Membantu Produsen, Mengingatkan Konsumen

Setelah produksi pertanian sudah terpenuhi, VECO Indonesia kini mendorong konsumen agar lebih peduli produk pertanian sehat. Tulisan ini adalah bagian ketiga dari tulisanku untuk LONTAR, media internal VECO Indonesia, LSM tempat aku kerja part time.

Setelah divonis oleh dokter bahwa dirinya terkena penyakit diabetes 16 tahun lalu Nuraini pun mulai mengonsumsi beras organik. “Saya ingin menjaga kesehatan saya tanpa mengonsumsi beras yang sudah tercemar pestisida,” kata ibu dua anak ini. Nuraini, pegawai di Fakultas Pertanian Universitas Tunas Pembangunan (UTP) Solo ini yakin bahwa beras organik lebih sehat dan bagus untuk mencegah dampak lebih buruk diabetes. “Sejauh ini saya bisa menjaga berat badan tetap sehat dan stabil,” katanya.

Karena ingin membagi pengalaman lebih sehat setelah mengonsumsi beras organik itu, maka Nuraini juga menjual beras organik di kios kecil miliknya. Tidak hanya menjual, dia juga menyediakan informasi tambahan tentang kelebihan beras organik dibanding non-organik. Tempat di bagian depan rumah ini jadi semacam pos informasi produk organik bagi tetangga Nuraini.

Akhir Januari lalu misalnya tiga bapak tetangga Nuraini ikut duduk di sana berdiskusi dengan beberapa staf Lembaga Studi Kemasyarakatan dan Bina Bakat (LSKBB) Solo, lembaga swadaya masyarakat (LSM) di bidang pertanian berkelanjutan di Solo. Suswadi, Koordinator Program LSKBB, menjelaskan ciri-ciri produk organik. “Konsumen sering diapusi (ditipu) karena tidak bisa memilih produk. Karena itu harus jeli dengan ciri-ciri beras organik. Misalnya warna agak kelabu karena tidak pakai pemutih, tidak mudah bersih, agak kehitaman, dan tetap enak kalau dimakan meski disimpan lebih lama,” kata Suswadi.

Rumah dan kios Nuraini hanya satu dari lima kios serupa di Solo, Jawa Tengah. Kios-kios ini tidak hanya sebagai tempat memajang dan menjual barang, namun sekaligus pos informasi hasil pertanian berkelanjutan. Kios-kios itu merupakan bagian dari program LSKBB untuk memperkuat kelompok konsumen sekaligus upaya penyadaran konsumen (consumer awareness) agar mengonsumsi hasil pertanian berkelanjutan. Consumer awareness sendiri merupakan program baru tidak hanya bagi LSKBB Solo tapi juga VECO Indonesia, lembaga yang selama ini mendukung program pertanian berkelanjutan, termasuk pada LSKBB.

Menurut Suswadi, program consumer awareness dilaksanakan karena panjangnya mata rantai distribusi hasil pertanian dari petani ke konsumen. Selama ini, lanjutnya, hasil pertanian menempuh perjalanan sangat panjang dari (1) petani individu ke (2) penebas dan penggilingan ke (3) pedagang besar ke (4) pengecer besar ke (5) pengecer kecil lalu baru ke (6) konsumen. Hal ini diperparah oleh sistem jual beli dari petani ke penebas yang seringkali tidak layak karena petani kecil lebih sering menjual padinya dengan sistem ijon karena mereka terlilit hutang pada tengkulak.

“Akibatnya, harga di tingkat petani sangat rendah, terjadi penurunan kualitas dan harga di tingkat penebas, pedagang besar, hingga pengecer kecil. Lalu di tingkat konsumen, harga pun naik dan kualitasnya rendah,” kata Suswadi.

Untuk memecahkan masalah ini, maka LSKBB kemudian membuat beberapa program. Misalnya dengan cara memperkuat organisasi petani dan kelompok konsumen agar bisa bertemu langsung. Target utama kelompok ini adalah petani kecil di sepuluh kecamatan di Solo dan Boyolali. Kegiatannya antara lain pengembangan padi organik menggunakan benih lokal, ecological pest management (EPM) atau pengelolaan hama secara ekologis, pupuk organik, agen hayati, pengendalian, sampai penanganan pasca-panen. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan aspek penting dalam praktik pertanian berkelanjutan.

