Huh, akhirnya kelar juga laporan yang ku kerjakan sekitar dua bulan ini. Awal Februari lalu, Mas Hanif, teman di LSPP Jakarta minta tolong bantu bikin riset tentang dampak konsentrasi kepemilikan media di Bali. LSPP akan membuat buku tentang peta kepemilikan media penyiaran di Indonesia. Salah satu bagiannya adalah bagaimana dampak konsentrasi kepemilikan media penyiaran itu. Bagian ini mengambil contoh kasus di Bali.
Ketika ditelpon pertama aku mikir riset itu bener-bener riset. Aku mikir sih ya mungkin mirip bikin skripsi dengan sumber utama riset pustaka. Mikir soal riset, otakku langsung kebayang soal yang ribet. Nyatanya komposisi sumber riset itu sekitar 50 persen riset pustaka, 50 persen wawancara.
Cari bahan dan wawancara sebenarnya tak terlalu lama. Yang susah itu ternyata nulis laporannya. Kalau nulis feature atau indepth report sih mungkin sudah biasa meski tidak bagus-bagus amat. Tapi pas nulis laporan riset itu, alamak, ternyata susah. Ini baru satu bagian. Gimana ya rasanya kalau bikin buku.
Anyway, tadi pagi akhirnya laporan itu selesai juga. Laporan ini sudah molor sebulan dari targetku. Memang sih pas ngasi kerjaan dulu Mas Hanif tidak bilang kapan harus selesai. Tapi aku cek di kontrak kerjaku waktunya cuma sebulan. Artinya sebulan itu ya laporan harus kelar. Tapi meski belum aku juga tidak pernah ditelpon nanyain tentang keterlambatan itu. Mungkin juga karena honor juga belum ada. He.he.
Hasil riset itu sendiri bukan sesuatu yang baru bagiku. Bedanya cuma sebelumnya hanya sebatas asumsi dan desas-desus tapi kini aku tau itu memang benar adanya.
Bali Post adalah media terbesar di Bali. Berawal dari media yang dibangun bermodal hasil jualan buku di rumah yang juga tempat menjahit, Bali Post kini jadi kerajaan media terbesar di Bali. Ketika terbit pertama pada 16 Agustu 1948 Bali Post bernama Suara Indonesia. Sebagai media perjuangan, lahirnya pun tidak tentu. Tergantung situasi.
Setelah sempat berganti nama jadi Suluh Indonesia dan Suluh Marhaen, Bali Post jadi nama koran harian ini sejak 1972 hingga sekarang. Jenis medianya pun beranak pinak. Di bawah bendera Kelompok Media Bali Post, perusahaan ini media cetak seperti Denpost, Bisnis Bali, tabloid wanita dan keluarga Tokoh, tabloid remaja Wiyata Mandala, tabloid anak-anak Lintang, tabloid pariwisata Bali Travel News, harian Suara NTB. Kini dengan nama depan Bisnis, KMB juga mendirikan Bisnis Jakarta, Bisnis Bandung, dst. Kali mirip Jawa Pos dengan Radar-nya atau Kompas dengan Tribun-nya.
KMB juga punya sekitar sembilan radio di Bali, Mataram, dan Yogya. Enam radio di Bali: Global FM di Tabanan, Genta FM di Denpasar, SWIB di Karangasem, Negara FM di Jembrana, dan Singaraja FM di Buleleng, praktis tidak ada tempat yang tidak terjangkau siaran radio milik KMB. Apalagi mereka kini juga punya Bali TV yang bahkan menjangkau hingga sebagian Jawa Timur dan Lombok. Kalau dengan satelit, siarannya bisa sampai Australia.
Selain Bali TV, KMB juga punya Bandung TV, Jogja TV, Semarang TV, Palembang TV, hingga Aceh TV.
Dengan semua media itu, ah tentu saja Bali Post adalah raja lokal di Bali. Tak hanya dari sisi besar dan banyaknya media yang mereka miliki tapi juga karena ada kedekatan kultur, agama, politik, dan seterusnya. Tak heran, nyaris tidak ada suara berbeda tentang apa yang disampaikan Bali Post. Lha gimana lagi. Mereka terlalu besar untuk dilawan..
Leave a Reply