Rumah Tulisan

maka, menulislah untuk berbagi, agar ceritamu abadi.

Memadukan Rantai Pertanian yang Berserakan

VECO Indonesia merajut rantai pengembangan pertanian berkelanjutan dari produksi hingga pemasaran. Tulisan ini adalah bagian pertama dari tulisan untuk LONTAR, media internal VECO Indonesia, LSM tempatku kerja part time..

Rovinia Jenia, 28 tahun, semangat bercerita. Dia mengangkat tutup lancing (tempat penyimpanan gabah) di gudang lalu menunjukkan gabah di dalamnya. “Di sini kami bisa menyimpan gabah sampai dua bulan,” katanya. Lancing, wadah dari anyaman bambu, itu jadi tempat menyimpan gabah sekaligus harapan.

Sebelum 2004, Jenia dan petani lain di Desa Munting, Kecamatan Lembor, Kabupaten Manggarai Barat tidak menyimpan hasil pertanian mereka dalam lancing. Mereka sudah menjual padi itu ke tengkulak sebelum panen, ketika padi masih hijau. Sistem ijon ini tak hanya merugikan tapi juga menjebak petani dalam lingkaran hutang.

Petani di desa sekitar 30 km timur Labuan Bajo, ibukota Kabupaten Manggarai Barat, ini hanya menghitung padi secara kasar. Karena butuh uang, petani tidak punya posisi tawar. Apalagi secara sosial ekonomi, petani kecil di Desa Munting, posisinya memang lebih rendah dibandingkan tengkulak. Petani kalah meski potensi mereka sangat berlimpah.

Desa Munting berbeda dengan daerah lain di Flores, pulau dengan ribuan bukit. Desa ini berlokasi di kawasan lembah, dikepung bukit-bukit dengan sumber air berlimpah. Tiga bendungan besar yaitu Wae Kanta, Wae Rago, dan Wae Sele menyediakan air sepanjang tahun di kawasan seluas 5.100 hektar di Desa Munting dan sekitarnya. Daerah ini adalah penghasil padi utama di Manggarai Barat, bahkan Flores.

Namun, penggunaan benih, pupuk, dan pestisida kimia berlebihan untuk menghasilkan padi sebanyak-banyaknya justru jadi bumerang. Petani pun bergantung pada asupan luar sangat tinggi. Petani mengeluarkan biaya lebih banyak meski harus hutang ke tengkulak. Untuk membayar hutang, petani menjual padi ke tengkulak di mana harganya ditentukan secara sepihak oleh tengkulak.

Kondisi ini berubah setelah pada 2004, Yayasan Komodo Indonesia Lestari (Yakines), lembaga swadaya masyarakat (LSM) di bidang konservasi lingkungan hidup dan pertanian berkelanjutan, memulai program di Desa Munting melalui penerapan System of Rice Intensification (SRI). Yakines merupakan mitra VECO Indonesia di Flores yang mendapat bantuan teknis, pelatihan, dan dana program. Pengetahuan tentang pertanian organik dan SRI kemudian diterapkan petani setempat di lahan sekitar 25 meter persegi.

Pengolahan tanah secara organik menggunakan jerami yang dibakar dicampur effective microorganisme (EM4). Untuk pengendalian hama, petani menggunakan daun gamal (Glicidia maculata). Hal ini membuat petani tidak lagi bergantung pada asupan luar seperti benih, pupuk, dan pestisida dari perusahaan besar. Mereka cukup memanfaatkan potensi di lahannya sendiri. Tidak perlu berhutang pada tengkulak untuk mengelola pertanian.

“Metode SRI lebih bermutu. Anakannya lebih banyak, malai lebih panjang, dan hama pun berkurang,” kata Jenia. Ketika masih menggunakan pestisida kimia, hama padi seperti wereng dan walang sangit lebih banyak. Setelah menerapkan pestisida organik hamanya berkurang.

Hasil padi pun hampir meningkat dua kali lipat. Dulu hanya menghasilkan 4-5 ton per hektar, sekarang bisa mencapai 8-9 ton per hektar. Saat ini 50 anggota kelompok tani di desa ini semuanya menerapkan pertanian organik. Dari 25 meter persegi, petani di Desa Munting menerapkan SRI di sekitar 50 hektar sawah.

