Dilema Mengkritik Agama Berbeda

0 , Permalink 0

budhist-terror

Agama bisa berubah menjadi teror bagi sesama manusia.

Salah satu pelakunya bernama Ashin Wiratu, biksu dari Myanmar. Juni 2013 silam, majalah TIME menjadikan wajah biksu berkepala botak ini sebagai sampul utama. Judulnya mengandung ironi: The Face of Buddhist Terror.

Budha yang selama ini dikenal sebagai agama paling teduh, ternyata melahirkan wajah bengis bernama Wiratu juga.

Wajah Wiratu aku lihat pertama kali justru baru sekitar Mei lalu. Aku baca pula profilnya di beberapa media terkemuka seperti TIME, New York Times, BBC, dan semacamnya. Semua menegaskan pesan jelas, Wirathu adalah tokoh (agama) utama di balik kebencian terhadap warga muslim di Myanmar.

Juni lalu, aku nyaris tergoda untuk mengunggah foto Wiratu dari sampul TIME ke Facebook. Saat itu umat Budha sedang merayakan Waisak. Pesan yang sudah aku tulis di Facebook ketika itu kurang lebih begini, “Selamat Waisak, Ashin Wiratu. Semoga tak ada lagi muslim yang kalian bunuh dan usir dari Myanmar.”

Pesan itu kemudian aku hapus. Foto Wiratu tak jadi aku unggah. Aku ragu-ragu.

Muncul banyak pertanyaan di kepalaku. “Apa gunanya aku menulis pesan dan mengunggah foto semacam itu? Apa dampaknya pada orang lain, terutama penganut Budha? Apakah akan membuat toleransi lebih baik ataukah hanya memperluas kebencian dari kalangan muslim terhadap orang Budha?”

Banyak sekali pertimbangan ketika aku hendak mengunggah foto dan informasi yang sebenarnya sahih itu. Kesimpulanku sendiri, menulis status yang mengkritik penganut agama orang lain tidak akan memperbaiki situasi. Hanya memanas-manasi.

Namun, dari situ kemudian diam-diam muncul pikiran lain. Betapa selama ini aku juga tidak adil terhadap informasi terkait kekerasan oleh kelompok Islam radikal, konservatif atau apalah namanya. Jika informasi tentang mereka, maka aku dengan mudah dan santai sekali menyebarkannya di media sosial.

Alasannya sederhana, aku benci terhadap mereka yang melakukan kekerasan atas nama agama yang aku anut sendiri. Pertanyaannya, kenapa aku tidak melakukan hal sama ketika pelakunya adalah agama lain: Budha, Hindu, Kristen, dan seterusnya?

Jika membaca buku dan sejarah, tiap agama punya sisi kelam masing-masing. Jika mau mencari lebih dalam lagi, tiap agama punya penganut fanatik dan pelaku kekerasan masing-masing. Tidak hanya Islam.

Tapi, pertanyaannya kembali ke pikiran awal. Kenapa aku justru lebih sering menyebarluaskan informasi kekerasan oleh penganut Islam sendiri?

Kemarin aku menemukan jawabannya.

Seorang teman di Facebook menulis status berisi caci maki terhadap penganut Islam. Isinya mungkin bagus. Dia mengkritik tulisan tentang halal tidaknya ayam betutu di Bali. Tapi, menurutku, komentarnya terlalu kasar.

Bangke be jeleme otak unta padang pasir, isinya manusia munafik sok suci. amah to to rahmat di padang pasir isine cuma perang ulian bes kaku ti ajaran cai be, ngaku paling beneh doen padahal cai ane biang kerok kerusakan di bumi.

Ada semacam perasaan tidak terima terhadap statusnya. Rasa geram terhadap generalisasi berlebihan. Perilaku satu dua orang lalu yang kena semua penganut agama itu. Jengah karena yang menulis juga belum tentu paham tentang konsep halal haram dalam Islam.

Komentar-komentar serupa dan sama sinisnya banyak beredar di dunia maya.

Kritik mereka terhadap kakunya perilaku sebagian muslim ada benarnya. Aku juga sering sekali menuliskan hal sama. Namun, ada perasaan tidak terima karena yang nulis bukanlah orang yang seagama.

Perasaan sama mungkin akan muncul juga jika seandainya aku kemudian jadi menulis status tentang Wirathu, biksu teroris dari Myanmar itu.

Sekadar refleksi kemudian bagi diriku sendiri – otokritik terhadap agama sendiri memang lebih baik dibanding caci maki dari orang lain. Jadi, sebelum mengkritik dan mencaci maki agama orang lain, cobalah refleksi dulu. Melihat apakah praktik kita terhadap agama yang kita yakini juga sudah benar?

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *