Bulan Syawal masih tersisa 15 hari lagi. Jadi masih bolehlah kalau menulis soal lebaran. Kali ini tentang kupatan, tradisi merayakan lebaran seminggu setelah hari H. Aku tidak tahu jelas apakah tradisi kupatan ini hanya ada di Jawa Timur, Jawa, atau semua orang Indonesia yang merayakan Lebaran.
Sebatas yang aku tahu sih tidak ada tradisi kupatan di Bali. Di Jakarta juga tidak ada. Padahal di Mencorek, kampung halamanku di pesisir utara Lamongan, Jawa Timur, kupatan selalu jadi pelengkap lebaran. Bagi anak-anak, kupatan malah lebih meriah dibanding lebaran itu sendiri.
Karena sudah tidak lama ikut merayakan kupatan, tahun ini aku berniat jauh-jauh hari untuk ikut kupatan pas mudik tahun ini.
Seperti namanya, dari kata kupat (bahasa Jawa) yang berarti ketupat, kupatan merupakan tradisi merayakan hari seminggu setelah Lebaran dengan makan ketupat. Kalau Lebaran jatuh pada tanggal 1, maka Kupatan jatuh pada tanggal 8. Itu pengertian kupatan yang aku tahu. Pada hari ini, bisa dikatakan semua warga desa membuat ketupat. Berbeda dengan ketupat yang pada umumnya terbuat dari janur, ketupat di desa kami dibuat dari daun lontar.
Selain berbentuk segi empat seperti ketupat pada umumnya, warga kami juga biasa membuat ketupat berbentuk ayam jago. Ketupat ini disebut jekekrek. Isinya ya sama saja, beras yang sudah dicuci sehingga agak bercampur air.
Ketupat ini biasa dimakan dengan sayur lodeh atau kare. Pada zaman aku masih kecil sih kami bisa tiga kali makan dengan menu sama semua: ketupat dengan sayur lodeh. Ikannya kalau bukan ayam ya tongkol atau ikan layang. Empuknya ketupat bertemu dengan segar dan pedasnya sayur lodeh. Lhep!
*Menelan ludah sendiri dulu..
Sebagai pelengkap, warga membuat lepet (bacanya mirip sepet, bukan mepet), makanan terbuat dari beras ketan yang direbus dalam bungkusan janur. Tanpa lepet, kupat itu tak ada bedanya dengan kupat pada hari biasa.
Ada dua bentuk lepet. Pertama mirip segitiga dengan dua sisi sangat panjang dan sisi bawah pendek. Kedua bentuknya bulat seperti bantal. Makanya kalau di Bali lepet jenis ini disebut jaja bantal. Di desa kami lepet jenis ini disebut lepet dengkul. Kali karena bentuknya yang seperti dengkul. Atau bisa jadi karena yang bikin mikir pake dengkul. Hahaha..
Kupat dan lepet itu biasa bagi mereka yang merayakan Kupatan. Nah, yang paling unik dari Kupatan di daerahku adalah karena kami merayakannya dengan naik gunung. Gunung itu mungkin lebih pas disebut bukit karena tingginya, menurut perkiraanku, tak sampai 300 meter. Tapi kami toh tetap menyebutnya sebagai gunung. Lengkapnya Gunung Menjuluk..
Zaman aku masih kecil sih kami biasa bawa ketupat, lepet, dan jajan sisa Lebaran untuk naik gunung. Saat itu kalau jajan lebaran masih tersisa saat Kupatan berarti sudah luar biasa. Soale, biasanya cepat banget habis. Perlu waktu sekitar 30 menit untuk sampai punggung gunung. Kami lalu menikmati makanan itu di atas gunung sambil melihat pemandangan di bawah sana.
Di sisi utara gunung terlihat desa Sedayulawas dan laut utara Jawa. Di barat daya desa kecil kami.
Sambil bersantap, kadang ada yang bawa tape berbateri untuk bisa menyanyi, kami juga waspada pada petasan. Kalau sudah kupatan, petasan seolah jadi bahan yang bisa diledakkan di mana saja. Tapi setelah terjadi bom di Bali 2002, semua jenis petasan langsung dilarang, termasuk saat Kupatan.
Memang lebih tenang. Tapi, tanpa petasa saat Kupatan, jujur saja, aku merasakan ada sesuatu yang hilang. Menurutku sih sebaiknya tidak apa-apa ada petasan selama tidak masih dalam batas kewajaran. Samakan saja dengan orang Betawi saat punya hajatan.
Saat ini, kupatan memang makin beda caranya. Biasalah. Selalu ada yang berubah. Makin sedikit oarng yang membawa kupat, lepet, apalagi jajan untuk kupatan di atas gunung. Tapi tetap saja banyak yang naik gunung untuk kupatan. Selain dari desa kami, waga dari desa lain pun memenuhi gunung kecil yang secara administratif memang masuk wilayah desa sebelah itu.
Maka, banyak orang tumplek blek di atas gunung. Perkiraanku, kalau dihitung total ada sampai 1000 orang.
Karena banyak orang itu, maka Kupatan pun jadi waktu untuk bermaaf-maafan atau sekadar ketemu teman lama. Kak Alhan, kakakku yang sudah sekitar 30 tahun tinggal di Jakarta dan ikut kupatan tahun ini, bertemu dengan beberapa teman lamanya. Saat aku masih SD, SMP, atau SMA dulu, kupatan juga jadi waktu untuk bertemu dengan teman-teman sekolah.
Tahun ini, aku merayakan kupatan bersama sepupu-sepupuku. Kami terpisah di beberapa kota: Surabaya, Malang, Jakarta, Denpasar. Tidak ada kupat, karena kami sudah tidak kuat menahan nafsu untuk menyantapnya saat masih di rumah. Adanya lepet dan rujak.
Di gunung itu kami menghabiskannya sambil menikmati pemandangan yang, kata Kak Alhan dan aku sepakat dengannya, sama indahnya dengan pemandangan dari Garuda Wisnu Kencana (GWK) di Bali ke arah Kuta dan sekitarnya. Dari atas gunung kami melihat laut, pantai, rumah-rumah, tambak garam, sawah, juga kanal Bengawan Solo.
Usai menyantap makanan itu, kami lalu turun kembali. Menyisakan keinginan untuk kembali merayakan kupatan tahun depan..
October 23, 2008
seru bangeeet….jadi pengen kesana ^_^
October 24, 2008
di ampel boyolali-kampung ortu saya juga ada loh 😀
May 30, 2009
Hampir tiap kupatan mudik, tapi yang ke Menjuluk cuma anak2, terakhir naik ketika tanda beton putih di atas puncak belum dihancurkan. Ceritanya para extrimis menganggap beton putih itu mengundang syirik. Mereka tidak menyadari betapa beton itu sangat berharga bagi para nelayan yang dapat melihat dari kejauhan sebagai tanda kampung mereka telah dekat. Mereka juga tidak menyadari jerih payah orang yang membangun beton itu di atas puncak, disitu jg tertulis ketinggian menjuluk itu. Sayang sekali.
October 17, 2009
Q seneng banget setelah membaca crita kmu,jadi pengen pulang ……..menyenangkan banget klo kupatan di desa sedayulawas……