-tulisan ini dimuat Media Indonesia, kalo ga salah Sabtu dua pekan lalu. ada kesalahan fatal: FOTO TERTUKAR antara Gung Alit sama Bodrek!! ini sih kesalahan orang yg naruh foto di MI. he.he. juga data ttg omzet yg Rp 5 milyar per tahun, tp aku tulis di MI Rp 5 milyar per bulan. “Aku jadi dikejar2 orang Dinas Pajak,” kata Gung Alit.-
Sang Pionir
Gung Alit Mewujudkan Perdagangan Berkeadilan
Bisnis tidak harus semata urusan mencari keuntungan secara ekonomi. Bagi Agung Alit, Direktur PT Teduh Mitra Utama, perusahaan sekaligus eksportir kerajinan di Bali, hal yang lebih penting adalah membangun kesadaran terhadap kemanusiaan. Agung Alit mengutamakan kejujuran. Misalnya menyampaikan berapa harga yang dia beli dari produsen dan berapa keuntungan yang dia dapat. Usaha miliknya juga mengutamakan karyawan perempuan, tidak mempekerjakan anak-anak, peduli lingkungan, dan membuat sistem pembayaran di muka.
Prinsip tersebut adalah hal mendasar pada bisnis yang menerapkan sistem perdagangan berkeadlilan (fair trade). Menurut Gung Alit, panggilan akrabnya, fair trade bisa dilihat dari dua perspektif: sebagai gerakan dan sebagai model bisnis.
Sebagai gerakan, fair trade terwujud dalam bentuk organisasi International Federation of Alternative Trade (IFAT). Organisasi payung gerakan fair trade sedunia ini bermain di advokasi kebijakan internasional. Pada pertemuan tahunan World Trade Organisation (WTO), IFAT selalu muncul. Sejak di Cancun Mexico hingga di Hongkong tahun lalu mereka hadir sebagai suara alternatif untuk mewujudkan perdagangan yang lebih adil.
Perdagangan lebih adil itu berdasar pada sembilan prinsip. Di antaranya pengentasan kemiskinan, peduli lingkungan, tranparansi, pembayaran yang adil, kesetaraan gender, tidak menggunakan pekerja anak, dan keberlanjutan. Inilah prinisp yang tidak hanya dipegang teguh tapi juga dilaksanakan ketika fair trade menjadi model bisnis.
Menurut Gung Alit, free trade harus dilawan tak hanya dengan wacana tapi juga gerakan dan sistem alternatif. “Karena free trade hanya menguntungkan segelintir orang. Mereka (pelaku perdagangan bebas) menentukan semua hal demi keuntungan mereka. Contoh di Bali adalah jaringan hotel internasional. Semuanya disesuaikan dengan standar mereka sehingga kita harus jadi orang lain,” tutur pria kelahiran Denpasar, 4 Juli 1961 ini.
Di tingkat lebih nyata, Gung Alit melihat praktik tidak adil itu terjadi pada perajin-perajin Bali. Perajin hanya menghasilkan produk dan dijual pada pengusaha yang menjualnya lagi pada konsumen. Perajin tidak pernah tahu berapa kerajinan mereka dihargai pembeli. Di sisi lain pembayaran pun sering terlambat.
Namun praktik paling menyedihkan bagi Gung Alit adalah potongan harga hingga 40 persen bagi pemandu wisata yang membawa tamu untuk membeli kerajinan tersebut. “Dengan potongan 40 persen, lalu perajin itu dapat apa?” tanya bapak dua anak ini.
Gairah pariwisata di Bali, bagi Gung Alit, juga menimbulkan dampak negatif bagi orang Bali. “Kalau memang pariwisata menyejahterakan orang Bali, kenapa makin banyak orang Bali menjual tanah?” ujarnya.
Melihat praktik tidak adil itu, Gung Alit kemudian mendirikan Yayasan Mitra Bali pada 1993. Sebelumnya sejak 1991 dia sebagai pekerja lapangan Yayasan Pekerti Jakarta di Bali. Pekerjaan itu membuatnya sering bertemu perajin dan tahu masalah yang mereka hadapi. Gung Alit juga pernah aktif di Kelompok Merah Putih, kelompok diskusi aktivis di Bali.
