Seperti sudah kuduga, sambutan tidak ramah menyambut kami ketika masuk Hard Rock Cafe Minggu sore kemarin. Dengan muka galak dan tanpa senyum sama sekali, pelayan berseragam hitam-hitam itu bertanya pada kami. “Mau ngapain?” tanyanya dengan muka menyelidik seperti kami ini tiga orang yang harus dicurigai karena membawa penyakit sampar atau bom di balik baju kami.
Aku sedang nganterin dua anak tetangga, Gede dan Ayu, untuk menukarkan vocuher mereka di cafe tersebut. Mereka dapat hadiah voucher setelah menang lomba menghias bunga Nak Nik Community dua pekan lalu.
“Mau pinjem toliet,” kataku dalam hati. Ya, makan atau minumlah. Masak masuk cafe mau ngapain. Atau kalau memang mau nanya baik-baik, kan bisa saja sambutannya adalah, “Selamat sore. Ada yang bisa kami bantu?”. Hi, Guys. Pariwisata adalah tentang keramahan pada orang lain, tidak hanya pada orang-orang berkulit putih, jangkung, yang kalian sebuat sebagai turis itu.
Aku memang sudah menduga. Sudah terlalu sering terjadi seperti ini. Ketika masuk hotel, restoran, atau semacamnya di Bali, aku sering disambut dengan tatapan mata penuh curiga. Tidak hanya sekali dua kali. Hampir selalu. Dan ini bukan pengalamanku sendiri. Beberapa teman pernah mengalami seperti ini: perlakuan berbeda antara tamu lokal dan tamu asing.
Maka, ketika kemarin sore aku ke Hard Rock Cafe pun aku sudah menyiapkan mental seperti itu. But, meski sudah menyiapkan diri, ternyata aku tetap belum bisa menerima sambutan yang tidak ramah itu.
Maka, begitu ada sambutan tidak simpatik sedikiiiiit saja, aku langsung sebel setengah mati. Setelah bilang kami mau minum, kami cari tempat duduk sendiri tanpa dipersilakan. Setelah melihat kami bawa voucher Rp 100 ribu dari Hard Rock Radio, pelayan itu terlihat makin melihat kami dengan mata yang tidak menyenangkan.
But, untunglah kekecewaan itu terobati dengan dua pelayan lainnya. Dua laki-laki itu dengan ramah menyapa dan memberi tahu kami. “Kalau nanti makannya lebih dari nilai voucher, bapak harus ganti. Tapi kalau kurang, duitnya tidak bisa dikembalikan,” kata pelayan itu, yang sepertinya lebih tinggi jabatannya dibanding pelayan pertama.
Kami mengangguk. “Ya, Pak. Terima kasih,” jawabku.
Setelah itu, pelayan lain juga tak kalah simpatiknya. Ketika kami baru mau nuangin saus dia dengan senang hati menawarkan diri untuk bantuin. Pas kami mau cabut, dia juga ngajak ngobrol dulu.
But, dasar manusia memang lebih suka nginget jeleknya daripada kebaikan orang, maka aku pun tetap mengingat pelayan pertama yg tidak simpatik itu.
Eh, ternyata bukan hanya aku. Ayu dan Gede, dua anak tetangga yg aku anterin pun merasakan ketidakramahan itu. “Kok pelayannya yang kecil tadi galak banget sih, Om,” kata Ayu.
“Pasti karena kita bukan bule ya, Om,” jawab Gede yang memang lebih cerdas dibanding teman-temannya itu.
Leave a Reply