Temanku, Hari Puspita, yang juga redaktur koran lokal Radar Bali, menelponku kemarin sore. Dia bertanya apakah aku kenal Bli Pande, temanku di Bali Blogger Community (BBC).
Aku jawab kenal. “Kenapa?” tanyaku.
Pipit dan teman-teman di Radar Bali keberatan dengan tulisan Bli Pande tentang koran tempat mereka bekerja tersebut. Lalu, pagi ini aku chating dengan Bli Pande soal tulisan tersebut.
Kurang lebih ini ceritanya. Februari 08 lalu, Radar Bali menulis soal pembangunan jalan di Kuta. Wartawan Radar Bali menulis kalau pembangunan itu mangkrak. Bli Pande, salah satu staf yang mengerjakan pembangunan itu tidak mau disebut mangkrak. Katanya karena pada saat itu pekerja dari Kabupaten Badung itu sedang mengerjakan di tempat lain.
Bli Pande lalu nulis di blognya. Mengungkapkan kekesalannya pada Radar Bali. Di blog itu pula Bli Pande menulis kalau kadang-kadang wartawan menulis hanya untuk memeras narasumber.
Sepertinya bagian ini yang membuat Radar Bali panas. Makanya mereka sampai berniat menuntut Bli Pande. Aku tidak tahu apakah itu hanya ungkapan emosional atau benar.
Rencana tuntutan itu, menurutku, hanya gertak sambal. “Ah, masak segitunya,” pikirku.
Yang jelas sudah ada akibatnya. Bli Pande sudah menghapus postingannya itu. “Daripada jadi ribut,” kurang lebih begitu jawabnya via Yahoo Messenger.
Aduh, masak sih harus segitunya. Menurutku kok tidak perlu sampai muncul “ancaman” yang berbuntut penghapusan posting. Tulisan cukuplah dilawan dengan tulisan. Kalau kita keberatan pada satu tulisan, tidakkah cukup dengan membuat tulisan bantahan atas tulisan itu.
Kalau tiap keberatan harus diakhiri dengan “pembredelan”, lalu di mana kebebasan untuk berpendapat yang selama ini kita agung-agungkan?
Leave a Reply