Sementara itu di sisi konsumen, penguatan dilakukan melalui kampanye penyadaran pada produk pertanian berkelanjutan. Saat ini program tersebut dilakukan di kalangan ibu-ibu anggota PKK, kemitraan dengan pemerintah, serta lembaga pendidikan. Secara kritis, kelompok konsumen juga membuat kegiatan yang menguatkan posisi mereka terhadap produsen. Misalnya dengan mengunjungi lokasi produksi pertanian organik. Mereka melihat langsung proses produksi, sumber mata air, hingga pengolahan pasca-panen padi.

Selain Nuraini dan tetangganya di Mojosongo, kelompok konsumen lain adalah PKK di RT 02 RW 22 Kelurahan Gondang, Solo. Salah satu rumah di kawasan ini menjadi tempat ibu-ibu, yang sebagian besar adalah ibu rumah tangga, berdiskusi tentang produk yang mereka konsumsi sehari-hari. Mereka bergabung dalam Komunitas Organik Solo. Januari lalu, sekitar 15 anggota kelompok ini, duduk lesehan di rumah yang juga pos informasi itu.

Di rumah itu ada lemari kecil berisi produk seperti kerupuk, kacang, dan beras. Ada poster besar dengan tulisan, “Pastikan yang Kita Konsumsi adalah Produk Tanaman Lokal (Bukan Hasil Rekayasa Genetik)” dengan latar belakang gambar wortel, beras, tomat, dan sayur hijau. Hampir semua ibu itu berkaos putih dengan tulisan Komunitas Organik Solo di punggungnya.

“Berdirinya kelompok berawal dari diskusi tentang tempe bersama Suswadi, Koordinator Program LSKBB, setahun lalu. Kami mendapat pengetahuan tentang pangan yang sehat dan dari situ kami jadi tahu tentang produk organik,” kata Dwi Rahayu, Ketua PKK. Merasa bahwa beras organik lebih sehat dibanding beras non-organik, maka sebagian ibu yang mengikuti diskusi itu pun kemudian beralih ke beras organik. “Bagusnya produk organik, misalnya pandan wangi, adalah tidak cepat busuk ketika masih disimpan dan tidak cepat basi kalau sudah matang. Kalau beras biasa pagi hari sudah rusak dan rasanya hambar,” kata salah satu konsumen.

Sedikit demi sedikit, anggota komunitas ini bertambah. Dari kelompok kecil di tingkat rukun tetangga (RT), kelompok berkembang jadi tingkat rukun warga (RW). Tidak ada data pasti berapa banyak anggota karena kelompok ini lebih bersifat komunitas, bukan sesuatu yang terikat. “Sekitar 40 sampai 50 oranglah,” kata Rahayu. Namun tidak semua anggota komunitas ini mengonsumsi ke beras organik. Menurut Rahayu, anggota yang mengonsumsi beras organik sekitar 50 persen di mana satu keluarga bisa sampai 37,5 kg per bulan untuk lima orang.

Pertemuan komunitas sendiri tidak melulu hanya tentang masalah produk pertanian. Bisa jadi juga isu-isu lain di luar masalah pertanian, misalnya isu naiknya harga kebutuhan pokok. Kalau khusus soal produk pertanian berkelanjutan hanya dua kali yaitu khusus di kelompok PKK Gondang dan bersama komunitas organik lainnya. Meski demikian, ibu-ibu juga punya cara tersendiri untuk menyebarluaskan ide produk pertanian berkelanjutan yaitu secara gethok tular atau dari mulut ke mulut.

Anggota yang aktif di kelompok pengajian mengenalkannya ke anggota pengajian yang lain. Anggota yang aktif di gereja menyebarluaskannya pada anggota gereja yang lain. Begitu pula anggota komunitas yang jadi pegawai negeri sipil (PNS) juga promosi produk organik pada temannya di kantor. Kebetulan pula salah satu anggota komunitas itu juga produsen susu kedelai organik. “Jadi kalau ada teman yang punya hajatan, saya tinggal usul agar dia pesan di tempat kami saja,” kata Sunarti, anggota yang lain.

