Gagalnya Penjara Kita

0 No tags Permalink

-hari ini, 27 April, adalah hari Lembaga Pemasyarakatan Nasional. Lapas adalah bahasa halus dari penjara. mumpung ada cantolan, aku posting aja tulisan yg aku kirim ke Kompas utk rubrik Humaniora Teroka. udah dua minggu lalu aku kirim tp belum jelas akan dimuat apa tidak. jd ya tak posting aja di blogku sendiri. kan itu gunanya blog. he.he-

Gagalnya Penjara Kita

Kita terbiasa menerima sistem sebagai takdir yang tak bisa diubah. Seolah-olah begitu adanya dan kita harus menerima, apa pun itu konsekuensinya. Demikian pula ketika berbicara tentang penjara sebagai hukuman bagi pecandu Narkoba.

Penjara telanjur dianggap sebagai jalan terbaik “mengembalikan” pecandu Narkoba ke jalan yang “benar” untuk mengatasi penyalahgunaan narkoba. Faktanya anggapan itu jauh dari kenyataan. Penjara telah gagal menjawab masalah penyalahgunaan Narkoba. Liputan beruntun Kompas awal April ini menegaskan hal tersebut. Tiap hari lebih dari dua nara pidana meninggal di berbagai penajara di Indonesia akibat berbagai penyakit (Kompas, 5/4/07). Kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan anggota DPR pun menuding adanya perlakuan tidak manusawi pada napi (Kompas, 7/4/07).

Karena itu tidakkah kita harus memikirkan kembali peran penjara sebagai tempat merehabilitasi pecandu Narkoba atau bahkan menggantinya dengan sistem yang lebih manusiawi dan fungsional?

Motif Ekonomi Lahirnya Penjara
Lahirnya penjara berawal ketika masyarakat Eropa mengalami ketakutan luar biasa akibat wabah lepra pada abad 14 – 15. Muncul ide untuk melokalisir penderita lepra dengan cara mengurung mereka. Dalam konteks ini penjara pada saat itu merupakan tempat untuk merehabilitasi kesehatan. Penjara lahir karena motif medis.

Pada akhir abad 15, wabah ini hilang. Penjara pun kosong. Hanya tinggal satu dua di beberapa negara. Itu pun nyaris tanpa penghuni.

Namun penjara kemudian kembali jadi pilihan ketika Eropa dilanda krisis ekonomi pada abad 17. Pada saat itu merebak masalah-masalah sosial akibat menurunnya pendapatan, meningkatnya pengangguran, dan merosotnya jumlah mata uang. Rumah-rumah kosong yang terjadi akibat terhentinya epidemi lepra tiba-tiba jadi tempat pengasingan bagi warga tanpa kelas seperti gelandangan, pengemis, dan orang-orang gila termasuk wanita hamil dan anak-anak.

Di Perancis rumah koreksi ini disebut Hopital General, meski bukan tempat pelayanan medis. Gedung-gedung penyimpanan senjata dan kamp-kamp peritirahatan bagi militer cacat serentak jadi pusat-pusat pengoreksian orang-orang miskin (Suyono, 2002).

Michel Foucault yang mengkaji maraknya hopital generale itu menemukan fakta bahwa penangkapan orang miskin, genaldangan, pengemis, bahkan orang-orang gila itu tak melulu bermotif sosial, demi apa yang disebut penguasa sebagai ketertiban umum, tapi juga bermotif ekonomi. Penangkapan dan pemenjaraan tiap orang yang secara sosial dianggap tidak berguna dianggap sebagai jalan keluar dari krisis ekonomi yang terjadi saat itu. Di dalam hopital general mereka dipaksa bekerja hanya dengan upah berupa makan dan minum dari negara.

Selain dipaksa bekerja dengan upah makan minum itu, penjara juga dibuat untuk menghasilkan pekerja-pekerja siap pakai. Di Jerman tempat-tempat pemenjaraan itu ternyata menghasilkan tenaga kerja spesifik di bidang tertentu. Di Hannover orang yang dipenjara dilatih untuk bekerja di penenunan. Di Hamburg dan Bremen untuk industru kayu. Di Nurenberg untuk penggosokan kaca. Di Mainz untuk penggilingan tepung.

Lahirnya penjara, seperti yang kita pahami saat ini, pada akhir abad 18 pun tak lepas dari motif ekonomi. Pasca revolusi Perancis yang diikuti lahirnya kelas borjuis, masyarakat Eropa mulai menikmati kejayaan ekonomi mereka. Namun di sisi lain kemajuan ekonomi itu pun diikuti meningkatnya kriminalitas. Mereka yang melakukan tindak kriminal harus dipenjara untuk menjamin adanya stabilitas ekonomi.

Sebenarnya ada tiga tawaran bentuk hukuman yang dilakukan saat itu. Pertama dengan apa yang disebut Le Supplice. Bentuk hukuman ini barang kali mirip pelaksanaan hukuman rajam di Aceh atau negara-negara penerap syariat Islam lain meski tingkat kekejamannya berbeda. Mereka yang bersalah disiksa di depan publik. Bukannya melahirkan keadilan, hukuman semacam ini malah semata sebagai pamer kekuasaan penguasa. Di sisi lain juga tidak manusiawi.

Kedua dengan pemenjaraan (kurungan). Mereka yang bersalah harus dimasukkan penjara untuk menebus kesalahannya. Meski semula bentuk ini dianggap hanya menghabiskan uang negara dan membuat pelaku tindak kriminal bertambah malas, nyatanya toh bentuk hukuman ini akhirnya diterima dibanding bentuk hukuman ketiga yaitu public work.

Mitos Penjara Menjawab Masalah
Menggunakan perspektif filosofis Foucault kita bisa menemukan kasus tak jauh berbeda antara penjara Eropa pada abad 14 – 15 maupun akhir abad 18 dengan penjara di Indonesia saat ini terutama berkaitan dengan penyalahgunaan Narkoba.

Hukuman penjara berangkat dari pikiran bahwa pecandu narkoba adalah pelaku tindak kriminal. Berdasarkan hukum normatif menggunakan Narkoba secara ilegal merupakan tindakan yang dilarang. Karena itu sebagai pelaku tindak kriminal, pecandu Narkoba harus dimasukkan penjara untuk rehabilitasi sekaligus menjaga “ketertiban umum”. Seperti halnya penjara pada abad 15 yang berfungsi merehabilitasi penyakit lepra, penjara saat ini pun digunakan untuk merehabilitasi kecanduan Narkoba.

Namun tujuan itu tidak didukung fasilitas memadai. Bukannya pulih dari ketergantungan, pecandu Narkoba semakin parah. Survey mini oleh Ikatan Korban Napza (IKON) Bali pada Desember 2006 menunjukkan 77 persen pecandu Narkoba mengaku tidak lebih baik setelah dipenjara. Pecandu makin tergantung pada Narkoba karena bisa mendapatkan “barang” lebih murah dan mudah.

Fakta itu pun membantah mitos penjara sebagai hukuman untuk memberi efek jera. Tak terhitung jumlah pecandu dihukum penjara seberat-beratnya. Namun tidak berarti makin sedikit jumlah orang yang menggunakan narkoba. Di Lapas Kerobokan Bali misalnya. Jumlah nara pidana atau tahanan yang paling banyak tetap saja karena kasus narkoba, entah karena pemakaian atau peredaran. Lebih dari 50 persen penghuni Lapas Kerobokan adalah karena kasus narkoba. Hal yang sama terjadi di Lapas Cipinang dan mungkin ratusan Lapas lain di Indonesia.

Ironisnya, mudahnya pemakaian narkoba di penjara tidak disertai adanya peralatan untuk memakai narkoba. Misalnya jarum suntik. Satu jarum pun dipakai secara bergantian. Kebiasaan ini mengakibatkan penularan human immunodeficiancy virus (HIV), virus penyebab sindrom menurunnya sistem kekebalan tubuh, acquired immune deficiancy syndrome (AIDS). Mereka yang semula tidak positif HIV pun akan tertular HIV akibat pemakaian narkoba di penjara. Tak heran jika HIV di penjara termasuk penyakit yang paling banyak di penjara selain TBC dan sesak napas.

Penjara sebagai tempat rehabilitasi dan pemberi efek jera pun tinggal mitos.

Maka perlu dipikirkan alternatif hukuman bagi pecandu Narkoba. Undang-undang No 22 tahun 1997 tentang Narkotika sebenarnya sudah memungkinkan adanya vonis rehabilitasi bagi pecandu Narkoba seperti disebut Pasal 45 serta Pasal 47 ayat a dan ayat b. Namun meski sudah ada UU yang mengatur, nyatanya belum ada yurisprudensi hukuman rehab bagi pecandu Narkoba. Hampir semua vonis bagi pecandu Narkoba adalah hukuman penjara bukan hukuman rehabilitasi.

Hukuman lain yang layak dipikirkan adalah hukuman public work. Pecandu Narkoba diberi hukuman untuk bekerja di fasilitas publik. Sebab dibandingkan hanya bengong di penjara, bekerja di tempat publik dengan pengawasan ketat justru membuat pecandu bisa mengalihkan diri dari ketergantungannya pada Narkoba.
Masalah ketergantungan pecandu pada Narkoba harus dilihat dari beragam perspektif, tidak hanya masalah hukum. Tinggal apakah kita pakai kaca mata kuda atau membuka pikiran seluas-luasnya. [+++]

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *