Kekuatan dan kemudahan dunia maya membuat pengawasan terhadap media massa lebih mudah dilakukan.
Ikhwal pengawasan media alias media watch ini ditanyakan Mas Rofiqi Hasan, wartawan Tempo yang juga pengawas Sloka dalam obrolan bersama pembina dan pengawas Sloka Institute awal Januari lalu. Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar ini bertanya kenapa Sloka tidak melakukan pengawasan pada media arus utama di Bali. Padahal, pengawasan media ini sempat jadi motivasi bahkan kegiatan kami ketika baru berdiri.
Aku lalu ingat lagi ide lama itu. Pengawasan atau pemantauan media di Bali memang penting dilakukan. Kami pernah mendiskusikan itu bersama kawan-kawan di Bali ketika Sloka baru berdiri. Hasilnya, memang perlu ada pengawasan media di Bali. Sayangnya, kami tak punya cukup energi untuk melakukannya.
Tapi, hei. Sekarang sudah ada teknologi informasi. Sepertinya kekuatannya membuat pengawasan terhadap media massa lebih mudah dilakukan.
Kalau dulu, zaman media online masih menjadi kemewahan dan langka, pengawasan media (media watch) ini masih susah dilakukan. Pengawasan media hanya bisa dilakukan orang tertentu, misalnya oleh mantan wartawan atau ahli komunikasi atau sesama wartawan itu sendiri.
Hasil pengawasan itu kemudian dilaporkan lewat aneka rupa media. Paling umum, sih, lewat media cetak berbentuk majalah atau kalawarta (newsletter). Dua media watch yang aku ingat adalah Media Watch terbitan Lembaga Konsumen Media (LKM) Surabaya dan PANTAU yang diterbitkan Yayasan Pantau.
Kalau tak salah ingat, Media Watch terbit bulanan. Aku mengenalnya pada zaman aktif di pers mahasiswa Akademika. Tiap bulan kami menerima media yang berkantor di Surabaya tersebut. Bentuknya buletin. Pemimpin redaksinya Syirikit Syah, mantan wartawan yang juga dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Surabaya (Stikosa).
Adapun Pantau dikelola Andreas Harsono bersama kawan-kawannya di Yayasan Pantau. Terbitnya juga bulanan. Materinya semua tentang media, seperti profil wartawan, berita terbaru tentang media, ulasan lembaga media, dan seterusnya. Pantau mengenalkan aliran baru dalam jurnalisme di Indonesia, jurnalisme sastrawi. Pantau memuat laporan mendalam (indepth report) atau bahkan penyelidikan (investigasi) dengan gaya tulisan sangat memikat.
Belum pernah menulis untuk Pantau salah satu penyesalan terbesarku selama jadi wartawan.
Tapi, kedua media pemantau media itu telah tiada. Aku tak tahu persis karena apa. Keduanya hanya meninggalkan pelajaran bagiku, tak mudah mengelola media watch.
Syukurlah ada kemajuan teknologi informasi. Meski tak dilakukan oleh lembaga formal, seperti Media Watch atau Pantau, pengawasan media itu bisa dilakukan juga oleh warga. Contoh paling gampang adalah melalui media online. Ketika ada berita tak akurat atau bahkan tak benar di media online, konsumen media bisa langsung kasih komentar di sana.
Tak hanya media online juga, sih. Media cetak dan TV juga mudah diawasi dengan kekuatan dan kemudahan dunia maya ini. Selain melalui fasilitas komentar di media online, pengawasan pada medis bisa juga dilakukan melalui mailing list (milis). Jurnalisme@yahoogroups.com yang digagas Farid Gaban, mantan wartawan Tempo, adalah salah satu milis yang aktif mendiskusikan media massa, sehingga secara tak langsung juga menjadi pengawas media.
Pengawasan media ini juga bisa dilakukan lewat milis konsumen media, misalnya Forum Pembaca Kompas. Setahuku, semua media besar di Indonesia sudah punya milis atau group di Facebook. Pembaca tak hanya berkomentar di sana tapi juga berinteraksi dengan pengelola medis itu sendiri. Diskusinya jadi hidup.
Lalu, di Bali? Nah, itu dia tantangannya. Media arus utama belum serius mengelola media online. Mailing list konsumen media juga belum ada. Jadi, mari meneruskan mimpi dengan.. tidur lagi. Hehe..
Foto dari ABC.
0 Comments