Pan Belog pun ingkar janji. Selesai Nyepi lalu dengan sangat yakin dia bilang akan rajin cerita tentang hal-hal yang dia alami padaku. Kalau tidak salah sih dia bilang cerita itu pengennya dimuat setiap Sabtu atau Minggu di blogku atau di balebengong.net. Ternyata pekan ini dia telat. Padahal, dia sudah merasa diri seperti Goenawan Mohamad yang punya Catatan Pinggir tiap edisi di Majalah Tempo. Atau, ya setidaknya, sama dengan Sudira alias Aridus penulis tetap rubrik Obrolan Bale Banjar di Bali Post Minggu yang obrolannya lebih mirip obrolan mahasiswa S3 daripada di bale banjar karena saking tinggi dan beratnya tulisan di sana. Hehe..
But, ya begitulah. Pan Belog bisanya hanya mencela orang. Padahal dia sendiri nulis pun enggan, atau jangan-jangan malah tidak bisa sama sekali. Hihihi..
“Tidak mau tidaklah berarti tidak bisa,” kelitnya.
“Mana orang tahu kamu bisa kalau kamu tidak menunjukkannya,” balasku sengit.
“Apakah kemampuan harus selalu ditunjukkan pada orang lain. Tidak cukupkah aku yang tahu bahwa aku bisa melakukan itu,” tangkisnya.
“Itu namanya sombong. Merasa bisa tapi tidak pernah melakukannya. Atau kalau toh memang bisa dan tidak ditunjukkan, itu berarti egois. Menikmati miliknya untuk dia sendiri. Tidak dibagi pada orang lain.”
“Bukannya malah yang suka memperlihatkan itu yang sombong. Percaya diri dan sombong itu kan batasnya tipis seperti kamu menilai aku egois padahal aku rendah hati.” Pan Belog menjawab sambil tertawa ngakak. Aku tidak.
Pekan ini Pan Belog datang ke rumah dengan gaya rambut baru. Dia menghabiskan semua rambut di kepalanya. “Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin cukur rambut saja. Bosan punya rambut. Habis-habisin sampo,” katanya.
Ehm, mana bisa aku percaya. Seperti dia pernah bilang padaku, tidak ada yang bebas nilai dalam diri kita. Begitu juga rambut. Plontos, kribo, mohawk, gondrong, gimbal, semuanya tidak ada yang berdiri sendiri. Selalu ada makna di baliknya meski kadang tidak disadari.
Ari, temanku misalnya. Ketika aku ketemu di Renon Sabtu lalu, aku langsung tahu kalau istrinya lagi hamil hanya dengan melihat rambut kribonya yang agak gondrong. “Sudah umur lima bulan,” katanya merujuk usia kehamilan istrinya. Ari, yang orang Bali itu, yakin bahwa ketika istrinya lagi hamil, maka suami tidak boleh mencukur rambut sama sekali. Maka, rambut, jenggot, dan rambut-rambut lain (hehe) pun dibiarkan gondrong. Bagi orang Bali, mencukur rambut ketika istri hamil adalah pamali.
Jadi bisa jadi ini pula alasan Bli Pande tetap memelihara jenggot. Bukan karena mau meniru Ahmad Dhani. Hahaha..
Bagi sebagian orang, bentuk rambut ini pun bisa berakibat fatal. Kalau Anda berambut botak plontos dan hadir di antara anak-anak punk, maka bisa jadi ini akan dikepruk rame-rame. Sebab kepala plontos, seperti Pan Belog saat ini, identik sebagai representasi anak-anak Skinhead. Punk dan Skinhead tidak pernah akur. Seorang teman pernah bercerita kalau dua kelompok ini di Bandung selalu saja berantem kalau ketemu.
“Kalau di Bali sih lain lagi. Anak-anak punk dan skinhead di sini kan untuk gaya-gayaan saja,” sindir Pan Belog.
Maka, ketika aku melihat Pan Belog plontos kepalanya, dari yang biasanya botak lengar dengan sedikit rambut, aku pikir dia sudah pindah aliran ikut anak Skinhead. “Ah, kau ini mikir gawat gen nok,” katanya.
Melalui wawancara mendalam dan tertutup (mimih), akhirnya terbongkarlah kedok Pan Belog sebenarnya. Ternyata dia gundul hanya gara-gara….. [belakang aja deh sebabnya. Kurang seru kalau di depan sudah ada. Hehe]
Jumat petang pekan lalu Pan Belog memang keramas rambut seperti biasa. Dia ingin tampil agak istimewa di depan istrinya. Maka, tidak hanya keramas, dia juga pakai berhias diri. Istrinya yang sering pulang pergi Bali – Jogja malam itu akan datang. “Pang seger dik,” dia berseru yakin.
Malam hari ketika istri sudah di rumah, keduanya pun ngobrol romantis sambil nonton TV. Pan Belog keluar manjanya. Dia rebahan kepala di pangkuan istrinya yang masih agak capek itu.
“Kok rambutmu bau, Yah. Kapan terakhir keramas?” tanya istrinya.
“Masak sih. Barusan aja aku keramas kok. Hidungmu kali yang bermasalah,” jawab Pan Belog seperti biasa sambil menyalahkan orang lain.
“Ah, mana mungkin. Ini buktinya rambutmu bau banget. Cium na’e kalau tidak percaya.”
Tentu saja Pan Belog tidak bisa mencium rambutnya sendiri. Meski kepalanya sudah muter-muter jungkir balik, dia tetap tidak bisa. “Coba usapin terus ntar aku cium,” kata Pan Belog.
Istrinya pun ngusap rambut tipisnya itu. Lalu, pluk!, sesuatu berwarna hitam mirip ceres, yang biasa dipakai isi roti, jatuh. “Kok bisa ada ceres di sini,” pikir Pan Belog. Dengan yakin dia mengambil sesuatu itu lalu menciumnya. “Huweeeeek,” teriaknya. Bagaimana tidak huwek lha wong hitam-hitam itu ternyata….tai cicak!
Maka, berantakanlah rencana Pan Belog untuk dapat jatah malam itu. Saking sebelnya dengan insiden tai cicak di balik rambut itu, Pan Belog pun segera mencukur habis rambutnya. “Lebih baik kehilangan rambut daripada kehilangan istri,” katanya sambil terkekeh-kekeh.
Leave a Reply