Siang ini Erwin Arnada akhirnya resmi ditahan oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Erwin, mantan Pemimpin Redaksi Playboy Indonesia, dituduh melanggar kesusilaan.
Vonis ini masih kontroversi. Sebagian orang, terutama pegiat kebebasan pers di Indonesia, menilai vonis tersebut tidak tepat karena tidak menggunakan Undang-undang (UU) Pers No 40 tahun 1999. Majalah Playboy Indonesia adalah produk jurnalistik. Karena itu dia pun harus diadili dengan UU yang mengatur tentang pers.
Dalam vonisnya, hakim mengatakan bahwa Playboy Indonesia telah melanggar kesusilaan. Maka, Erwin sebagai pemimpin redaksinya harus ditangkap. Tapi, kesusilaan macam apa yang dilanggar Playboy Indonesia?
Playboy memang identik sebagai media porno. Saking kuatnya identifikasi ini, maka tiap kali ada kata “Playboy”, orang akan langsung mikir tentang laki-laki yang suka main perempuan. Aku tak tahu persis bagaimana hubungan majalah Playboy dengan istilah playboy ini.
Tapi, identifikasi itu tak sepenuhnya benar untuk Playboy, termasuk Playboy Indonesia, yang biasa disingkat PB Indonesia. Majalah ini tak melulu tentang perempuan cantik dengan tubuh seksi tapi juga liputan-liputan berkualitas. Setidaknya menurutku.
Tubuh-tubuh seksi dengan balutan minim memang ada di majalah ini. Tapi, itu bukan hal paling menarik dari Playboy Indonesia.
Kalau hanya mau mencari model perempuan seksi dengan balutan minim atau bahkan tanpa tutupan benang sama sekali, tinggal buka Google dan masukkan keyword tertentu yang dengan segera memberikan jutaan pilihan gambar perempuan tanpa busana. Pencari dan penikmat gambar asusila akan dengan mudah menemukannya.
Atau, cobalah tabloid-tabloid kuning di pinggir jalanan yang mengumbar aurat perempuan jauh lebih vulgar dibanding Playboy Indonesia. Atau majalah-majalah franchise lainnya yang jauh lebih berani menampilkan tubuh perempuan di lembar-lembarnya.
PB Indonesia salah satu media berkualitas yang pernah ada di Indonesia. Dia menyajikan tulisan-tulisan yang mendalam di antara makin dangkalnya berita di media-media lain. Tak hanya mendalam, PB Indonesia juga menawarkan perspektif berbeda dalam tulisan-tulisannya.
Sebagai jurnalis, menurutku, PB Indonesia juga salah satu media yang bisa menjadi tempat belajar sekaligus memanjakan jurnalis. Aku mengalaminya sendiri ketika dua kali mengirim tulisan ke sini tentang persoalan identitas di balik makanan di Bali dan para perempuan pengguna narkoba suntik (penasun). Aku belajar melalui praktik bagaimanan reportase dan membuat laporan mendalam dengan serius. Ini hal istimewa yang sampai sekarang pun susah aku dapatkan dari media lain.
Tulisan-tulisan kontributor ataupun tim redaksi mereka sendiri pun keren-keren. Misalnya, tulisan Soleh Solihun dan Alfred Pasifico Ginting. Tulisan dua teman di redaksi PB Indonesia ini selalu dibuat mendalam tentang tema-tema tertentu yang amat langka ditemukan di media umum lainnya.
Membaca tulisan di PB Indonesia, bagiku, ibarat menemukan oase di tengah seragamnya gaya dan tema tulisan media di Indonesia.
Tapi, begitulah. Sebagian orang lebih senang melihat PB Indonesia sebagai simbol media porno dibanding produk jurnalistik berkualitas. Sebagian orang lebih senang melihat foto-foto perempuan seksi minim busana dibandingkan membaca tulisan-tulisan mendalam di dalamnya.
Inilah mereka yang sebenarnya suka berpikir mesum lalu melaporkan PB Indonesia dengan alasan moralitas. Pret!
Foto punya AP, tapi diambil dari blog Indulgence or something. 🙂
Leave a Reply