Petani juga makin sadar perlunya berorganisasi. Ketika masih menerapkan pertanian anorganik, petani malas berkelompok karena semua usaha pertanian bisa dilakukan sendiri. Namun dengan pertanian organik, petani setempat harus saling membantu seperti mengolah tanah hingga memanen. Mereka pun mendirikan kelompok tani.

Suksesnya kelompok tani mendorong berdirinya Usaha Bersama Simpan Pinjam (UBSP) yang juga mengurus pasca-panen hasil pertanian, misalnya lumbung pangan. Petani menyimpan gabah di lancing untuk kebutuhan bibit dan pangan selama musim bera. Petani juga menyimpan beras di lumbung lain untuk memenuhi kebutuhan pangan dan anak-anak mereka yang sekolah di Labuan Bajo. Tiap bulan petani di Desa Munting mengirim beras untuk anak mereka yang tinggal di kota.

“Sekarang anggota kelompok bisa memikirkan pendidikan anak-anaknya di kota,” ujar Jenia.

Masalah di tingkat produksi memang sudah selesai. Petani bisa menghasilkan padi lebih banyak dan lebih sehat. Namun mereka menghadapi masalah baru: pemasaran. Selama ini pemasaran padi dan beras petani di Desa Munting kalah bersaing dengan padi dan beras non-organik. “Kami masih menghadapi masalah di pemasaran seperti kurangnya pembeli dan harga yang tidak jauh berbeda dengan beras anorganik,” kata Gabriela Uran, Direktur Yakines. Maka sejak berdiri pada 2005, UBSP yang didirikan dengan modal Rp 5 juta, ini melakukan kegiatan pemasaran juga. Mereka aktif memasarkan hasil pertanian ke kota-kota, tanpa melalui tengkulak.

Untuk produk pertanian anorganik, rantai pemasarannya melwati pedagang pengumpul atau bos giling, pembeli di kecamatan, pedagang di tingkat grosir, lalu ke pedagang lebih kecil, terakhir baru ke konsumen.

Namun untuk pemasaran produk organik, petani Desa Munting, dengan bantuan Yakines  melakukannya secara door to door. Mereka menitipkan produk itu di kantor Yakines untuk dijual lagi pada konsumen di kota kabupaten. Konsumennya antara lain pegawai negeri sipil, masyarakat umum, dan anggota LSM sendiri. Pemerintah setempat, meski belum punya kebijakan khusus, namun sudah punya komitmen mendukung pertanian organik.

Menurut Ella, dukungan itu misalnya dengan cara hadir pada kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh Yakines maupun kelompok tani setempat. “Bahkan bupati dan kepala dinas adalah konsumen setia dari produk pertanian kami,” kata Ella. Pemasaran dengan cara door to door bisa memutus panjangnya rantai pemasaran produk pertanian.

Sejalan dengan makin baiknya UBSP, muncul pula kesadaran baru di tingkat petani untuk menghargai perempuan. Sebab seluruh anggota UBSP adalah petani perempuan. Sebelumnya perempuan hanya dilibatkan dalam pekerjaan seperti menanam, merawat, dan menanam. Perempuan jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan seperti rapat atau dalam pelatihan.

“Namun seiring dengan peningkatan pengetahuan perempuan serta kesadaran terhadap isu-isu terkait, perempuan mulai berani untuk bersuara. Mereka terlibat diskusi dengan DPR dan pemda, termasuk bupati,” kata Ela.

Desa Arus Memutus Panjangnya Rantai Pemasaran
Petani di Desa Munting sudah mampu menyelesaikan masalah produksi. Mereka menggunakan sumber daya di lingkungannya untuk menghasilkan produk yang banyak dan sehat. Namun, masalahnya, petani-petani di desa itu terlihat masih menghadapi masalah lain yaitu susahnya pemasaran.

