Dua hal yang terjadi secara acak membuatku berpikir kembali tentang perlunya sebuah ketakutan diciptakan. Dua hal tersebut adalah maraknya penangkapan preman di Denpasar dan lepasnya tokoh Jaringan Islamiyah (JI) Singapura Mas Slamet bin Kastari dari pusat penahanan di Singapura. Keduanya membongkar ingatanku kembali soal terorisme.
Pikiranku hanya sebuah pikiran yang berangkat dari pesimisme juga skeptis, sebuah sikap untuk mempertanyakan sesuatu. Bertanya dan menggunakan otak kita adalah salah satu cara untuk membuat keberadaan kita terasa. Kata Rene Descartes Cogito Ergo Sum, aku berpikir maka aku ada. Bagi banyak orang hal seperti ini adalah sesuatu yang naif. But, let it be..
Pikiran ini memang pertanyaan yang agak konspiratif. Dan itu dibenarkan kok. Ada dua pendekatan berpikir dalam teori logika yaitu deduktif dan induktif. Deduktif biasanya dipakai oleh kalangan intelijen seperti CIA dan BIN. Dasar berpikirnya adalah dari sesuatu yang sangat umum. Misalnya siapa sih yang diuntungkan dari sesuatu yang terjadi?
Induktif sebaliknya. Dia menggunakan bukti-bukti kecil menuju kesimpulan yang lebih besar. Biasanya dipakai untuk investigasi. Jadi Mangku Pastika bisa menangkap Amrozi itu ya karena mulai dari bukti chasing mobil L300 dan seterusnya. Bukan karena mikir siapa yang diuntungkan dari ledakan bom itu.
Nah, ketika marak perang preman di Denpasar dua bulan terakhir, aku juga mulai mikir. Siapa sih yang diuntungkan oleh maraknya kekerasan antar-preman ini? Soalnya juga agak aneh melihat maraknya perang antar-preman ini. Dalam waktu dua minggu terjadi teror bom sampai tiga kali yang ada indikasi dilakukan karena perang antar-preman. Sebatas yang aku tahu, preman di Bali tumben-tumben pakai granat atau bom.
Begitu pula dengan lepasnya tokoh terorisme, Kastari dari Singapura pekan lalu. Secara logika ini juga aneh. How can it be? Singapura gitu loh yang tingkat keamanannya jauh lebih canggih dibanding Indonesia.
Dua hal itu, perang antar preman dan lepasnya gembong teroris, membuatku berpikir lagi bahwa ketakutan memang sengaja diciptakan. Ini mirip Bush junior yang menciptakan hantu imajiner bernama senjata pemusnah massal di Irak sehingga punya alasan untuk “mendemokratiskan” negeri tersebut. Begitu pula dengan pengejaran tak berkesudahan terhadap makhluk yang bernama Osama bin Laden.
Bagiku, kadang-kadang, semua itu memang sengaja dibiarkan ada untuk menciptakan ketakutan bersama. Lalu dengan ketakutan bersama itu, bahkan bertanya pun sudah dianggap sebagai sebuah kejahatan. Ironis..
Leave a Reply