Mari Memproduksi Informasi Sendiri

0 , , Permalink 0

Media massa yang disebut sebagai media mainstream (media arus utama) kurang memberi tempat bagi kelompok-kelompok marjinal. Lihatlah TV, maka kita lebih sering melihat wajah-wajah penguasa modal politik, ekonomi, maupun sosial. Bacalah koran maka nama-nama sama juga yang kita temukan. Kelompok-kelompok yang tak punya cukup modal hanya diposisikan sebagai konsumen media, bukan produsen, atau setidaknya dilibatkan.

Namun kelompok tak cukup modal politik, ekonomi, dan sosial itu punya kekuatan lain yaitu komunalisme. Mereka dipersatukan oleh kesamaan latar belakang sosial maupun geografis. Bermodal komunalisme ini ternyata mereka bisa meninggikan posisi tawar dalam praktik penyebaran informasi. Mereka tak lagi hanya mengonsumsi informasi, tapi memproduksinya.

Cerita-cerita keberhasilan komunitas mengorganisasi diri dalam penyebaran informasi itu tersurat dalam buku terbitan Combine Resource Institution Januari 2007 ini. Ada cerita warga pinggiran Kali Code Yogyakarta yang bisa menyelesaikan masalah pencemaran lingkungan mereka setelah mereka membuat radio komunitas. Ada cerita keberhasilan warga pinggiran Jakarta utara membuat sumur bor setelah puluhan tahun mereka mengonsumsi air kotor. Ada pula cerita dari Aceh, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, bahkan Tanah Toraja. Kesamaan cerita komunitas-komunitas tersebut adalah karena mereka bisa berdaya melalui penyebaran informasi.

Buku setebal 184 halaman ini membagi cerita keberhasilan itu dalam empat bab yaitu Menyelesaikan Persoalan Warga, Membangun Good Governance di Tingkat Lokal, Mengembalikan Kesenian Tradisional ke Tangan Masyarakat Pendukungnya, serta Memadukan Beragam Teknologi Informasi. Empat bab itu ditambah tiga bab lain untuk memberi perspektif dan kajian teoritis tentang perlunya komunitas memberdayakan diri melalui informasi.

Perlunya komunitas, apakah itu petani, masyarakat adat, atau penghuni pinggiran kali, untuk mengorganisasikan diri menyebarkan informasi tidak bisa dilepaskan dari makin menguatnya posisi informasi seagai dasar perekonomian dunia. Ada perubahan dasar perekonomian dunia, setidaknya di Amerika Serikat, dari berbasis pertanian ke industri (pada abas ke-19), ke pelayanan (setelah perang Dunia II), dan ke informasi (sejak 1970an hingga saat ini). Masyarakat ekonomi berbasis informasi adalah masyarakat yang hidup berdasarkan informasi, atau menyumbang informasi, untuk keberlanjutan sistem ekonomi.

Bukan hanya industri modern, industri tradisional pun mengandalkan aspek informasi dan pengetahuan kalau mau untung. Misalnya petani di Tanah Toraja bisa berbagi cerita dengan petani di Lagos, Afrika Barat tentang bagaimana mengorganisasikan diri agar harga produk pertanian bisa lebih tinggi.

Radio komunitas merupakan salah satu pilihan untuk mengorganisasikan diri agar komunitas bisa berdaya mempraktikkan kebebasan informasi. Melalui radio yang dikelola dari, oleh, dan untuk komunitas ini mereka bisa berbagi informasi dan meningkatkan posisi tawar. Tidak sekadar berbagi, keterbukaan informasi itu pun bisa mendorong terjadinya penyelesaian masalah warga. Mulai terbukanya akses terhadap air bersih di Kamal Muara Jakarta Utara, terselesaikannya masalah pencemaran air warga pinggir Kali Code Yogyakarta, terangakatnya posisi perempuan di Bandung dan Padang Pariaman, terdamaikannya konflik antar warga di Subang Jawa Barat, hingga tersedianya sarana belajar mengajar di Pekalongan Jawa Tengah.

Tak hanya masalah warga yang selesai, radio komunitas juga bisa menjadi pengawal pelaksanaan pemerintahan di tingkat lokal. Pengelolaan informasi melalui radio dan buletin bisa mendorong demokratisasi di Gunung Kidul Yogyakarta, menjalin kedekatan antar warga di Bandung, dan membangun kepercayaan dalam pengelolaan koperasi di Lombok Barat.

Selain itu, radio komunitas juga ternyata berguna untuk mempertahankan adat setempat dan melahirkan selebritis baru. Di Aceh Utara, radio komunitas Samudera FM jadi media untuk mengangkat kembali seni dan sastra Aceh yang lama tak didengarkan warga setempat. Berkat radio tersebut, seni dan sastra tradisi seperti nazam, dalail khairat, rukun, pantun, dan dzikir bisa diperdengarkan lagi. Di Lombok Barat radio komunitas bisa mengangkat Samsudin sebagai penyanyi bersaing dengan Peterpan bagi warga setempat.

Sebagai bagian dari desa besar bernama globalisasi, komunitas pun harus bisa memanfaatkan peluang yang dihadirkan globalisasi itu sendiri dari konteks informasi. Teknologi informasi telah menawarkan peluang bagi komunitas untuk terlibat dalam produksi informasi tersebut. Maka komunitas pun harus bisa menggunakan untuk kepentingan mereka sendiri. Lahirlah sinergi informasi yang memanfaatkan teknologi seperti internet, telepon seluler, dan seterusnya. Misalnya warga sekitar gunung Merapi membuat portal komunitas bernama Jalin Merapi di mana mereka bisa menyampaikan dan mendapat informasi tentang aktivitas merapi.

Buku ini ditutup dua tulisan tentang peluang dan strategi memberdayakan komunitas dari perspektif kebebasan informasi. Dengan cerita dan kajian yang diberikan, buku ini meyakinkan kita bahwa mengorganisasikan diri memproduksi informasi bukanlah mimpi.

Judul : Media Rakyat, Mengorganisasi Diri Melalui Informasi
Editor : Ahmad Nasir dkk
Penerbit : Combine Resource Institution Yogyakarta, Januari 2007
Halaman : viii+184 halaman

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *