Jalan setapak itu menukik tajam. Di kanan kirinya, jurang menganga.
Kedalaman jurang itu sekitar 30 meter. Bisa jadi lebih. Aku hanya mengira-ngira melihat kedalamannya. Mereka seolah siap memakan siapa saja yang masuk ke dalamnya. Aku salah satunya.
Sepeda motor yang aku naiki menuruni jalan curam tersebut. Jalan setapak itu hanya berupa tanah berpasir. Rentan sekali membuat motor terpeleset dan jatuh.
Oman, petani yang juga tukang ojek, mengendalikan setir sepeda motor yang kami naiki. Meski dia sudah terlatih, setidaknya sudah belasan tahun ngojek, tetap saja aku takut. Aku mikir yang macam-macam. Misalnya rem blong atau jatuh. Lalu, motor menggelinding masuk ke jurang sana.
Sambil menempelkan pantat ke bagian belakang jok motor agar seimbang, aku menahan ketakutan. Jantungku berdebar lebih kencang. “Ternyata jalan turun memang lebih mengerikan,” pikirku.
Toh, ketakutan itu harus ditelan saja. Tidak ada jalan lain kecuali melewati jalan itu. Inilah satu-satunya jalan penghubung dari kota kecil Tinombo di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah ke Tompeng, dusun yang aku kunjungi hari itu.
Jalan ini rusak parah. Hancur. Kecil. Berkelok. Kadang penuh lumpur. Di bagian lain banyak kerikil. Sekali waktu menanjak tajam. Di sisi lain ada yang menurun curam.
Tapi, inilah jalan yang harus dilewati warga tiap kali mereka ingin pergi atau pulang dari Tompeng ataupun desa-desa lain di pegunungan.
Desa-desa ini berada di pegunungan Tinombo. Kota kecil ini berjarak sekitar 250 km dari Palu, ibukota Sulawesi Tengah. Lama perjalanan sekitar 4-5 jam. Dari Tinombo ke dusun-dusun ini perlu waktu sekitar 1 jam.
Di lokasi terpencil inilah tersembunyi salah satu sumber kekayaan negeri ini, kakao. Salah satunya di Dusun Tompeng, Desa Okualas, Tinombo, yang aku kunjungi kemarin pagi.
Tompeng agak berbeda dari dusun-dusun lain sebenarnya. Bentuknya sudah perkampungan. Rumah-rumah warga berkumpul di satu tempat. Dusun ini memang dibangun khusus untuk lokasi perkampungan oleh Kementerian Sosial. Rumah-rumah panggung dari kayu berjejer di tepi jalan desa yang masih berupa tanah liat.
Dusun lain tidak seperti Tompeng. Hampir semua warga tinggal terpencar. Terpisah-pisah oleh bukit-bukit. Satu bukit hanya dihuni satu dua orang.
Tak hanya tempat tinggal, bukit-bukit tersebut juga kebun. Kakao menjadi komoditas utama bagi mereka. Rata-rata warga memiliki 0,5 sampai 2 hektar. Ada sekitar 1.750 petani dengan luas lahan kakao sekitar 1.700 hektar lahan.
Aku ngobrol dengan petani-petani kakao ini di kebun mereka. Sayangnya, kebun-kebun ini tak terlalu diurus. Petani hanya menanam dan membiarkan pohon kakao begitu saja. Hama menyerang. Hasil panen berkurang.
Toh, dari petani-petani terpencil itulah, Kabupaten Parigi Moutong menghasilkan kakao kering sekitar 74.000 ton per tahun. Sulawesi Tengah termasuk pusat produksi kakao di Indonesia. Menurut data Kementerian Pertanian, pada 2012 lalu, provinsi ini menghasilkan 144.358 ton kakao kering. Jumlah ini terbanyak kedua setelah provinsi tetangganya, Sulawesi Selatan sebanyak 146.840 ton.
Petani-petani keci dan terpencil di Tinombo inilah yang menyumbang jumlah produksi kakao di negeri ini. Mereka yang membuat Indonesia menjadi produsen terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana.
Dari petani-petani kecil tersebut, kakao kering kemudian dijual ke eksportir dijual ke negara-negara pengolah seperti Belgia dan Amerika. Setelah diolah di negara-negara tersebut, kakao itu berubah wujud menjadi cokelat siap saji dengan aneka bentuk. Ada cokelat batangan, cokelat bubuk, dan seterusnya.
Kita, konsumen di Indonesia, kemudian membeli dengan harga berlipat kali mahalnya.
Begitulah kekayaan di negeri ini mengalir dari daerah-daerah terpencil seperti Tinombo sebelum kembali dalam wujud berbeda dan masuk mulut kita. Tak banyak yang tahu dari mana asal usulnya apalagi perjuangan berat petaninya..
Leave a Reply