningkat drastis.
Hari gini, semua hal yang memang bisa jadi komoditas, termasuk ritual yang sebenarnya sakral sekalipun. Hmm..
Leave a Reply