“Hal yang menarik saya adalah karena ada sisi kemanusiaan untuk kaum marjinal dalam pekerjaan ini,” kata Sekretaris Jenderal Forum Fair Trade Indonesia ini.
Bermodal Rp 7 juta, pemberian dari orang Jepang yang simpati dengan idenya, Gung Alit mendirikan yayasan pendampingan perajin tersebut. Dua tahun kemudian dia mendirikan PT Teduh Mitra Utama sebagai badan usaha di bawah Yayasan Mitra Bali agar lebih mudah melakukan perdagangan kerajinan. Usahanya sempat megap-megap antara hidup dan mati. Hingga 1997, Gung Alit hanya mendapat kerajinan dari lima perajin.
Ketika terjadi krisis ekonomi pada 1997, Mitra Bali justru mendapat banyak keuntungan. Sebab pembayaran dari pembeli dalam bentuk dolar. Kurs rupiah yang melemah justru jadi berkah. Tujuan ekspornya pun tidak hanya Jepang, tapi meluas ke Inggris, Belanda, Jerman, Amerika Serikat, Spanyol, Austria, dan Kanada. Luasnya pasar itu didukung oleh jaringan Gung Alit di bidang gerakan fair trade.
Saat ini Gung Alit mendampingi 80 kelompok perajin yang bisa menghidupi lebih dari 2000 orang. Perajin ini tersebar di Bali serta sebagian Jawa Timur dan Yogyakarta. Hasil kerajinan mereka biasanya berupa pernak-pernik hiasan seperti gantungan kunci, bingkai foto, tempat lilin, patung, dan semacamnya. Selain itu dia juga membuat kerajinan sendiri di Desa Lodtunduh, Ubud, Gianyar, Bali. Gianyar merupkan sentra kerajinan di Bali.
Sejak 2005 lalu, dia juga membuka toko di Centro, pusat perbelanjaan mewah di Kuta. “Itu adalah bagian dari politik image,” tuturnya soal kenapa Mitra Bali mendirikan toko di sana. Dari modal Rp 7 juta, kini omzet usaha Gung Alit mencapai Rp 5 milyar per tahun.
Gung Alit sangat tegas menerapkan fair trade sebagai model bisnis. Hal sepele seperti pembayaran misalnya sangat dia perhatikan. Dia selalu membayar uang muka 50 persen di muka ketika memesan produk dari perajin. Padahal, menurutnya, banyak pengusaha kerajinan yang bahkan sampai empat bulan setelah pembelian tidak juga membayar ke perajin. “Makanya banyak yang bilang Mitra Bali is the best in payment,” ujarnya yakin.
Tak hanya memperhatikan pembayaran, Gung Alit juga memberikan penjelasan detail pada produsen dan pembeli produk. Misalnya berapa harga yang dia beli dari perajin dan berapa harga yang dia jual pada pembeli. Kalau ada perubahan harga, hal itu didiskusikan bersama perajin maupun pembeli. Jadi harga yang didapat adalah kesepakatan bersama, bukan sepihak.
Ketika sudah bisa menerapkan fair trade sebagai model bisnis, Gung Alit juga masih terus menjaga spirit fair trade sebagai gerakan. Tak hanya sering ikut dalam aksi anti free trade bersama anggota IFAT lain, -dia misalnya ikut demo anti WTO di Hongkong tahun lalu-, Gung Alit juga menyebarluaskan gagasan itu pada perajin-perajin dampingannya. Tentu saja dengan bahasa yang mudah dipahami perajin. Menyebarluaskan ide fair trade itu dilakukan dengan menyentuh wilayah domestik para perajin. Misalnya melibatkan istri dalam pekerjaan sebagai proses keseteraan gender atau tidak mempekerjakan anak kecil sebagai bagian dari perlindungan anak.
Untuk mengukur keberhasilan praktik fair trade di perusahaannya maupun pada perajin dampingan, Gung Alit dengan stafnya di Yayasan Mitra Bali melakukan evaluasi rutin tiap tahun. Evaluasi itu antara lain laporan keuangan, self assesment, dan penilaian dari pihak luar. Nantinya hasil evaluasi itu akan dibawa ke kantor pusat IFAT. “Dengan cara seperti itu, kami bisa terus menjaga agar perdagangan yang kami lakukan memang masih pada jalur berkeadilan,” ujarnya. [+++]
***
Testimoni
Aktivis yang Mewujudkan Wacana
Pernah aktif di kelompok diskusi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) membuat Agung Alit kritis terhadap masalah. Mendirikan Yayasan Mitra Bali merupakan jawaban terhadap kegalauannya melihat praktik perdagangan kerajinan di Bali yang menurutnya tidak adil. Selain itu di mata Bodrek Arsana, mantan relawan Mitra Bali, Gung Alit bisa jadi contoh aktivis LSM yang bisa mewujudkan idealismenya.
“Sebagian besar aktivis LSM kan lebih sering bermain di tingkat wacana. Namun Gung Alit tidak hanya wacana, dia bisa membuat wacana itu jadi realita,” kata Bodrek yang kini juga merintis usaha perdagangan kerajinan bersama istrinya di Yogyakarta.
Ketika baru mendirikan Yayasan Mitra Bali pada 1993, Bodrek sering diajaki Gung Alit bersama untuk menemui perajin di kampung-kampung. Waktu itu dia sebagai relawan di Mitra Bali. Dari situ, menurut Bodrek, terlihat bahwa Gung Alit juga bisa menarik minat perajin untuk terlibat di fair trade tanpa harus bicara dengan bahasa aktivis LSM yang cenderung elitis. “Fair trade itu kan isu middle man, tapi Gung Alit bisa membuatnya mudah dipahami orang biasa,” katanya.
“Selain itu Gung Alit tahu betul bagaimana mendekati perajin Bali. Perajin Bali kan dekat dengan pasar dan banyak konsumen makanya cenderung angkuh. Tapi Gung Alit bisa merendah tanpa harus dipandang rendah oleh orang lain. Dia juga bisa menggunakan idiom-idiom lokal dan tahu kebutuhan orang Bali terutama dalam hal upacara. Jadinya dia bisa diterima banyak perajin,” tutur bapak satu anak ini.
Bodrek menilai praktik bisnis fair trade adalah keberhasilan penggabungan dua hal yang sebenarnya bertolak belakang. Fair menuntut kejujuran dan kemanusiaan. Sedangkan trade kadung identik sebagai usaha untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya. Karena itu apa yang dilakukan fair trade seperti halnya yang sudah dilakukan Gung Alit bisa jadi jawaban bagi makin rakusnya kapitalisme saat ini.
Sebagai pengusaha yang menerapkan prinsip fair trade, Gung Alit juga sangat peduli pada kemanusiaan. Bodrek memberi contoh ketika ada perajin yang semula stres karena terus merugi. Perajin itu juga sering memukuli istrinya. Gung Alit kemudian mengajak perajin itu berbisnis dengan Mitra Bali. Pelan-pelan orang itu usaha kerajinannya makin maju. Dia kemudian melibatkan istri dan keluarganya untuk memproduksi kerajinan. “Itu proses memanusiakan yang luar biasa,” kata pria kelahiran Gianyar, 3 Oktober 1976 ini.
Namun, menurut almumni Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Atmajaya Yogyakarta ini, Gung Alit juga harus memikirkan bagaimana agar fair trade sebagai gerakan maupun sebagai model bisnis itu bisa jadi gerakan politis yang masif. Misalnya dengan kesadaran politis pada para perajin. “Mungkin Gung Alit bisa belajar dari Muhammad Yunus dengan Grameen Bank-nya di Pakistan. Yunus bisa menginstitusionalisasikan kelompok-kelompok marjinal yang didampingi sehingga jadi kekuatan besar untuk menghadapi kapitalisme ataupun kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada mereka. Kalau ini bisa dilakukan kan luar biasa,” saran Bodrek yang kini tinggal di Yogyakarta. [+++]
Leave a Reply