Masalah ini terjadi pula di Desa Arus, Kecamatan Poco Ranaka, Kabupaten Manggarai, Flores. Selain padi untuk konsumsi sendiri-sendiri, petani di desa yang berada di tengah perbukitan Bantang Camang ini juga memproduksi kopi. Namun, mereka menghadapi masalah klasik melawan tengkulak yaitu sistem ijon.

Sadar bahwa tengkulak makin menghisap mereka, maka para petani pun mendirikan koperasi pada 25 November 2002. Petani pun tidak perlu hutang uang pada tengkulak ketika musim paceklik. Cukup dengan membayar Rp 3000 per bulan, mereka bisa meminjam uang di koperasi mereka sendiri dengan bunga 2 persen tiap bulan. “Kalau untung juga larinya untuk kami sendiri,” kata Donatus Matur, Ketua Kelompok Petani Bantang Camang.

Dari 10 petani ketika baru berdiri, anggota koperasi saat ini sudah 45 orang. Sebagian anggotanya dari desa lain, tidak hanya Desa Arus. Komposisinya hampir separuh laki-laki, separuh perempuan. Makin banyaknya petani jadi anggota, menurut Matur, karena petani merasa terbantu oleh koperasi. Misal, mudahnya akses ke Dinas Koperasi untuk mendapat kredit lunak dengan bungan 1 persen dan bisa dicicil selama 24 bulan.

Namun, petani masih mendapat masalah pemasaran kopi. Misal harga yang tergantung pada pembeli, transportasi yang terlalu jauh, dan terbatasnya areal pemasaran. Maka, Delsos, LSM di Ruteng, Manggarai, pun mendorong adanya kelompok pemasaran bagi petani setempat pada September 2004. Kelompok pemasaran ini melengkapi kelompok tani dan kelompok perempuan di desa ini.

Dengan bantuan dari VECO Indonesia, Delsos memfasilitasi pendirian koperasi. Tidak hanya membantu modal Rp 10 juta, Delsos juga menyumbang alat pemecah kulit kopi.

Kelompok Pemasaran ini berbeda dengan koperasi. Koperasi menekankan pada aspek simpan pinjam, sedangkan kelompok pemasaran menekankan upaya pemasaran yang lebih memihak pada petani kecil di desa ini. Sebelum ada kelompok pemasaran, petani harus menjual kopi mereka sendiri ke kota. Dengan jarak sangat jauh dan jalan tidak bagus, petani perlu biaya besar untuk menjual kopi tersebut ke Ruteng, kota Kabupaten Manggarai, sekiatr 40 km dari desa Arus.

Menurut Matur, dulu biaya transportasi membawa kopi ke Ruteng bisa sampai Rp 1,5 juta per petani. Namun sekarang cukup Rp 300 ribu per orang. “Kami tinggal urunan untuk bayar transportasi ke kota,” katanya. Karena dilakukan secara berkelompok, maka petani juga memiliki posisi tawar lebih tinggi.

Untuk menjaga posisi tawar dalam penentuan harga itu, maka petani membuat struktur kelompok pemasaran tersebut. Selain pengurus seperti ketua, sekretaris, dan bendahara, ada beberapa orang yang bertugas untuk kegiatan khusus. Antara lain seksi lobi bertugas melakukan lobi konsumen dan penentuan harga sedangkan seksi informasi bertugas mencari info harga kopi di pasar sebagai referensi untuk seksi lobi.

Selain itu, adanya kelompok pemasaran juga memudahkan petani kopi untuk mendapat informasi lain di luar daerah, seperti trend pemasaran kopi secara nasional maupun global. Peningkatan kapasitas ini dilakukan melalui kerjasama dengan pihak lain yang juga mitra VECO Indonesia. Misalnya melalui pelatihan pasca-panen kopi, magang di daerah lain untuk anggota kelompok pemasaran, studi banding koperasi, hingga business coffee meeting di Jakarta.

Saat ini, tengkulak dan sistem ijon memang masih ada di Desa Arus, namun setidaknya makin berkurang. Makin sedikit petani yang berhutang pada tengkulak. “Kami pun makin sadar pada masalah lain di luar pertanian seperti kesehatan dan pendidikan. Kami yakin anak cucu kami akan lebih baik dari kami saat ini,” kata Matur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *