Multitasking yang Bikin Pusing

0 No tags Permalink 0

Di Kompas sekitar sebulan lalu, Ninok Leksono menulis tentang fenomena multitasking. Mengutip penelitian ilmuwan Amrik –siapa ya namanya?- wartawan senior Kompas yang setauku doktor di bidang nuklir itu menulis bahwa multitasking alias mengerjakan beberapa hal pada satu waktu itu tidak akan efektif. Tulisan itu berawal dari banyaknya komputer yang menggunakan intel core duo.

Sebatas yang aku pahami adalah begini: dengan intel core duo sebagai prosesor, maka komputer akan punya dua prosesor untuk mengerjakan beberapa aplikasi pada satu saat yang sama. Misalnya pada saat komputer bekerja untuk mengetik, komputer juga dipakai untuk mendengarkan lagu. Atau pada saat komputer dipakai edit foto juga lagi online. Atau malah melakukan tiga empat hal sekaligus: mengetik, menyetel lagu, surfing internet, dst. Dengan dua prosesor, maka kerja multitasking lebih ringan dan cepat.

Pada manusia, multitasking itu sebenarnya sudah biasa terjadi. Saat lagi ngetik misalnya mungkin kita sambil ngrokok, denger lagu, dan surfing internet. Ada empat kegiatan pada saat yang sama. Berdasarkan teori yang ditulis Ninok Leksono, kegiatan seperti ini tidak akan efektif. -Aduh maaf deh kalau ternyata pemahamanku salah.

Ketika baca tulisan tersebut aku sebenarnya tidak terlalu sepakat. Toh multitasking itu sudah biasa kita lakukan dengan contoh ngetik, ngrokok, denger lagu, dan surfing itu tadi. Aku pernah baca bahwa orang sholat pun melakukan beberapa hal pada saat yang sama: baca doa, melakukan gerakan takbir rukuk dst, mengingat Tuhan, mengingat dosa –he.he-, dst.

Tapi dua minggu ini aku mulai meyakini teori itu benar. Multitasking ternyata malah bikin pusing. Keyakinan itu berawal dari empat pekerjaan yang sedang aku lakukan meski semua hanya paruh waktu.

Pertama bantu di media relation officer Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bali. Ini pekerjaan sudah setahun lebih. Aku bantu kampanye di media cetak. Paling jelas sih aku ngedit tulisan temen2 aktivis LSM yang menulis masalah AIDS untuk nantinya dikirim ke media cetak. Tiap minggu aku harus ngedit tiga tulisan ditambah dua tulisan lain tiap bulan. Kerjaan ini sempat berhenti dua bulan karena duit utk kampanye di media massa udah abis. Tapi sejak Mei ini jalan lagi.

Kedua aku bantu Ikatan Korban Napza (IKON) Bali. Ini sejak September taun lalu. Di IKON aku bantu desain program meski resminya sebagai konsultan kampanye dan media relation. Tiap Sabtu kami kumpul meski kadang juga kumpul di waktu lain.

Ketiga di Sloka Institute. Ini lembaga pengembangan media, jurnalisme, dan informasi yang aku bikin bersama tiga teman lain sejak Maret lalu. Sloka lahir karena sampai sekarang belum ada lembaga semacam itu di Bali. Padahal di Jakarta ada ISAI dan LSPP, di Yogya ada LP3Y, di Semarang ada Lespi, di Medan ada Kippas, dst. Maka kami pun bikin Sloka. Idenya sih sejak akhir 2004 lalu. Tapi ngurus ke akta notaris, cari kantor, dst baru dua bulan lalu ini. Di sini ya sebagai pemilik lembaga sekaligus pengurus. Orang kam sendiri yang bikin kok.

Keempat di VECO Indonesia. Ini LSM internasional di bidang pertanian berkelanjutan. Ada bantu ngurus majalah SALAM media ttg pertanian berkelanjutan. Lebih banyak ngedit. Ini pekerjaan baru sejak Mei ini. Tertariknya karena sebenarnya aku tertarik isu pertanian. Ya aku anak petani, kuliah di Fakultas Teknologi Pertanian, jadi ya wajar klau tertarik. Cuma ya dari awal sebatas tertarik. He.he. Aku tidak ada minat kerja di bidang pertanian begitu kenal jurnalisme. Kerja di SALAM bagiku cocok banget karena bisa gabungin dua hal yg menarikku, pertanian dan jurnalisme. Tapi keterikatannya bikin aku canggung. Makanya aku milih part time meski ditawari utk full time.

So, balik kucing ke multitasking itu tadi. Bulan ini aku mulai menjalani semua. Senin sampe Rabu kerja di VECO dari pukul 8 pagi sampe 5 sore. Senin, Rabu, dan Jumat aku harus ngedit dan ngirim tulisan kampanye KPA. Sabtu pagi ke IKON. Minggu ini Sloka juga dapat tawaran sebagai panitia lokal diskusi publik tentang UU Politik 2007 dari Partnership dan Koalisi NGO. Waktunya mepet banget.

Maka, semua pekerjaan itu pun menyerang bertubi-tubi.

Dulu aku meyakini bekerja itu untuk menemukan diri dalam pekerjaan itu. Bekerja jangan sampai mengasingkan kita dari diri kita. Ya, aku memang menemukan diri dalam pekerjaan-pekerjaan yang sekarang aku lakukan. Tapi bukan sebagai diri yang merdeka.

Maka, harus ada yang dikorbankan, dan jelas bukan kebebasan yang jadi tumbal. [+++]

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *