Pada zaman masih SMA, Pan Belog sudah termasuk salah satu murid yang nakal. Waktu itu dia sekolah di salah satu SMA favorit di jalan Kamboja Denpasar. Dia sering bolos. Namun meski bolos, dia mengaku daftar hadirnya selalu terisi. Caranya dengan menitip absen pada teman sekelasnya.
Kebiasaan ini berlanjut ketika dia masih kuliah. Daripada duduk manis dengar dosen ngoceh di kelas, dia pilih kabur lalu ikut demo. Makanya dia selalu merasa sudah punya jasa pada negeri ini. “Kalau tanpa kami, Indonesia mungkin masih dalam cengkeraman dan kekejaman Orde Baru,” katanya yakin. Ya deh peh..
Lalu, ada apa di balik kebiasaan bolos itu? “Ternyata tidak ada itu bisa sama dengan ada. Tapi juga bisa saja sebaliknya, ada itu sama dengan tiada,” ujarnya sok filsuf.
“Sesuatu itu ada, bisa jadi karena kita menganggapnya ada. Misalnya hantu. Sebenarnya dia itu belum tentu ada. Tapi karena sebagian orang menganggapnya ada, maka orang itu bisa saja melihatnya suatu saat. Itu namanya kekuatan pikiran. Bukan hanya hantu, Tuhan pun jangan-jangan juga begitu. Dia mungkin sebenarnya tidak ada. Tapi karena kita takut dosa atau butuh sesuatu yang lebih hebat dar kita, maka kita anggap Dia ada,” Pan Belog ngoceh tiada henti.
Oke, oke. Daripada ocehannya makin ngawur, apa intinya kali ini? Ternyata ocehan Pan Belog soal ada dan tiada itu muncul gara-gara langkanya bensin di Bali akhir-akhri ini. “Bensin itu sebenarnya ada. Namun ada orang-orang tertentu yang membuatnya tidak ada,” tudingnya.
Menurutnya, ketidakadaan itu bisa jadi disengaja atau tidak disengaja. Tapi agar orang yakin, maka dibuatlah banyak alasan. Dulu, sebelun dan setelah Nyepi, Pertamina bilang kelangkaan itu karena suplai terhenti sehari karena Nyepi. Untuk kelangkaan bensin di Bali saat ini, alasan lainnya karena rusaknya pelabuhan BBM di Manggis, Karangasem. “Tapi apakah kita pernah ngecek ke lapangan bahwa pelabuhan itu memang rusak. Ketidakpastian itu seolah-olah sudah pasti,” katanya.
“Alaah, itu akal-akalan pemerintah. Paang ngelah alasan gen menekang harga bensin,” kata Made Buleleng, tetangga Pan Belog yang kerja di pom bensin.
Tapi, seperti biasa, Pan Belog memang belog ajum. Termasuk soal bensin itu. Sudah tahu bahwa bensin sedang langka, dia tetap saja merasa bahwa bensin itu ada di tempat lain. Tapi ya justru dia jadi korban.
Pekan lalu dia mengantar temannya jalan-jalan ke Ubud. Mereka ingin menikmati lukisan di beberapa museum di kawasan yang memang terkenal sebagai pusat kegiatan seni rupa di Bali tersebut. Sekalian mampir ke Monkey Forest untuk silaturahmi. Hihihi..
Ketika hendak berangkat, teman Pan Belog sudah mengingatkan agar mereka mengisi bensin dulu. “Perjalanan jauh. Nanti bensin habis di tengah jalan,” kata Albert, teman Pan Belog tersebut.
Namun ketika mereka lewat pom bensin di daerah Gatsu Timur, Pan Belog lurus saja tidak mampir ke pom bensin. Padahal jarum di penunjuk bensinnya sudah menyentuh tanda merah. “Aku yakin di jalan pasti ketemu pom bensin,” ujarnya yakin. Dia maunya isi bensin di luar kota biar tidak perlu ngantri lama.
“Santai saja. Bensinku masih cukup kok. Nanti kan bisa ngisi di jalan,” lanjut Pan Belog santai.
Di pom bensin Gatsu Timur itu memang penuh kendaraan antri. Mobil dan sepeda motor mengular ke belakang karena antri. Dasar pemalas, Pan Belog pun tidak mau antri. “Antri saja. Tidak apa-apa lama sedikit asal kita aman,” saran Albert.
Tapi ya begitulah. Pan Belog yang bengkung pun tidak peduli. “Di luar kota saja biar tidak perlu antri,” katanya.
Mereka pun berjalan menuju Ubud. Ketika ketemu pom bensin pertama, Pan Belog pun belok dengan yakinnya. Eh, ternyata ada tulisan “Bensin Habis”. “Waduh,” katanya reflreks. Pan Belog mulai khawatir. Mereka tetap melaju ke Ubud sambil berharap nemu bensin. Tapi pom bensin kedua yang merek temui ternyata sama saja. Bensin habis juga.
Alamak, Pan Belog makin khawatir. Sepanjang jalan ke Ubud dia mulai tengak tengok lihat adakah dagang bensin eceran. Padahal biasanya dia paling benci beli bensin eceran di pinggir jalan itu. Sampai pom bensin ketiga di daerah Ubud, ternyata semuanya habis. Sementara itu bensin di tangki sepeda motor makin habis.
Bensin itu memang masih cukup ketika sampai Ubud. Tapi ketika balik, tangki sepeda motor itu kering kerontang. Walhasil, di tengah jalan ketika balik ke Denpasar, Pan Belog dan temannya harus menuntun sepeda motor itu sampai rumah.
“Dasar, Lu. Maunya jalan-jalan malah dorong motor,” kata Albert.
Leave a Reply