Agar konsumen lebih yakin terhadap produk organik yang dibeli, LSKBB menjembatani dengan mengajak konsumen berkunjung langsung ke lokasi produksi. Salah satunya ke lokasi produksi padi organik di Desa Dlingo, Kecamatan Mojosongo, Boyolali. Di desa ini ada Kelompok Tani Pangudi Boga yang sudah didampingi LSKBB sejak 2004. “Kami jadi tahu bagaimana petani menggunakan bibit dan pupuk yang sehat. Jadi petani dan konsumen pun sehat,” kata Rahayu.

Desa Dlingo, berjarak sekitar 30 km ke arah barat dari Solo, sendiri merupakan salah satu sentra produksi beras untuk daerah Boyolali dan sekitarnya. Dengan dukungan dari LSKBB dan VECO Indonesia, sebagian petani setempat mulai beralih dari bertani secara konvensional dengan asupan luar tinggi berganti menggunakan asupan luar rendah dan alami. “Awalnya kami tidak terlalu peduli dengan kesehatan hasil pertanian. Namun setelah tahu tentang produk pertanian yang lebih sehat untuk kami dan konsumen, kami pun mengubahnya,” kata Cipto Mulyatmo, Pengurus Kelompok Tani Pangudi Boga.

Dari yang semula sangat tergantung asupan-asupan kimia, Cipto dan puluhan petani lain di kawasan itu pelan-pelan beralih menggunakan asupan ramah lingkungan dan sehat. Misalnya penggunaan kompos, pupuk cair, obat-obatan alami, dan pestisida alami. Dengan asupan luar rendah, menurut Cipto, padi hasil petani setempat ternyata malah naik. Produksi gabah kering di sini 6,8 ton hingga 7 ton per hektar per musim yang dihasilkan dari 15 hektar sawah khusus padi organik. Jenis padi di sini, ada mentik susu dan pandan wangi, merupakan varietas lokal.

Setelah selesai dengan masalah produksi, seperti halnya petani di daerah lain, petani di sini pun menghadapi masalah modal dan pemasaran. “Petani di Dlingo sebagian besar adalah petani miskin. Secara sosial politik juga mereka lemah,” kata Suswadi. Masalah pemasaran pada umumnya karena ketergantungan pada tengkulak dengan sistem ijonnya sehingga mereka tidak bisa menjual sendiri hasil pertanian tersebut. Dan, karena itu pula, maka petani pun tidak peduli pada mutu padi. “Kalau kadung bagus ya bagus, kalau jelek ya jelek. Sebab urusan ada yang beli atau tidak itu ya urusan tengkulak,” tambah Cipto.

Dua tahun terakhir, LSKBB mulai memfasilitasi pemasaran. Misalnya dengan membantu menghubungkan petani dengan konsumen, termasuk kelompok konsumen di Solo seperti Nuraini dan ibu-ibu PKK di Gondang. Karena langsung berhubungan dengan konsumen ini, maka mutu padi dan beras pun menjadi perhatian petani. “Kalau mutunya tidak bagus ya tidak ada yang membeli. Ini jadi motivasi tersendiri bagi petani,” ujar Cipto.

Demi menjaga kualitas produk ini, maka anggota Kelompok Tani Pangudi Boga pun memperhatikan proses tidak hanya dari budidaya tapi hingga pengemasan produk. Seperti disebut di atas, budidaya itu pun sudah melalui proses yang sebisa mungkin tidak terkontaminasi zat kimia. Begitu pula penggilingan beras organik. Sebelumnya, padi hasil produksi Kelompok Tani Pangudi Boga digiling campur dengan padi non-organik. Tapi karena ada tuntutan dari konsumen agar beras organik dipisah dari beras non-organik, maka penggilingan pun digiling di penggilingan tersendiri milik salah satu anggota.

Dari tempat penggilingan, padi dibawa ke rumah salah satu anggota yang sekaligus menjadi sekretariat kelompok. Beras ini disaring dulu menggunakan saringan dari kasa dengan cara dialirkan dari atas ke bawah. Dua orang menunggu untuk membersihkan beras dari kotoran seperti kerikil kecil. Kemudian beras dibungkus plastik dan ditimbang. Setelah mencapai berat yang tepat, 5 kg, bungkus itu ditutup. Beras pun siap dijual dengan harga Rp 5.500 per kilogram.

Untuk menentukan harga, petani membandingkan harga beras anorganik dan harga beras organik lain di pasar. Harga maksimal beras organik dari Dlingo di konsumen adalah Rp 6.500 per kilogram. “Tapi harga semahal ini tidak pernah terjadi. Sebab ada kontrol harga oleh petani maupun LSKBB,” kata Cipto. Kontrol secara berkala ini pun dilakukan untuk memantau mutu beras pada saat budidaya, prosesing, maupun pengemasan.

Dari Dlingo beras itu kemudian dikirim ke konsumen di kota seperti Semarang, Solo, Surabaya, Jakarta, hingga sebagian ke Denpasar Bali. Sampai saat ini, pemasaran lebih banyak melalui organisasi jaringan seperti LSM atau individu yang peduli.

LSKBB sendiri punya kios kecil di Solo. Lokasinya di simpang lima kawasan Nusukan. Kawasan ini agak ramai karena dekat dengan jalan raya. Kios sekaligus pos informasi ini berdiri sejak Januari 2008 lalu. “Kami mendirikannya bekerja sama dengan bagian anak jalanan,” kata Suswadi.

LSKBB sendiri memang mempunyai program untuk anak jalanan selain program untuk nelayan dan pertanian berkelanjutan. Program untuk anak jalanan itu antara lain pelatihan membuat kerajinan. Hasil kerajinannya kemudian dijual bersama produk pertanian yang berasal dari Desa Dlingo tersebut. Maka, kios itu tidak hanya menjual produk pertanian tapi juga hasil karya anak jalanan seperti sapu lidi, kemoceng, dan kerajinan lain.

Karena lokasinya yang strategis itu, maka kios ini termasuk ramai pembeli. “Tiap hari ada saja pembelinya,” kata salah satu penjaga. Kios dan pos informasi itu buka dari pukul 7 hingga pukul 4 sore. Namun pada tanggal muda, antara tanggal 28 sampai 5, bukanya dari pukul 7 hingga 5. Karena sekaligus sebagai pos informasi, maka penjaga kios pun harus tahu tentang produk organik dan pertanian berkelanjutan itu sendiri. “Jadi pembeli di tempat ini tidak hanya sekadar membeli produk tapi juga mendapat informasi tentang produk tersebut. Misalnya asal produk, pengolahan, manfaat, harga, dan lain-lain,” lanjut penjaga kios.

Pembeli produk itu sendiri beragam. Ada PNS, tenaga kesehatan, orang-orang tua, siswa sekolah menengah kejuruan (SMK) tata boga, bahkan dari hotel pun ada. Sedangkan jenis beras yang ada di sini adalah beras merah, pandan wangi, dan mentik susu.

LSKBB tidak perlu keluar biaya untuk membayar sewa kios tersebut. Sebab kios itu diberikan gratis oleh Dinas Kesejahteraan dan Pemberdayaan Kota Solo serta Dinas Sosial Kota Solo. Pegawai Kelurahan Nusukan pun terlibat upaya memperkenalkan produk pertanian berkelanjutan tersebut. Sri Mulyanti, mewakili Pokja III Kelurahan Nusukan, yang bertanggung jawab pada masalah keluarga, termasuk di dalamnya pangan sehat, pun mengaku senang dengan adanya usaha pengenalan produk pertanian berkelanjutan oleh LSKBB ini. “Sebab warga kami jadi mudah kalau mau beli produk organik,” katanya.

Selama, ini lanjut Mulyanti, pihak kelurahan dan LSKBB sudah pernah melakukan kampanye produk pertanian berkelanjutan. Namun, salah satu masalahnya adalah, tidak mudah untuk mendapat produk tersebut karena jarang yang menjual. “Kalau ada kios begini kan lebih gampang,” ujarnya. Mulyanti sendiri pernah ikut tiga kali pertemuan dengan LSKBB tentang pertanian organik. Dia juga sudah mengonsumsi produk organik dengan alasan kesehatan. “Harga juga tidak jauh beda kok. Yang penting kan bisa lebih sehat,” katanya.

Melibatkan pihak kelurahan, bagi LSKBB, memang sebuah strategi agar isu keamanan produk pertanian bisa masuk di birokrasi. “Itu juga bagian dari upaya penyadaran pada konsumen,” kata Suswadi. Dengan kewenangan yang dimiliki oleh birokrasi, menurut Suswadi, penyadaran konsumen lebih bisa dilakukan. Sayangnya sih sejauh ini, LSKBB dan Kelurahan Nusukan memang baru sebatas diskusi, belum banyak tindakan nyata untuk kesadaran konsumen.

Selain kampanye pada ibu rumah tangga, PKK, dan kelurahan, LSKBB kini juga sedang intensmelakukan kampanye kesadaran konsumen produk pertanian berkelanjutan melalui kampus, salah satunya di Universitas Tunas Pembangunan (UTP) Solo. Program ini tidak dilakukan secara verbal tapi melalui mata kuliah di Fakultas Pertanian seperti tentang gizi dan pangan.

Ide ini mendapat sambutan positif dari jurusan. Apalagi secara umum, saat ini memang ada, pengarusutamaan (mainstreaming) isu-isu pertanian organik di kampus tersebut. “Kurikulum tentang pertanian organik sudah dimulai sejak empat tahun lalu. Kurikulum itu dibuat dengan diskusi bersama pihak-pihak terkait seperti Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan, Swasta, dan NGO. Di sisi lain isu back to nature juga sedang kuat. Makanya segera mendapat respon, termasuk dari kampus,” kata Dekan Fakultas Pertanian UTP.

Di luar jalur kurikulum itu, sebagian dosen dan pegawai Fakultas Pertanian UTP pun kini sudah sadar perlunya mengonsumsi produk pertanian berkelanjutan, termasuk produk organik di dalamnya. Di antara sekian dosen dan pegawai tersebut adalah Nuraini dan Suswadi sendiri.

Jaker PO Melibatkan Ekspatriat
Kampanye penyadaran konsumen untuk mengonsumsi produk pertanian berkelanjutan di Solo tidak hanya dilakukan oleh LSKBB. Jaringan Kerja Pertanian Organik (Jaker PO), sebuah jaringan sesama petani organik di Sumatera, Kalimantan, Bali, Jawa, dan Sumba pun kini mulai melakukan program ini. “Consumer Awareness terhadap produk pertanian berkelanjutan sendiri bukan fokus utama program kami. Itu hanya sampingan. Sebab program utama kami memang advokasi produk pertanian organik,” kata Nana Suhartana, Sekjen Jaker PO.

Advokasi itu dilakukan misalnya dengan pertemuan tingkat nasional sesama petani kopi organik atau pameran setahun sekali. “Tapi kami tidak langsung menghubungkan petani dengan konsumen. Hanya sebatas penyadaran,” lanjut Nana. Salah satu advokasi agar produk pertanian bisa mendapat perhatian secara nasional adalah adanya Go Organic! yang dilaksanakan di tingkat nasional.

Kegiatan yang sudah dilakukan Jaker PO tersebut antara lain riset tentang pemasaran produk organik di Jawa dan NTT. “Kami mewawancarai produsen dan konsumen terkait apa yang mereka suka dari produk organik. Ini hanya sebatas assesment,” katanya. Jaker PO juga mengadakan business coffeee meeting di Jakarta yang mempertemukan petani kopi dari beberapa daerah seperti Jawa, Bali, dan Flores untuk bertemu dengan konsumen kopi. “Di sana hanya mempertemukan produsen dan pembeli. Tidak ada deal apa pun. Masih sebatas penjajagan,” ujar Nana.

Bentuk lain dari penjajagan tersebut pun dilakukan secara langsung pada beberapa lembaga di Solo, salah satunya adalah Solo Expatriat Assosiation (SEA). Russ Cullinane, salah satu anggota SEA, mengaku tertarik mengonsumsi beras organik setelah mereka berdiskusi dengan pengurus Jaker PO. “Lalu kami mencobanya dengan membeli 200 kg dan dijual pada anggota. Kami membeli Rp 6.500 dan menjualnya Rp 7000. Selisih digunakan untuk kegiatan sosial lain. Kami sebenarnya tertarik untuk tahu dan terlibat lebih banyak. Namun kami tidak punya cukup waktu,” kata Michael Micklem, anggota SEA yang lain.

Meski baru sebatas pilot project, program consumer awareness di Solo memang terlihat menjanjikan. Setelah tahu tentang produk pertanian berkelanjutan, setidaknya konsumen kini punya pilihan.

3 Comments
  • edo
    April 29, 2010

    apa udah ada konsumen di Aceh?

  • edo
    April 29, 2010

    kalo mau konsultasi di mana?

  • mas Joko
    June 21, 2010

    Info menarik nih, makasih bgt, mo nanya ada no. telp/hp contact personnya yg bs saya hubungi?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *